Bagi Reva, mendengar nama Jihan yang akan datang tiba-tiba sudah sangat biasa. Entah apa yang sedang Reva rasakan, dia hanya manut dengan apa yang Sean katakan. Sebelum Sean membuka kunci pintu, dia lebih dulu menunggu Reva membenarkan kemejanya. Setelah selesai, Reva bergegas bangkit untuk ke luar ruangan. Namun belum sempat Reva ke luar, Sean kembali menarik tubuh ramping Reva ke dalam dekapannya lalu dua mengecup bibir ranum milik Reva.
"Pak, saya harus pergi sebelum Jihan sampai." Reva berusaha melepaskan pelukan dan pangutan Sean di bibirnya.
"Pulang ke apartemen ya?"
Reva mengangguk sambil membenarkan kemeja serta jas yang Sean kenakan. Tidak ada waktu lagi, Reva harus segera pergi sebelum semuanya tampak kacau. Setelah ke luar dari ruangan Sean, Reva papasan dengan Jihan. Jika biasanya dia menegur, kali ini Reva menghindar.
"Reva kenapa?" guman Jihan dengan bingung, "apa gue ada salah ya?" sambungnya.
Tidak ingin memusingkan, Jihan kembali melanjutkan jalannya untuk menemui Sean. Senyum lebar Jihan terpancar, dia sudah tidak sabar menunggu hari pernikahannya. Sesampainya di depan ruangan Sean dia langsung masuk tanpa mengucapkan salam apapun.
"Hai, sayang!"
"Hai, Han, baru sampai? Sini masuk," ujar Sean, seraya menyuruh Jihan untuk mendekat ke arah dirinya.
Hal itu tentu saja membuat Jihan sangat senang, dan langsung memeluk tubuh tegap Sean. Nyaman, itulah yang Jihan rasakan setiap berada di dekapan calon suaminya.
"Aku sayang sama kamu."
"I love you more, Jihan." Sean mengecup pucuk kepala Jihan dengan lembut.
Setelah puas berpelukan, Jihan kembali menarik dirinya untuk berdiri. "Apa Reva dari sini?"
Sebelah alis Sean terangkat. Apa Jihan melihat? Walaupun kaget, Sean berusaha untuk menampilkan wajah tenangnya.
"Tadi aku ketemu sama dia, tapi kok aneh ya? Aku mau panggil, dia main pergi aja padahal dia liat aku loh."
Syukurlah, setidaknya Sean bisa bernapas lega ketika mendengar penjelasan Jihan. Tetapi, apa benar yang Jihan katakan? Kalau iya, ada apa dengan Reva? Padahal tadi saat mereka berdua, Reva kelihatan baik-baik saja atau dia mulai menjaga jarak dengan Jihan?
"Kok kamu diam? Dia dari sini atau engga? Kalau iya, apa dia ada cerita?"
Sean menggelengkan kepalanya sambil meraih tangan Jihan lalu menciumnya. "Dia engga ke sini, mungkin kerjaannya lagi banyak, jadi agak suntuk. Semua karyawan udah biasa kayak gitu, Han, jangan diambil pusing ya?"
Berbeda dengan Jihan, sedangkan Reva berusaha mengatur napasnya di dalam toilet. Dengan kasar dia mencuci wajah dan juga bibirnya, tidak lupa bagian dadanya dengan tissue basah. Iya, Reva berusaha untuk menghilangkan bekas jejak-jejak yang sudah Sean jelajahi.
Tanpa sadar air mata Reva kembali menetes, rasa bersalahnya kembali memuncak sampai ke atas kepala. Sumpah demi apapun, tadi Reva tidak berniat untuk bersikap judes kepada Jihan, hanya saja dia tidak sanggup berhadapan. Kebaikan Jihan, tetapi di belakang Reva sudah menghianati. Ingin Reva bercerita, tetapi pada siapa? Nisa? Mungkin bisa saja, tapi Reva sangat takut, takut kalau temannya itu akan menjauh.
Perlahan Reva mengangkat wajah, dia menatap pantulan wajah mengenaskan di depan cermin. "Lo bisa, Re, lo pasti bisa. Lo ga boleh nyesel, lo lakuin ini buat ayah, buat bantu ibu juga. Lo anak satu-satunya, apapun yang terjadi nanti, itu udah jadi resiko yang harus ditanggung."
Kata-kata simple namun penuh pengharapan Reva lontarkan untuk dirinya sendiri. Setelah merasa tenang, Reva melangkahkan kakinya ke luar dari kamar mandi lalu menuju ke ruangan kerjanya.
"Hai, Re! Kok lama banget sih? Pak Sean ngomong apa sama lo? Bentar, ini lo habis berenang di mana sih? Muka basah, baju basah." Nisa berdecal memperhatikan penampilan Reva.
"Habis dari kamar mandi buat cuci muka. Muka gue gatel banget, kayaknya salah pakai bedak deh. Keasikan cuci muka, ga sadar baju sampai basah, hehe."
"Boleh gue minta bedak lo, Nis?"
Nisa mengangguk sambil mengambil tasnya yang berada di atas meja. Bukan hanya bedak, tetapi tissue serta dompet make up dia keluarkan lalu dia berikan kepada Reva. Selama Reva bermake up, Nisa tidak henti-hentinya menatap gerak-gerik Reva. Seperti ada yang aneh, tetapi Nisa bingung untuk memulainya.
"Tadi gue samperin Fian dulu ke bawah."
"Oh ya? Kenapa? Bukannya lo di suruh ke ruangan Pak Sean?"
"Gue penasaran aja, kenapa dia jauhin gue. Gue mau nanya, gue ada salah apa sama dia, tapi belum dijawab keburu pergi."
Nisa menghembuskan napasnya perlahan. Entah teman di sampingnya itu polos, atau sedang berpura-pura polos? Sudah umum ditemui kalau pria habis menyatakan perasaan lalu ditolak, dia akan berangsur pergi. Mungkin Fian seperti itu, dia sedang mewaraskan kembali hati dan otaknya.
"Menurut lo kenapa, Nis?"
"Karna habis ditolak lo lah, Re."
Reva menurunkan sedikit kaca di tangannya, lalu dia menatap Nisa. "Gue ga nolak dia, Nisa. Gue cuma belum tau mau jawab apa."
"Apa kita mau mengulang pembahasan?" Sebelah alis Nisa terangkat, "secara ga langsung jawaban lo ya nolak dia. Yaampun, Re, dia bertahun-tahun nunggu kepastian, tapi apa yang dia dapat sekarang? Menurut lo wajar ga kalau dia sakit hati? Belum lagi lo sama Pak Sean."
"Gue sama Pak Sean?" Reva menaruh bedak serta maskara yang baru saja dia kenakan, "apa hubungannya gue sama Pak Sean?" sambung Reva dengan wajah panik.
"Gue ga tau ada apa diantara kalian, tapi akhir-akhir ini gue liat kalian berdua makin deket. Bukannya Pak Sean mau nikah ya, Re?" Nisa menatap lekat kedua mata Reva. Sudah kepalang kepo, makanya Nisa tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Lagi-lagi Reva tersudut.
"Sehabis lo nolak dia, lalu lo dekat sama Pak Sean, mungkin itu yang buat Fian ngejauh. Tapi, Re, lo bisa perbaiki itu. Apa lo mau gue bantu?"
"Gue ga ada hubungan apa-apa sama Pak Sean, Nis. Kadang gue ketemu dia cuma bahas pernikahannya aja. Lo tau sendiri Jihan dekat sama gue, banyak yang dia minta tolongin, belum lagi soal baju."
Nisa mengangguk-anggukan kepalanya sambil memasukan kembali dompet make up miliknya ke dalam tas. Berbicara kedekatan Reva dengan Jihan memang benar adanya. Entah apa yang terjadi dulu, tetapi hubungan keduanya sangat baik. Tapi dari sepengelihatan Nisa, Jihan memang wanita baik dan juga humble kepada siapapun.
"Yaudahlah, Re, soal Fian nanti gue siap bantu deh. Lagian ga enak juga 'kan kalau harus renggang? Gimana kalau makan siang nanti kita bareng bertiga? Biar kalian ga pada kaku."
Mendengar ide Nisa membuat Reva mengangguk antusias. "Boleh banget, lo yang atur aja ya? Takutnya kalau gue yang ajak, dia ga mau."
"Beres." Nisa mengangguk-anggukan kepalanya sambil menatap lekat layar laptop.
Huh! Semoga saja badai percanggungan segera musnah. Jujur, Reva yang menjalani pun ikut lelah dengan semua ini.
***