Chereads / Waktu Penantian / Chapter 21 - Kisahnya Part 6

Chapter 21 - Kisahnya Part 6

Alarm yang begitu keras sampai membuat semua orang seisi rumah membangunkannya. Vira bahkan pembantunya. Mereka semua berdiri dan menggedor-gedor pintu kamar Anin.

"Mbak ada masalah apa sih kok sampai pintunya ditutup. Mbak kenapa juga matanya sembab?" tanya Vira. Anin berusaha biasa saja.

Anin itu berjalan ke dapur dengan lesu. 'Apa aku menyesal karena aku sudah menolaknya? Tapi kenapa aku merasa kalau dia hanya disuruh Vira dan Zuhri. Mereka itu selalu memaksa kehendak mereka. Tidak mengerti perasaanku,' bicaranya dalam hati.

"Bagaimana Mbak. Kata Mas Zuhri, Mas Saif melamar Mbak. Mbak menerima atau tidak?" saya Vira sangat ingin tahu lalu menarik kursi di samping Anin.

Mereka makan bersama Anin pun hanya mengaduk makananya. Dia terlihat sangat tidak selera makan.

"Anin seharusnya kamu itu bersyukur ada yang melamar kamu. Ibu itu lelah mendengar ucapan pada tetangga," tutur sang ibu menasehati Anin.

"Kalau malu dengan ucapan tetangga kenapa aku tidak dibuang saja!" kali Anin, benar-benar marah. "Kalian selalu memaksa aku melakukan ini itu. Aku sangat sedih, apa kalian tidak mengerti dengan perasaanku? Mereka semua selalu menghina aku dan kalian semua seperti memojokkan aku. Aku berusaha biasa saja tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa mendiamkannya. Jika ibu masih tertekan dan malu aku akan pergi dari rumah." Anin bergegas pergi dari ruang makan, dia menghetikan langkahnya dan duduk berlutut sambil menangis.

"Hiks hiks hiks. Aku lelah dikasihani. Aku ingin hidup normal seperti orang lain, banyak kok di luaran sana yang tidak memiliki pasangan. Jangan memaksa aku menikah dengan seseorang yang tidak bisa menerima aku apa adanya. Jangan memaksa aku dan menjodohkan ku dengan seseorang yang terpaksa dan kasihan kepadaku. Biarkan ada seseorang yang memperjuangkan aku. Biarkan aku merasa pantas dicintai. Hiks hiks hiks. Maaf Bu ..."

Anak itu berjalan kecil ke arah Anin dia mengusap air mata Anin. Anin memeluknya dengan perasaan bahagia dan haru.

"Maafkan ibu Anin. Ibu sangat menyesal." Ibunya memeluk Anin.

"Aku juga minta maaf kak. Tapi aku tidak menyuruh siapapun untuk mendekati kakak. Kak Saif sendiri yang meminta nomor kakak. Karena sudah lama Mas Saif menyimpan perasaan kepada kakak. Namun aku tidak memaksa jika kakak menolaknya. Aku minta maaf Kak," jelas Vira.

"Tidak bisakah kamu melihat ketulusan mereka? Kamu juga harus merasakan mereka. Bahkan Vira selalu memikirkan kamu. Dia merasa tidak enak dan merasa sangat bersalah karena dia sudah melangkahimu dalam pernikahan. Aku datang kemari bertekad, aku benar-benar mencintaimu dan ingin menjadikanmu istriku. Bukan karena paksaan atau pun diperintah oleh orang lain. Ini kemauan hatiku sendiri. Maukah kamu belajar mencintaiku Anin? Belajar menerimaku belajar menerima kekuranganku. Aku sungguh-sungguh. Aku sudah lelah menanti selama 3 tahun aku tidak memperjuangkan mau makan aku tidak akan bisa mendapatkanmu. Jadi sekarang aku ingin melamar mu Anin. Belajar mencintai karena Allah beribadah kepadaNya." Suara itu dari arah belakang Anin menaikan wajahnya.

'Kendalikan dirimu kenapa kamu ini, bodohnya kamu ... sebenarnya tadi kamu itu harus bicara jujur, malah kamu kembali membantah. Anin, jangan meragukan dia. Kamu harus bertindak dan segera katakan padanya kalau kamu memiliki perasaan yang sama dengan dia. Jangan buang waktu dia alah pria yang selama ini kamu inginkan Anin,' batin Anin menghampiri Saif.

"Anin ... aku mencintaimu, apakah kamu mau menjadi istriku? Aku sangat serius bahkan kedua orang tuaku juga hadir." Saif mengatakan itu.

"Apa aku pantas. Aku mau ... tapi ... apa aku pantas. Bagaimana jika ada pertemuan dengan teman-teman, mereka mengenal aku. Dan aku wanita ternoda. Apa aku pantas. Apakah Mas Saif bisa menerima ku. Siap mendengarkan hinaan dari mereka?" tanya Anin dengan linangan air mata.

"Namaku sangat buruk, apa Mas tidak akan memperdulikan comooh an dari mereka?" tanya Anin lagi.

"Apa aku pantas menikahimu? Apa aku boleh memilikimu? Apa aku sangat sempurna? Aku banyak kekurangan. Aku troma ditinggalkan. Apa aku tidak berhak mencintaimu? Walau aku sangat mencintaimu. Aku tidak ragu memilihmu. Aku sangat mencintaimu sampai aku kehabisan cara. Bagaimana agar kamu tidak menolakku, bagaimana agar kamu mau menerimaku? Aku sangat berharap kamu akan menerimaku. Aku ... tidak main-main. Saat aku jatuh cinta,

perasaan ini sangat dalam. Kamu memang bukan yang pertama Anin, tapi aku berharap kamu mau menerimaku, apa kamu berkenan mendampingi ku sampai maut memisahkan? Jangan tanya bagaimana aku pun tidak tahu kenapa aku bisa sangat mencintaimu. Aku mohon jangan ada alasan apa dan kenapa untuk kita, jika kita sudah saling cinta marilah maju ke pelaminan."

Saif mengulurkan mawar yang dari tadi di pinggangnya walaupun mawar itu sudah peyot dan kelopaknya rontok.

"Sudah ribuan detik aku menunggu dan menanti ingin bisa mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya kepadamu, jadi aku meminta apakah kamu berkenan menjadi istriku? Tanpa memandang siapa aku dan siapa kamu, terus belajar menjadi sosok yang baik untuk keluarga kecil kita nanti. Maukah kamu menjalankan sunah-sunah yang mendatangkan pahala. Aku capek ngomong terus kamu mau menerima atau tidak? Aku mohon jawab iya ... aku mohon jawab iya ...." Saif memejamkan mata semua tertawa. Setelah kata puitis, pasrah lalu bercanda.

"Mas yakin tidak menyesal telah menik memilih ku untuk dijadikan istri?" tanya Anin, Saif menggelengkan kepala.

"Kalau begitu aku berjanji aku akan mendampingi mu sampai maut memisah, aku juga berjanji akan menyayangi Indana seperti anakku sendiri walaupun anak kita nanti ada tujuh," ucapan Anin membuat Saif menatapnya terkejut. Semua sangat bersyukur mendengan kata dari Anin.

"Tujuh? Aku pingsan ... aku. Baiklah berapapun anak kita aku akan menerima kamu apa adanya, jadi, benar mau kan?" tanya Saif. Anin tertawa sampai lemas dalam tangisan bahagia.

"Siapa yang berpura-pura, aku tidak membohongimu. Aku mencintaimu lebih dulu. Caramu perhatian dan caramu yang lainnya, aku suka kamu marah, aku suka kamu kesal, aku suka ... dengan caramu yang jaim. Aku suka semua ... aku bersedia, aku sangat ... mencintaimu Mas Saif. Sudah lama aku menanti tapi kadang aku ragu. Seringnya ... juga takut. Aku sakit dan patah hati saat datang ke penuikahanmu. Walau gagal aku tetap saja sedih. Mas. Aku takut jika semua hanya mimpiku. Sekarang apa Mas Saif mau menjadi suamiku?"

"Ke KUA yuk ... Nikah yuk ... mencari penghulu yuk ...." ajak Saif, Anin menatapnya terlintas senyum yang begitu manis di pipinya.

"Terima kasih sudah menerimaku," ujar keduanya serempak lalu tertawa bersama.

Terkadang jodoh memang tidak terduga siapa dan kenapa? Terkadang sama sekali tidak mengenal dan terkadang bisa yang dikenal dari kecil. Kini Saif sudah melamar Anin. Kebahagiaan di hati kedua keluarga besar.

Bahagia itu sederhana jika kita bisa menerima situasi dan selalu bersyukur pasti akan dilipat gandalan. Allah memberi cobaan dan pasti juga akan memberi kebahagiaan nantinya.

Setiap yang dikerjakan di dunia pasti ada imbalannya. Anin dan Saif pun ibadah ke mekkah untuk haji.

Sementara Vira dan Zuhri sangat bahagia dengan kehadiran putri kecil mereka.

'Aku pernah dianggap hina. Padahal bukan aku yang menggoda. Aku pernah dikuasai rasa bersalah. Namun aku juga sadar itu musibah yang harus dilupakan. Hidup tidak lama jadi jangan disia-siakan. Aku bahagia ya Allah, semoga Engkau selalu melindungi kami.' Batin Anin.

Saif pun membangun Pondok Pesantren.

"Semoga manfaat, dan ada santri Aamiin." Harapan mereka serempak.

Tamat.