Chereads / Waktu Penantian / Chapter 14 - Jadi Begini Ceritanya

Chapter 14 - Jadi Begini Ceritanya

"Mbak, Da ... cinta segitiga itu memang menyesakkan dada. Aku tidak mau terperangkap tetapi aku malah semakin cintrong sama dia."

"Rana, mungkin dengan disatukannya kamu dan Keen sebagai suami istri adalah jalan dari Allah. Jalan akan adanya cinta Keen untuk kamu."

"Aamiin deh."

"Kok ada deh nya," protes Sayyida.

"He ... sedang malas bahas itu. Mbak, kabarnya Kak Anisa bagaimana? Kita berlima waktu kecil sering main bersama, tetapi setelah orang tua Kak Nisa meninggal aku tidak bertemu lagi, bagaimana kabarnya ya?"

"Dia baru saja menikah. Kisah cintanya juga seru lho."

"Sama siapa Mbak? Dan bagaimana? Alhamdulillah kalau Kak Nisa bahagia."

"Begini ceritanya ...

Bunga mekar harumnya semerbak, gadis itu menyirami bunga-bunga di depan rumah besar.

"Anisa ... Ali dan Lifa ayo ... Nis, sudah siap, nanti kamu boleh ke pondok lagi setelah mengantar Anak-anak ke sekolahnya, karna nanti Adikku Dirga akan menjemput mereka," jelas majikan, Anisa mengangguk.

"Ini untuk Nenek buyutmu, kamu besok datangnya jam setengah tujuh nanti pulang jam sepuluh siang ya," ujar Sofi, Anisa hanya mengangguk, dia pergi dengan mobilnya. Anisa membawa kedua anak kembar cewek cowok ini ke Sekolahan.

Gadis ini sangat sederhana dia hanya gadis lulusan SMP, dia yatim piatu dan tinggal gratis di Pondok, namun karna Nenek buyutnya yang mengasuh dia sudah struk jadi dengan terpaksa Anisa mengatur waktu, bekerja, mondok serta mengurus Neneknya.

Gadis berumur dua puluh dua tahun ini sangat mandiri, setelah mengantar bocah kembar itu Anisa pergi ke Pondok, dia tidak tuntas mengikuti pelajaran, karna kesana kemari, gadis ini hanya mengikuti ngaji kitab Bukhori Muslim, kumpulan kitab hadits.

Hari silih berganti, Anisa datang ke rumah Sofi, melihat pemuda sedang semboyongan dengan botol minuman. Anisa sangat takut.

Plak!

Suara tamparan bergitu keras dari Sofi. "Kamu tidak boleh di rumah Mbak, kalau sedang mabuk, sana!"

"Kenapa Mbak ... He he heks, kenapa ...." Dirga terjatuh tidak sadarkan diri.

"Nisa bantu," pinta Sofi kepada Anisa, keduanya membawa Dirga ke sofa. Sofi menguyurnya.

"Mbak ...." panggilan mengeluh.

"Awas ya kalau minum lagi," ujar Sofi marah.

"Aku galau Mbak, aku tau dengan aku minum bukan solusi tapi ... Bagaimana lagi," Dirga memperhatikan Anisa.

"Apa enaknya mondok Mbak?" tanya Dirga tiba-tiba tertuju ke Anisa, "Eh ... Siapa namanya lupa aku," imbuhnya menggaruk kepala.

"Anisa dia tanya, jawab gih, siapa tau dia mau taubat," ujar Sofi.

"Enaknya di pondok kita belajar hidup bermasyarakat, banyak bertemu orang lain. Setiap hidup kalau di syukuri pasti nikmat kok," jawab Anisa.

"Aku mau mondok ah, kalau niatnya cari jodoh bagaimana Mbak?" tanya Dirga, Anisa hanya tertawa kecil.

"Sadar diri semua tau kalau kamu itu pemabuk, mana ada santri putri yang mau kalau calon imamnya saja absen solat terus," ledek Sofi meragukan adiknya.

"Awalnya niat begitu juga tidak papa siapa tau bisa kebawa suasana nanti jadinya Lillah (karena Allah)"

"Yes aku dapat pujian, daftar kan ya Mbak, lagian uangku banyak kok aku baru setor buah ke juragan jadi uangku numpuk nih, bagi juga ke Mbak Nisa, siapa tau dandan dikit langsung ada yang ngelirik," ujar Dirga mengeluarkan tumpukan uang dari amplop coklat.

"Dari pada cari yang tidak pasti mending ya sama Nisa saja," ucapan enteng dari Sofi membuat Nisa san Dirga terkejut, Dirga tertawa lepas. Jelas saja Nisa tidak masuk dalam kreterianya.

Dirga pemuda yang sangat tampan, dia tinggi dengan rambut jabrik, namun karna tingkah nakal, jahilnya para gadis di daerah itu pun ilfil.

Dirga terlihat serius kini dia sudah masuk enam bulan menjadi santri, mendapat tugas dari Pondok dia kebingungan dan pelang ke rumah Kakaknya untuk meminta tolong ke Nisa.

Dengan pakaian santri Dirga sangat keren, dia berpas-pasan dengan tiga santri putri dari sebrang jalan karna dlenger dia tersandung, santri putri tertawa, namun dia tidak peduli dia tidak melepaskan pandangannya dari gadis yang di tengah. Penasarannya naik drastis dia segera berlari mencari Anisa, Anisa sedang sibuk menyuapi kedua bocah kembar itu.

"Mbak sini bentar, cepat Mbak," pinta Dirga melambaikan tangan. "Cepat Mbak nanti hilang," ujar Dirga reflek memegang tangan Anisa, Anisa merasa gugup.

"Yang tengah siapa namanya?" tanya Dirga.

"Mbak Farida," jawabnya lalu masuk lagi.

"Eh tunggu Mbak, kenalin ya plis, kirim surat ya Mbak, Mbak, Mbak," ujar Dirga memohon.

"Mas tolong aku ini santri biasa tidak bisa, dapat denda juga Mas kalau macam-macam, tolong mengerti ya," jelas Anisa pelan.

"Mbak tolong lah ... Mbak," pinta Dirga dengan wajah melas.

Brug!

Kedua anak kembar itu mendorong Anisa, sampai Anisa jatuh dipelukan Dirga, Anisa segera bangun dia merasakan ada kembang api didalam ruang dadanya.

"Ali ... Ya Mbak plis, mbak ... Aku yang akan menanggung semuanya oke, di hukum pun aku tidak peduli," ujar Dirga, Anisa mengubur perasaannya karna dia tidak yakin kalau dia ada rasa ke Dirga. Anisa mengangguk setuju, saking senengnya Dirga refleks memeluk Anisa.

Anisa segera mendorongnya.

"Kita bukan muhrim," ujar Anisa.

"Maaf Mbak, aku menganggap Mbak itu saudara, aku akan jenguk Nenek buyut dulu, Mbak nanti bantu kerjakan ini ya," ujar Dirga.

"Aku sibuk, aku belum membuang kotoran Nenek, belum lagi setelah ini ada acara ngaji, sekarang malah bisa tapi sepuluh menit," ujar Anisa, Dirga memberikan kertas soal.

Anisa menahan tawa saat membaca soal itu.

"Aku tau aku bodoh tapikan aku mau belajar, katanya tetap mencari ilmu sampai titik penghabisan, jadi bagaimana ini Mbak?" tanya Dirga merela duduk.

"Ini soal tajwid, idhar ada enam cara bacanya jelas, sana whudlu lalu ambil Alquran ini di suruh mencari contohnya," titah Anisa.

"Aku belum tau caranya whudlu, belajarnya dulu saat SD," pengakuan polos dari Dirga, Anisa tertawa kecil.

"Ya sudah ayo whudlu," ajak Anisa, Anisa membimbing Dirga, dengan telaten seperti mengurus kedua ponakannya.

"Mbak Nisa ... Lapar, lapar," ujar kedua bocah itu, Anisa segera ke dapur, dan menyiapkan makanan.

'Nisa kenapa jadi gugup kamu, Nisa jangan sampai kebawa perasaan bakalnya kamu sakit hati nanti, ya Allah jauhan rasa deg-degan ini," batinnya.

Setelah selesai dia membantu pekerjaan tugasnya Dirga yang umurnya sudah dua puluh enam tahun namun masih kelas satu ula, kelas yang masih sangat dasar. Anisa bangga karna dia tidak malu dan mau bekerja keras.

Anisa ke Pondok untuk mengaji dia melihat Farida yang memang begitu cantik. 'Wajarlah kalau Mas Dirga suka dia memang sangat cantik, Anisa fokus ke Nenek, jangan dulu mikirin hal-hal yang akan membuatmu patah arah, apa sekarang ya aku sampaikan salamku ke Mbak Farida takut juga sih kalau aku jadi sangkut pautnya,' batin Anisa dilema.

Anisa masih diam, dia belum menyampaikan salamnya Dirga untuk Farida, pagi itu Anisa mengantar si kembar, setelah mengantar dia kembali ke Pondok. Dia duduk sangat dekat dengan Farida.

"Mbak Kang Dirga itu bagaimana orangnya?" tanya Farida yang memamg penasaran dengan Dirga.

"Baik, dia baik, sangat," puji Anisa.

'Sakit banget ... Ya Allah, apalagi tau dia terlihat sangat penasaran dengan Mas Dirga, Anisa kubur dalam-dalam tau diri dong kamu,' batinnya.

"Mbak ... Kalau boleh titip salamkan ya," pinta Farida berbisik, Anisa tersenyum walau hatinya remuk redam. Farida memang sangat cantik namun dia sudah mendapat predikat santri bandel, dia sering di hukum karna saling surat-menyurat dengan santri putra.