Chereads / Dreamland Word / Chapter 16 - Memikirkan Siasat

Chapter 16 - Memikirkan Siasat

Di ruang makan Udin memperhatikan kedua adiknya. Dalam hati ia berkata, "Jika andai saja bapak masih hidup aku mungkin tidak seperti ini."

"Hei, kenapa melamun. Hayo di makan. Ibu capek-capek memasaknya untukmu!" tegur wanita itu dengan suara agak keras untuk mengagetkan Udin.

"Bu, ibu punya uang dari mana. Ibu bilang beberapa hari yang lalu sudah tidak punya uang sama sekali!" tegur Udin yang hanya untuk membalas teguran ibunya ketika ia sedang melamun barusan.

"Ada seorang dermawan yang tidak ibu kenal. Sesungguhnya ibu tidak melihat kedatangannya. Hanya saja di depan pintu ada sebuah amplop yang cukup tebal. Begitu ibu buka, isinya uang. Uang itu cukup untuk membiayai kedua adikmu sekolah dan kehidupan kita selama setahun ke depan. Kalau kita bisa irit." Jelas wanita itu kepada Udin.

"Irit?! Apakah ibu bisa irit untuk diri sendiri!" kata Udin dengan ketus.

"Kamu menyindir ibumu sendiri?!" tegur wanita itu sambil melayangkan tangannya ke arah wajah Udin.

Udin tidak mengelak. Pada saat tangan wanita itu hendak menempel di pipi Udin sebelah kanan, tiba-tiba kedua adiknya menangis dengan keras.

Mendengar kedua bocah itu menangis, ibunya segera menarik pulang tangannya dan segera menenangkan kedua bocah itu.

Beberapa orang yang lewat di depan kediaman mereka, hanya geleng-geleng saja. Karena kembali terdengar ibu dan anak itu cekcok mulut lagi, hingga akhirnya Udin yang mengalah. Ia bangkit berdiri dan hendak beranjak pergi. Tetapi ibunya berkata dengan keras, "Duduk di situ dan habiskan. Ibu sudah masak memasak makanan yang kamu suka. Sekarang kamu tidak mau memakannya."

Sesudah berkata demikian wanita itu segera menangis.

Rupanya Udin tidak terlihat simpati. Ia malah tetap pergi meninggalkan ibunya ke dalam kamar.

Di dalam kamar sendiri Udin berkata dengan tekat yang bulat, "Aku harus berhasil mengambil batu bata itu lebih banyak lagi. Agar aku cepat dapat uang."

Anak itu pun memejamkan kedua matanya dengan maksud agar besok dapat datang lebih pagi lagi untuk bisa mencuri batu bata. Tetapi kenyataan yang ia terima malah ia bangun terlambat.

****

"Waduh!" seru Udin ketika ia terbangun dengan gelagapan.

Anak itu melihat ke arah jam di dinding kamarnya. Ia tampak terkejut ketika melihat jam tersebut, "Sudah jam delapan lewat, gawat ini. Bisa-bisa bonusku di kurangi. Atau bisa-bisa posisiku di gantikan orang lain."

Teringat akan hal itu, Udin bergegas bangkit berdiri dari atas tempat tidur. Tanpa membasuh badan, hanya mencuci muka saja. Anak itu segera berlari menuju ke tempat kerjanya.

Di saat ia berlari menuju tempat kerjanya tiba-tiba ia melihat bang Brewok melintas juga melewati tempat yang hendak ia lewati.

Bang Brewok pun sempat melihatnya karena ada bayangan orang sedang berlari.

Dengan suara keras, Bang Brewok berteriak memanggil.

"Udin, jangan lari kau. Serahkan kartu emas itu kepadaku!"

Mendengar teriakan itu, Udin semakin mempercepat saja larinya. Agar tidak tertangkap tangan oleh Bang Brewok beserta para anak buahnya.

Bang Brewok bersama dengan para anak buahnya terlihat terengah-engah, pada saat mengejar Udin.

"Buset dah bos, anak itu larinya cepat sekali!" seru salah satu anak buahnya Bang Brewok ketika ikut mengejar Udin.

Mereka masih terlihat terengah-engah. Belum sempat menarik nafas sejenak. Tiba-tiba di depan mereka tampak Ari sedang bersepeda menjajakan korannya.

"Sepertinya sepeda baru yang anak itu pakai. Cepat tangkap anak itu dan bawa sepedanya kemari!" perintah Bang Brewok kepada para anak buahnya yang belum sempat istirahat.

Mendengar perintah itu, para anak buahnya tidak berani untuk menolak. Kembali mereka bergegas mengejar Ari. Sayangnya Ari juga mendengar teriakan Bang Brewok, hingga ia mempercepat mengayuh sepedanya agar tidak tertangkap tangan pula dari anak buahnya si Bang Brewok.

"Gawat, aku tidak boleh sampai tertangkap tangan oleh anak buahnya bang Brewok. Kalau aku sampai tertangkap tangan mereka, bisa-bisa sepeda aku di rampas mereka. Bagaimana aku harus mempertanggung jawabkannya sama bos aku." Keluh Ari.

Karena berpikir demikian, Ari sampai melewatkan dua pelanggannya sekaligus untuk menghindari anak buahnya Bang Brewok.

Lalu ucap Ari lagi pada dirinya sendiri, "Nanti saja aku mampir ke sana pada saat aku pulang."

****

Sementara itu Udin sudah tiba di depan pintu gerbang tempat di mana ia bekerja. Sang mandor pun sedang berdiri di depan sambil bertolak pinggang dengan muka sangar.

Melihat pak mandor telah berdiri di depan pintu gerbang dengan wajah sangar membuat hati Udin dag-dig-dug. Ia langsung merasakan tubuhnya lemas. Ia pun berpikir, "Jangan-jangan aku telah ketahuan mencuri batu bata miliknya."

Apa lagi ketika mendengar si mandor itu berteriak memanggil dirinya, "Udin, kemarilah cepat!"

Mau tidak mau Udin segera berlari mendekati pak mandor itu dengan memasang wajah lugu, pura-pura tidak tahu, "Ada apa pak mandor menunggu saya?"

"Kamu tahu, kalau kamu telat. Tetapi sudahlah kamu anak baru, saya tidak akan memberikan surat peringatan. Begini, ada teman kita yang sakit. Kemungkinan dua minggu tidak masuk. Apakah kamu mampu merangkap kerja. Sesudah kamu ambil batu bata untuk bangunan itu, kamu harus aduk semen pula. Kalau kamu tidak sanggup, tidak apa-apa. Kamu bisa bawa temanmu besok untuk mengaduk semen!" kata pak mandor dengan suara tegas.

Udin diam sesaat, lalu jawabnya, "Akan saya coba dulu. Jika saya sanggup atau tidaknya, nanti sore sebelum pulang akan saya beritahu ke pak mandor, ya."

Mendengar jawaban yang memuaskan si mandor itu mengangguk sambil berkata, "Bagus. saya suka sama kamu."

Sesudah mendapat pujian lagi dari si mandor Udin pun segera bekerja membawakan batu bata-batu bata ke setiap bangunan yang sedang di kerjakan. Selesai melakukan pekerjaan itu, ia pun segera mencoba mengaduk semen.

Udin pun langsung di awasi oleh mandornya. Begitu si mandor melihat hasil adukan semen si Udin bagus, kembali si mandor memujinya dengan berkata, "Sepertinya kamu tidak perlu teman. Aku rasa kamu sudah cukup untuk dapat mengerjakan dua pekerjaan sekaligus."

Mendengar pujian itu Udin segera berkata, "Bos, gajinya di tambahkan ya."

Sambil tertawa si mandor itu berkata, "Tenang saja." Setelah berkata demikian si mandor kembali meninggalkan Udin sendirian untuk mengaduk semen.

Setelah di tinggal si mandor, otak Udin juga turut bekerja.

"Bagaimana caranya aku membawa semen keluar dari sini tanpa ketahuan?" pikirnya sambil kedua tangannya terus mengaduk semen.

Bocah itu memandang sendok adukan semen, lalu ia melihat kantong semen yang telah kosong.

"Terlalu riskan." Katanya sambil menggelengkan kepalanya.

"Din, adukan semennya sudah belum!" teriak seseorang dari atas bangunan.

Suara orang itu mengejutkan Udin.

"Udin, kalau sedang bekerja jangan melamun. Nanti kesambet loh!" seru beberapa orang yang ada di atas bangunan tempat ia sedang mengaduk semen.

Mendengar teriakan itu, semua orang tertawa termasuk Udin.

"Iya bang, maaf!" seru Udin kepada mereka.