Chereads / One Night Surprise / Chapter 7 - Hampir Saja!

Chapter 7 - Hampir Saja!

Rasa sakit yang hinggap membuat Reva terbangun dari tidurnya. Bukan hanya rasa sakit, bahkan tubuhnya pegal semua. Perlahan kelopak mata Reva terbuka, dia menatap keseliling dengan pandangan bingung. Tunggu dulu, ini bukan kamarnya, tapi...

Reva yang sedang sibuk dengan otaknya tiba-tiba saja dikagetkan saat sebuah tangan memeluk pinggangnya dari dalam selimut. Reva menoleh ke arah belakang, seketika matanya membulat sempurna saat melihat wajah pria yang masih terlelap. Kali ini Reva ingat, dia sedang berada di apartemen Sean.

Berhubung tidak tahu mau melakukan apa, Reva kembali membalikan tubuhnya sambil menarik selimut sampai menutupi semua tubuh mulusnya. Fikiran Reva seketika melayang, ingatan semalam kini terputar sempurna di dalam otaknya. Apa kali ini tugasnya sudah selesai? Apa setelah ini hidupnya bisa normal kembali tanpa bayang-bayang Sean?

Pelukan di pinggang yang semakin erat, membuat Reva kembali terdiam sampai tiba-tiba tangan kekar itu membalikan tubuhnya dengan paksaan.

"Kamu udah bangun? Tetaplah seperti ini, jangan beranjak," ujar Sean dengan suara khas bangun tidur yang serak.

Pandangan keduanya beradu, tetapi beda rasa. Reva menatap setiap incu wajah Sean dengan gamang, sedangkan Sean dengan senyum kepuasan.

"Apa aku udah bisa pergi?"

"Kamu yakin bisa pergi?" Sean berbalik tanya, membuat Reva kembali menutup rapat mulutnya.

Melihat wanita di depannya terdiam membuat Sean semakin mengembangkan senyumannya. Tangan Sean terulur, dia mengusap pipi Reva lalu tangannya turun ke pundak. Belum sempat Sean menjelajah lebih lanjut, suara bel dan ketukan pintu terdengar dari luar kamar.

Sean berdecak, siapa yang berani menganggu waktu weekendnya? Terlebih saat ini Sean sangat menikmati pemandangan di depannya, yaitu wajah Reva. Suara dering ponsel kembali menyadarkan Sean, dia menarik dirinya menjadi posisi duduk.

Jihan.

Sebelum mengangkat panggilan itu Sean berdeham, sambil melirik Reva yang kembali menarik selimut tebalnya.

'Sean, kamu ke mana aja sih? Ini udah jam berapa?'

'Aku tau kamu di apart, kenapa lama banget buat buka pintu?'

"Kamu ada di sini, Han?"

'Tentu, aku udah lima menit berdiri di depan pintu. Bisa buka dulu ga?'

"Oke, tunggu sebentar ya."

Tut!

Sean mematikan sambungan secara sepihak. Boleh saja dia panik, tetapi Sean berusaha santai saat Reva menatapnya.

"Apa ada Jihan?"

"Ya, ada di depan."

Reva berusaha bangkit dari posisi rebahannya. Oke, kali ini Reva yang panik. Bagaimana kalau Jihan mengetahui keberadaan dirinya di sini? Tamat sudah hidup Reva.

"Kamu ikut saya ke kamar mandi, Jihan ga akan ke kamar mandi jadi aman." Karena pergerakan Reva yang lama, Sean langsung menggendong tubuh polos Reva untuk segera ke kamar mandi.

Setelah Reva aman, Sean membereskan tempat tidur, lalu dia menaruh semua barang Reva ke kamar mandi. Sean bergegas memakai baju dengan asal lalu dia berlari kecil menuju pintu utama. Saat pintu terbuka, wajah cemberut Jihan lah yang Sean temukan.

Sean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu dia menarik pinggang Reva membawanya ke dalam dekapan. "Maaf ya lama? Semalam banyak kerjaan, aku baru tidur subuh jadinya kesiangan."

"Kamu kebiasaan tau ga? Kita udah janji dari seminggu yang lalu padahal." Jihan melepaskan pelukan Sean lalu duduk di sofa.

Iya, hari ini mereka memang punya jadwal untuk melihat gaun pernikahan. Soal gedung sudah selesai, bahkan pekerjaan hampir selesai. Dua minggu lagi keduanya akan melangsungkan pernikahan dengan sangat mewah.

"Oke, aku mandi sama siap-siap dulu ya? Jangan marah, hari ini kita selesaikan semuanya," ujar Sean sambil mengecup singkat bibir Jihan.

Setelah mendapat persetujuan, Sean bergegas masuk kembali ke dalam kamar. Sebelum benar-benar ke kamar mandi dia kembali mengintip dari ambang pintu. Aman, Jihan sedang memainkan ponselnya.

Sean mengetuk pelan pintu kamar mandi, tanpa menunggu lama pintu tersebut terbuka. Sean masuk, lalu menatap Reva yang sudah rapih menggunakan dress berwarna biru selutut.

"Uangnya udah saya transfer, mengenai perjanjian semalam saya anggap deal. Saya harus pergi, kamu kalau mau pergi juga bawa kunci apartemen ini."

"Kapanpun saya minta kamu ke sini, kamu harus siap."

***

"Permisi, Kak, mau beli cemilannya?"

Reva tersentak kaget karena sapaan barusan, itu semua karena dia sedang melamun, fikirannya sedang pergi entah ke mana. Reva menoleh, dia tersenyum ke arah anak perempuan yang kini berdiri di sampingnya.

"Maaf ya, Kak, kalau aku ganggu."

"Engga kok, ga ganggu sama sekali. Umhh, aku boleh beli air mineralnya satu? Sama roti deh."

Kedua mata anak kecil itu berbinar. "Boleh banget, Kak! Sebentar ya aku ambilkan."

Sudut bibir Reva tidak bisa menahan senyumannya. Ternyata di luar sana masih banyak yang lebih menderita dari dirinya, tetapi mereka masih mau berusaha bertahan di jalan yang benar. Bahkan Reva merasa tersentil kepada anak di samping. Masih kecil, mungkin usia sepuluh tahun, tetapi dia sangat semangat bekerja. Seharusnya umuran segitu sedang asik sekolah dan bermain.

"Ini uangnya," ujar Reva sambil memberikan uanh selembar berwarna merah.

Kening anak itu mengerut, dia bingung ketika Reva membayar pakai uang besar sedangkan dia baru saja ke luar untuk berjualan. Anak itu tersenyum sambil mengulurkan kembali uang tersebut kepada Reva.

"Loh, kenapa mau dibalikin?"

"Aku ga ada kembaliannya, Kak. Yaudah gapapa kok untuk Kakak aku kasih gratis."

Refleks Reva menggeleng, dia kembali menurunkan tangan mungil di depannya. "Engga usah dikembalikan, sisahnya buat kamu aja ya?"

"Loh, tap-"

"Engga apa-apa," potong Reva dengan cepat.

Sebetulnya ada hasrat ingin memeluk, namun anak itu mengurungkan niatnya. Tanpa sadar, air matanya menetes menatap uang di genggamannya.

"Makasih banyak ya, Kak? Uangnya bisa aku beliin beras buat Ibu, terus susu sama pempes buat adik."

Tulang punggung.

Reva kembali merogoh tasnya, dia mengeluarkan lembaran uang berwarna merah lalu memberikannya lagi. "Yang ini buat beli susu adik ya? Titip salam untuk adik sama ibu."

Berhubung Reva tidak mau menerima penolakan, dia buru-buru pamit tanpa menghiraukan panggilan anak di belakangnya. Reva memberhentikan taksi, lalu masuk dan duduk dengan santai.

"Kita mau ke mana, Mbak?"

"Jalan dulu aja, Pak."

Selama di perjalanan Reva hanya diam sambil bersandar ke jendela. Hari ini Sean dan Reva akan mengurus pernikahannya, pernikahan yang selama ini Jihan tunggu-tunggu. Bahkan Reva masih ingat wajah gembira Jihan saat bercerita. Tetapi kini semuanya sudah berbeda karena dia akan merusak kebahagiaan Jihan.

Semua memang tetap aman kalau Reva atau Sean tidak buka suara kepada siapapun. Akan tetapi, Reva sendiri tidak tahu sampai mana kekuatannya untuk menutupi ini. Reva melirik ponselnya yang berbunyi, dia membaca pesan yang baru saja masuk.

"Pak, kita ke Caffe Alam ya."

***