Waktu berlalu dengan sangat cepat. Hari demi hari akhirnya bisa menutupi masa lalu kelam bagi Anin.
Anin bisa menghibur diri karena semua perkataan dari Saif. Dia menyibukkan diri dengan membuat switter dan membuat kerajinan lain.
"Aku patah hati. Ternyata ke Zuhri itu mondok. Diam untuk jauh Kak ... Apa aku harus mematahkan cintaku a ..." keluh Vira sambil maranggi patah hati.
"Kalau kamu benar cinta kejar. Yang penting usaha. Lagian cinta yang mengarah ke hal-hal positif itu baik kok. Kakak akan dukung," kata Ainin sangat bersemangat.
"Lalu kakak sendiri dengan Mas Saif bagaimana? Apa kelanjutan atau cukup menjadi teman saja?" tanya Vira penasaran.
"Rasanya aku malu jika bersanding dengan dia. Dia pria yang cukup baik dan aku tidak pantas bersanding dengan nya, doakan saja semoga dia menjenda jodoh yang cantik dan sholihah serta setia," kata Ainin. Vira merangkulnya.
"Bukankah cinta sejati menerima apa adanya? Masak dia sama sekali tidak bertindak sih, entahlah para laki-laki itu memang menyebalkan," tutur Vira.
Dering ponsel berbunyi Anin pun segera melihat chat itu.
[Aku merasa nyaman. Namun ada perasaan sedikit tidak enak, jika aku berkata kan jujur. Anin, aku akan kembali ke pesantren. Ini aku akan menikahi seseorang. Jika kamu temanku datanglah ke pernikahanku. Aku akan sangat bahagia jika kamu hati dalam pernikahanku.]
Chat itu membuat Anin menangis. Vira yang melihat segera membaca pesan itu.
"Dia punya perasaan sama kakak. Ternyata cuma PHP-in. Sudah gak sabar saja. Jangan menangis. Aku nanti akan ikut menangis. Kita kan sama-sama jalani ini. Bukankah kita sudah sering menjalani fase-fase sakit hati. Runtuhnya dan kokoh nya hasti saat bahagia. Jadi mari kita datangi pernikahan Mas Saif. Kita akan ke sana, dan kakak akan kujadikan bidadari. Aku akan mendandani kakak sampai secantik mungkin."
"Sudahlah ... orang itu bisa melihat baiknya seseorang bukan dari kecantikan, bukan dari fisik. Mari kita berangkat. Aku akan mandi sebentar," kata Ainin.
"Ra ... jangan manyun. Kata Saif, hidup itu singkat maka jangan disia-siakan. Kita hidup di dunia hanyalah sementara. Jadi aku juga ingin menghabiskan beberapa waktu ku di pesantren. Sepertinya akan seru jika kita hidup di pesantren. Memperbaiki diri di sana," kata Anin. Vira terlihat berpikir.
"Bukankah pakai hijab itu panas? Selama ini pun aku tidak pernah memakainya Kak, kalau hanya sholat. Tapi baiklah mari kita pergi ke pesantren." Vira pun setuju.
Dia membeli beberapa baju muslim dan kedunya pun berangkat dengan di antar supir.
Mungkin sangat menyakitkan bagi Anin. Orang yang bisa menyembuhkan luka hatinya. Perantara dari Allah ini akan menikah di hadapannya. Anin benar-benar menyiapkan mental ketika sudah turun di depan pesantren.
Anin dan Vira pun akhirnya turun, mereka berjalan ke masjid untuk menyaksikan pernikahan itu.
Vira menyapu pandangannya. Matanya membulat setelah melihat para tamu. Perasaan tidak karuan campur aduk datang ketika dia di hadapkan dengan pemuda berbaju takwa putih.
Langkahnya masih terhenti. "Lama sudah aku tidak melihatnya dan tidak tahu bagaimana kabarnya. Kenapa dia semakin tampan. Bagaimana aku bisa move on dari nya. Huh. Aku harus menghadapi ini," batin Vira maju.
"Maaf pengantin wanitanya pergi dari rumah," kata salah satu tamu. Sangat mengejutkan bagi mereka.
Pernikahan pun gagal direncanakan. Tamu undangan pun buyar. Anin melihat dari Saif. Namun dia tidak berani mendekat karena bukan muhrim. Apalagi tempatnya dalam pesantren.
Vira pun juga seperti itu dia menahan rasa rindunya. Dan menahan rasa ingin lebih akrab. Keduanya disibukkan dengan kegiatan di pesantren.
Vira mengaji dari nol. Dari a ba ta sa. Kalau Anin memang sudah bisa mengaji sejak dulu.
Di dalam pondok pesantren itu banyak kisah-kisah para Ulama', yang penuh inspirasi membuat agar tidak mudah menyerah.
Hari demi hari berlalu menjadi bulan, mereka sama sekali tidak pernah berhubungan dengan Saif maupun Zuhri.
Apalagi seperti Vira tidak pernah berjumpa. Tidak pernah bertemu resah apa. Namun saat sekolah diniah, Vira dikejutkan dengan Ustad yang mengajar tasrif.
Hal itu membuat Vira semakin hari tidak nyaman, malah makin jatuh cinta kepada gurunya sendiri.
*****
Vira sangat tahu jika Zuhri banyak yang mengagumi. Selain dokter dia juga santri yang handal. Vira pun berusaha melupakan cintanya. Bahkan caranya pun unik. Saat Zuhri sedang mengajar Vira malah tidur.
"Kamu ...."
"Iya Ustadz. Saya lebih baik tidur Ustad, ketimbang melihat Ustad. Saya takut dosa, terus terpesona sama Ustadz." Jelas saja pengakuan itu membuat para santri putri tereran-heran.
"O ... maka saya pun takut jika mendatangkan maksiat. Bagaimaba caranya agar saya tidak mendatangkan maksiat. Apa perlu ganti Ustadzah? Mungkin itu baik. Terima kasih kamu sudah mengingatkan. Dan yang lain mohon jangan marah sama Vira. Ini demi kebaikan kita semua. Jadi misal kalian ingin tanyakan sesuatu, boleh tanya dengan surat. Nanti saya akan berbicara dengan pihak keamanan santri putri. Ya sudah ya mohon maaf saya terimakasih vira kepada kamu pamit assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh." sikap yang diambil Zuhri.
Membuat para santri marah kepada Vira. Brok! Brok.
Vira menahan tangis namun dia berusaha biasa saja.
'Habis bagaimana lagi ... aku sulit move on. Hiks, apa aku salah karena sudah setega itu sama Pak Zuhri. Apa aku harus keluar dari pondok, ha ....'
Sebuah kertas jatuh di atas tangannya. Vira membuka surat itu.
[Terima kasih. Mau ta'arufan? Jika berkenan balas ya. Nanti aku akan bayar dendanya karena ini sudah sangat melanggar. Jangan balas, cukup mengangguk saja. Kurang sepuluh menit jam pulang. Aku akan ada di kantor atas. Kamu yang lewat dan aku bisa melihat kamu mengangguk berarti kamu setuju.]
Vira tersenyum bahagia.