Sama seperti pagi pada hari biasanya, Reva memulai sarapannya seorang diri. Kedua orangtua Reva masih berada di rumah sakit. Ibunya beberapa kali pulang, namun itu tidak lama. Sepertinya malam ini Reva akan mengajak Ibunya bergantian berjaga di rumah sakit, kalau sampai Ibunya ngedrop, semua akan berantakan.
Baru saja Reva ingin mengambil roti, namun suara bel sudah lebih dulu terdengar. Hari masih pagi, siapa yang sudah datang bertamu? Sangat tidak mungkin kalau itu Ibunya. Dengan langkah buru-buru Reva membuka pintu lalu berlari kecil ke arah gerbang rumahnya.
"Loh? Fian?" Reva menatap pria di depannya dengan bingung, "sejak kapan kamu di sini?"
"Hai, Re. Sepuluh menit yang lalu sih, tapi baru berani pencet bel sekarang, mana tau kamu belum bangun takut ganggu."
"Kamu jemput aku?"
Fian menganggukan kepalanya. "Masa iya datang ke sini mau jemput Nisa? Ya jemput kamu, Re."
Acara makan siang kemarin ternyata mempunyai pengaruh besar untuk hubungan Fian dan juga Reva. Tidak ada kecanggungan yang terjadi lagi, bahkan Fian sudah kembali seperti dulu. Melihat senyum Fian membuat hati Reva sangat damai dan aman.
"Kamu udah sarapan, Fi?"
"Belum sih, tapi gampang di kantor nanti."
"Sarapan di sini aja, masih pagi juga kok," sahut Reva sambil membuka gerbang agar Fian bisa memasukan motornya.
Sebelah alis Fian terangkat. "Emang boleh? Yakin ga ada yang marah nanti?"
Reva tersenyum masam mendengar pertanyaan Fian. Sebenarnya Reva merasa kalau Fian mulai curiga dengan Sean. Tapi ya sudahlah, selama tidak ada yang bercerita, seharusnya ini bukan jadi masalah besar. Tanpa menjawab pertanyaan Fian Reva kembali mempersilahkan temannya itu untuk segera masuk.
"Kamu lagi sarapan, Ra? Kalau gitu aku ganggu dong?"
"Engga, kalau kamu ganggu ya udah aku usir daritadi, Fi."
Reva masuk lebih dahulu ke dalam rumahnya, dia langsung membawa Fian ke meja makan. Memang tidak ada sarapan menggiurkan macam nasi goreng, karena Reva tidak bisa memasak. Biasanya untuk sarapan selalu tersedia kalau ada Ibunya. Sedangkan dia? Bangun tidur, rapih-rapih, makan, lalu berangkat. Tapi kali ini beda, Reva sudah mulai terbiasa sarapan dengan roti seadanya.
"Kamu mau kopi, Fi?"
"Emang bisa bikinnya?" Fian menaikan sebelah alisnya menatap Reva. Melihat wajah wanita di depannya cemberut membuat Fian terkekeh.
"Bisa jangan ngeledek terus bisa ga? Kopi doang aku bisa, soalnya tinggal tuang dari bungkusnya."
Oke, kopi kemasan!
"Boleh, Re, tapi jangan manis-manis ya?"
"Gimana? Kopi kemasan loh, itu udah ada gulanya."
"Yah, nanti kelewat manis. Soalnya yang bikin aja udah manis, kalau aku diabetes gimana? Kamu mau tanggung jawab?"
Reva mengulum bibirnya agar tidak tersenyum lebar. Memang ya, jiwa-jiwa buaya Fian sangat telihat kalau sedang santai seperti ini. Menyenangkan untuk dia, tetapi mati gaya untuk Reva!
"Masih pagi itu haram untuk gombal!" Setelah mengatakan itu Reva berlari kecil ke arah dapur. Kalau terus-terusan meladeni Fian, yang ada Reva semakin terbang.
Ternyata bahagia sesederhana ini.
Sambil menunggu Reva membuatkan kopi, Fian dengan telaten membuatkan roti untuk Reva. Selai cokelat, Fian sangat hafal kesukaan Reva. Walaupun hatinya masih sakit atas penolakan Reva, tetapi Fian tidak mau munafik kalau dia tidak bisa jauh dari Reva. Bertahun-tahun bersama, apa pantas dia menjaga jarak hanya karena masalah hati?
Kopi buatannya sudah selesai, dengan senyum mengembang Reva membawanya. Tapi tunggu dulu! Langkah kaki Reva terhenti saat ponselnya berbunyi. Karena takut itu pesan dari Ibunya, Reva kembali menaruh cangkir berisi kopi buatannya lalu dia mengambil ponsel yang berada di saku celana.
Chat from : Sean Dewanda.
Sean Dewanda send a picture.
Sean Dewanda : "Berturut-turut kamu buat kesalahan."
Sean Dewanda : "Tumpuk terus kesalahan kamu, sampai pada akhirnya kamu akan menerima akibat dan hukuman yang setimpal."
Deg!
Detaj jantung yang awalnya normal kini berubah menjadi tidak beraturan. Kedua mata Reva masih terpaku kepada foto yang Sean kirimkan. Itu adalah foto halaman rumahnya dan juga ... motor Fian! Astaga! Apa Sean ada di sini? Habis sudah riwayatnya kali ini. Reva jadi teringat semalam Sean sangat marah karena Reva tidak jadi datang ke apartemen. Bukan menghindar, tetapi memang kepalanya sangat pusing. Dan pagi ini? Reva tidak menyangka kalau dia akan datang.
Ting!
Sean Dewanda : "Jangan pernah main-main sama saya, Reva."
Reva menutup ponselnya tanpa menghiraukan chat dari Sean. Setelah menenangkan diri, Reva kembali ke meja makan lalu meletakan kopi buatannya tepat di depan Fian.
"Lama banget, Re? Kamu bikin kopi apa harus browsing dulu?"
"Aduh!" Fian mengaduh saat pinggangnya terkena cubitan maut Reva, "kebiasaan tau ga? Hobi kok nyubitin orang," lanjut Fian sambil mengusap pinggangnya.
"Makanya jangan ngeledek terus, haram, bisa masuk neraka."
"Engga nyambung!" Fian menyentil kening Reva sampai wanita di sampingnya mengaduh.
Layaknya suami istri, keduanya benar-benar menikmati sarapan yang tersaji. Walaupun hanya roti dan segelas kopi, itu sangat cukup bagi Fian apalagi diselingi melihat senyuman Reva.
"Kalau ketawa gini makin cantik," puji Fian, sambil mengusap pipi Reva dengan lembut.
***
Kehebohan yang tiba-tiba tercipta membuat Reva sangat kesal dengan Nisa. Bagaimana tidak, sudah hampir satu jam wanita di sampingnya terus saja berceloteh.
"Udah, Re, apa susahnya dijadiin?"
"Sesayang itu Fian sama lo! Lo tau ga sih? Itu anak super mager, tapi dia mau jemput lo!" Nisa menggoyak-goyakan tangan Reva.
Reva masih tidak bergeming, dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Iya, Fian baik. Bahkan Reva tidak menyangka kalau pria itu akan menjemputnya. Tetapi kebahagiaan Reva seketika tertutup saat mengingat Sean. Pria itu sangat marah, dan Reva takut kalau dia akan membocorkan semuanya termasuk soal dirinya yang pernah masuk club malam.
Kedua tangan Reva terangkat lalu menutup wajahnya rapat-rapat. "Gue bingung, Nis, bingung banget. Gue pengen cerita banyak sama lo, tapi gue ga tau mau mulainya dari mana, gue juga takut."
Jawaban Reva kali ini membuat Nisa terdiam. Awalnya Nisa mengira kalau Reva akan marah karena diganggu lalu dipaksa terus-menerus. Melihat Reva menelungkapkan wajahnya di atas meja, Nisa mendekatkan tubuhnya kepada Reva.
"Eh? Lo kenapa, Re? Lo lagi ada masalah? Atau lo marah sama gue ya?"
"Gue ga marah sama lo, gue lagi capek sama bingung sekarang."
Tangan Nisa terulur mengusap lembut punggung Reva. "Bingung kenapa sih, Re? Soal Fian?"
"Re? Sini cerita sama gue, jangan begini ah. Kalau emang soal Fian, mana tau gue bisa bantu lo."
'Soal Sean, Nis. Gimana caranya gue lepas dari dia?' batin Reva. Iya, Reva hanya berani bertanya lewat dalam hati. Pertanyaan yang sampai kapanpun tidak akan bisa Nisa jawab secara gamblang.
Reva mengangkat wajahnya lalu dia menatap Nisa dengan lekat.
"Kenapa, Re?"
"Gue pengen resign, Nis."
***