Chereads / One Night Surprise / Chapter 12 - Saya Menyesal? Tidak.

Chapter 12 - Saya Menyesal? Tidak.

"Fian tunggu!"

"Fian!"

Langkah kaki Fian terhenti, samar-samar telinganya mendengar kalau namanya dipanggil. Suaranya sangat tidak asing, apa iya itu dia?

"Fian!"

Tepukan di pundak membuat Fian menoleh dengan cepat. Ternyata dugaannya benar, tepat di belakangnya berdiri Reva dengan rambut cokelat yang terurai indah. Cantik, itulah yang pertama kali Fian sadari ketika menatap Reva. Sayangnya, Fian tidak mampu untuk menggapai lebih jauh.

"Daritadi aku panggilin, kenapa ga mau berhenti?"

"Masa iya? Aku aja ga dengar, dan baru dengar tadi pas kamu manggil itupun samar." Fian memamerkan senyuman manisnya kepada Reva. Walaupun sempat menjaga jarak, namun Fian tetap menjaga perasaan Reva.

Reva hanya beroh ria sambil terus menatap Fian. Ada yang ingin Reva sampaikan, akan tetapi lidahnya sangat keluh untuk memulai. Melihat wanita di depannya menunduk membuat Fian menatap dengan bingung. Tidak biasanya Reva seperti ini, bahkan melihat Reva berubah kalem pun membuat heboh teman-teman kantornya.

"Ada apa, Re? Ada yang mau kamu omongin sama aku?" Fian meraih dagu Reva agar wanita itu tidak lagi menunduk, "kamu ditunggu Pak Sean, Re, kenapa ga ke sana?"

"Fi? Kamu marah sama aku ya? Akhir-akhir ini kam-"

"Reva kamu dicari Pak Sean."

Reva kembali menutup mulutnya rapat-rapat saat seseorang datang lalu memotong perkataannya. Reva mendongakan wajahnya menatap Fian, entah tatapan apa yang sedang Reva berikan, tetapi sangat mengusik hati keduanya.

"Temuin Pak Sean dulu, Re, aku juga harus pergi takut telat." Fian tersenyum, dengan pelan dia menepuk pundak Reva lalu kembali melanjutkan jalannya ke luar kantor.

Reva tidak menyahut, dia menatap gamang kepergian Fian. Seperti ada yang hilang, itulah perasaab Reva saat ini. Karena biasanya, banyak tingkah yang Fian lakukan, tidak diam seperti ini.

"Re!"

Tepukan dan panggilan dari arah belakang membuat Reva terlonjak kaget. "Iya, Del, makasih ya, ini mau ke ruangan Pak Sean kok."

Setelah berpamitan dengan Adel, Reva bergegas menuju lift untuk segera menemui bosnya. Baru saja hidupnya damai, tetapi kini Sean sudah mencarinya lagi. Awalnya Reva mengira kalau Sean sudah lupa, lalu tidak mengungkit.

Sesampainya di lantai tujuan, Reva berjalan pelan menuju ruangan yang bertuliskan nama Sean Dewanda Navvyzi dengan jabatan CEO. Tanpa sadar Rev menelan salivanya susah payah, dia sangat ragu untuk masuk. Belum sempat tangannya menyentuh gagang pintu, namun pintu cokelat di depannya sudah lebih dulu terbuka.

Kebungkaman Reva semakin jadi saat pria yang menggunakan kemeja putih dibalut kemeja hitam menatapnya dengan lekat. Pria berprawakan tinggu, postur tubuh yang pas, ditambah wajah dinginnya membuat Reva mati gaya.

"Siapa yang memberi kamu perintah untuk berdiri di depan pintu tanpa masuk?" Sebelah alis Sean terangkat menatap Reva.

"Maaf, Pak," cicit Reva tanpa berani menatap wajah Sean.

Tangan Sean terulur, menarik pergelangan tangan Reva untuk segera masuk ke dalam ruangannya. Saat keduanya masuk, tidak lupa Sean mengunci pintu ruangannya. Melihat Sean mengunci pintu membuat tubuh Reva menegang, sepertinya sinyal-sinyal bahaya mulai dia rasakan saat ini.

"Gimana seminggu tanpa bertegur sapa dengan saya, Reva? Apa kamu fikir, urusan kita sudah selesai?"

Reva mesih bungkam, dia diam tanpa menjawab pertanyan Sean. Tangan kekar Sean yang mulai menyentuh wajah membuat Reva menatapnya. Senyum Sean mengembang melihat wajah tegang yang Reva tampilkan. Jari-jari Sean menyentuh bibir Reva yang sangat menggoda hasrat hatinya.

"Pak Sean, beberapa hari lagi Bapak mau menikah, apa pantas melakukan ini sama perempuan lain? Kalau saya jadi Jihan, saya sakit hati sih."

"Apa kamu ga menyesel dengan apa yang udah kita lakukan, Re? Bahkan saya sendiri yang membuka kehormatan kamu. Apa kamu ga ada niat meminta tanggung jawab?"

Reva tertawa sambil menundukan kepalanya. "Engga. Saya ga nyesel sama sekali. Menurut Pak Sean, apa pantas saya menyesel lalu mengutarakannya kepada Bapak? Toh Pak Sean udah bayar saya, rasanya ga etis kalau saya bilang nyesel."

"Hanya karna rumah sakit kamu melakukan itu? Apa teman-teman kamu ga ada yang bisa bantu?"

"Dalam konteks menyesal, mungkin saya lebih menyesali sumbu pendek itu. Seharusnya saya fikir panjang, masih banyak orang yang mau membantu. Tapi Bapak tenang aja, saya ga akan pernah ungkit."

"Pak Sean benar, memang karena rumah sakit. Posisi perusahaan ayah saya sudah berantakan bahkan jatuh, sedangkan tabungan saya semakin menipis saat itu."

Sean menyentuh pundak Reva. "Untuk sekarang ga usah perdulikan rumah sakit, saya akan jamin sampai ayah kamu sembuh. Tetapi perjanjian kita masih tetap berjalan."

Sebelah alis Reva terangkat.

"Jadi simpanan saya."

"Jihan?"

"Saya pastikan semuanya aman, selama kamu juga kondusif dengan perintah saya."

Samar-samar Reva mengangguk, karena apapun jenis penolakan yang dia lontarkan, Sean tidak akan perduli. Dan semoga saja memang benar, kalau Sean bisa menjaminnya. Karena keasikan melamun Reva dibuat terkejut saat Sean mengecap bibirnya. Kali ini berbeda, tidak seperti sebelum-sebelumya. Tangan Sean menyesap ke tengkuk Reva, dia melakukannya dengan lembut.

Sean menekan tengkuk Reva seraya memberi kode untuk membalasnya. Karena terbuai kelembutan Sean, Reva perlahan membalas sambil memelingkarkan kedua tangannya di pundak Sean. Ini bukan penolakan, justru Sean sangat senang dengan respon Reva. Gumanan Reva lolos saat tangan Sean mulai menjelajah tubuh bagian depannya.

"Pak, tap-"

Sean tidak memberi ruang Reva untuk berbicara, sekali dorongan dia berhasil membawa Reva ke sofa putih miliknya. Tatapan teduh Sean bertemu dengan Reva, sebelum Sean kembali menenggelamkan wajahnya di leher jenjang milik Reva.

"Saya kangen dengar kamu menyebut nama saya, Reva," bisik Sean tepat di telinga Reva.

Seperti anak kecil, tangan Reva pun mulai aktif mengusap rambut Sean yang kini merebahkan tubuh di atas dada miliknya. Umpatan kecil terdengar, pria mana yang tahan dengan situasi seperti ini? Terlebih Reva sudah mulai bisa memahami situasi dan kondisi.

Baru beberapa menit Sean menjelajahi dua tempat favoritenya, suara dering ponsel sudah lebih dulu terdengar membuat sang empunya mengumpat karena kesenangannya terganggu.

"Diangkat dulu, siapa tau penting," ujar Reva.

Walaupun berat, Sean tetap beranjak dari tubuh Reva. Sebelum mengambil ponselnya, Sean lebih tertarik menatap tubuh bagian atas Reva yang sudah terbuka karena ulahnya.

"Diangkat, Pak."

Sean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sial, kenapa bisa dirinya seperti ini? Buru-buru Sean mengambil ponselnya, dia melihat ada tiga panggilan tidak terjawab dan dua pesan dari Jihan.

Chat from Jihan Friska.

'Sayang, aku sebentar lagi sampai kantor kamu ya? Aku habis lihat progres gedung tadi. See you!'

Mampus!

Mimik wajah Sean yang berubah membuat kening Reva mengerut. "Ada apa?"

"Jihan dalam perjalanan ke sini."

***