Tangannya telah menyentuh gagang pintu. Dirinya hendak membuka pintu, tetapi gerakannya terhenti ketika suara tawa terdengar dari dalam. "Hei apakah kamu tahu? Aku bahkan sangat senang melihatnya menangis histeris." Dahinya sedikit berkerut ketika mendengar penuturan itu. Sebenarnya wanita itu tengah berbicara dengan siapa? Ia pun mendekatkan teliinga pada pintu kamarnya.
"Tidak apa-apa, aku sangat senang ketika mengetahui gadis itu tidak dapat melupakan kejadian itu." Suara tawa itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia pun mengerutkan dahinya semakin dalam. Ingin sekali tangannya ini membuka pintu, tetapi ia urungkan, akan lebih baik jika kembali mendengarkan pembicaraan istrinya itu dalam diam.
"Kamu tenang saja, aku pastikan tidak ada yang mengetahui hal ini."
Rasa penasaran semakin besar. Tangannya sudah gatal ingin membuka pintu. Gagang pintu pun sudah digenggam dengan erat. Ketika ia akan membukanya, suara wanita itu kembali terdengar.
"Pria itu? Kamu tenang saja, pria itu sangat bodoh, dia tidak akan—"
Cukup. Dia tidak tahan lagi. Secara kasar, pintu pun terbuka. Aksinya itu menimbulkan suara sehingga sang istri menoleh dan mata wanita itu terbelalak. Ia menatap tajam Wina ketika menyadari keterkejutan itu.
"Kamu sedang berbicara dengan siapa?" tanyanya dengan suara dingin.
Wina merasa tubuhnya bergetar. Mulutnya sedikit terbuka, tetapi lidahnya terasa kelu. Erik yang menyadari kegugupan itu langsung membentak. "Katakan padaku, siapa yang tengah berbicara denganmu itu, Wina!" Suara lantang Erik membuat Wina kembali tersentak. Mata hitamnya menatap Erik dengan takut. Kedua tangannya saling bergenggaman untuk mengusir rasa gugup dan takut yang menyelimutinya, tetapi hal itu tidak berpengaruh.
"JAWAB WINA!" bentak Erik ketika Wina hanya diam saja dengan tatapan takutnya.
Wina kembali tersentak. Tubuhnya bergetar. Degup jantungnya berpacu semakin cepat. Wajahnya mulai pucat. Ia meneguk ludah dengan susah payah. Bibirnya sedikit terbuka. "A-a-aku, tengah berbicara dengan... teman," jawab Wina gugup.
Erik masih menatap tajam Wina. Wanita itu pun sedikit menunduk ketika pandangannya bertautan dengan mata cokelat kehitaman Erik.
"Temanmu yang mana? Apakah dia pria?" cecar Erik dengan cepat.
Wina menggeleng pelan sembari menunduk. "Dia... wanita," jawab Wina pelan.
"Jangan berbohong, Wina." Suara dingin Erik membuat Wina semakin menundukkan kepalanya. Tangannya menggenggam erat hingga memerah. Aura mencekam dari Erik telah menyeruak. Tubuhnya pun bergidik ngeri.
"Jika memang dia adalah wanita, mengapa kamu tidak berani menatapku?" tanya Erik sembari menaikkan sebelah alisnya.
Wina bergeming. Kepalanya tengah sibuk memikirkan jawaban. Namun, aura pria itu membuatnya sangat takut. Otaknya mendadak buntu. Ia tidak dapat berpikir.
"Dia pria kan, Wina?" Erik berusaha memastikan. Namun, Wina hanya terdiam. Wanita itu bahkan tidak menggeleng atau pun mengangguk. Melihat sikap diam Wina, emosi Erik kembali tersulut.
"JAWAB AKU, WINA!" seru Erik sembari menggebrak pintu kamarnya. Suara keras itu sontak membuat Wina terlonjak dan mendongak. Jantungnya berdegup sangat cepat. Ia dapat merasa bahwa jantungnya ini dapat keluar begitu saja.
Secara perlahan, Wina menolehkan kepalanya sembari menatap Erik. Pria itu tengah menatapnya tajam. Wajah pria itu bahkan telah memerah dan nafasnya terengah-engah. Ini adalah pertama kali ia melihat wajah murka milik suaminya.
"Mas... aku tidak berbohong..." lirih Wina dengan nafas tercekat. Wajahnya bahkan berubah menjadi pucat. Erik yang melihat perubahan itu seketika menghela nafas. Bahunya sedikit mengendur. Sorot tajamnya telah sedikit redup.
"Wina," panggil Erik pelan.
Wina pun menoleh menatap Erik. Wajah pria itu sudah tidak merah padam. Namun, rasa takut itu masih menyelimuti. Mata hitamnya menatap pria di hadapannya dengan takut.
Erik yang mendapati sorot ketakutan dari netra hitam istrinya langsung melangkah pelan mendekat ke arah ranjangnya. Pria itu mengulas senyum kecil, setidaknya ia ingin memberi tahu pada wanita itu bahwa emosinya sudah sedikit padam. Namun, Wina masih menatapnya dengan tatapan was-was. Tubuhnya sedikit bergeser ketika Erik hendak duduk di sampingnya. Ia dengan cepat menundukkan kepala ketika pandangannya saling bertautan
"Maafkan aku, sayang..." lirih Erik. Biar bagaimana pun ia telah membuat istrinya takut. Wanita itu bahkan tidak ingin menatapnya.
Wina pun hanya terdiam. Jantungnya masih berdegup cepat. Rasa takut itu belum sepenuhnya sirna.
Erik menghela nafas. "Aku tahu bahwa tindakanku tadi sangat kasar," sesalnya. "Aku sungguh meminta maaf. Hari ini aku benar-benar lelah, sehingga tidak dapat mengendalikan emosi," racaunya sembari memijat kepalanya yang terasa berat.
Suara Erik terdengar prustasi. Hela nafas yang keluar dari mulutnya pun seperti menggambarkan bagaimana kacaunya ia saat ini. Wina pun menoleh secara perlahan. Dirinya masih menatap takut sang suami. Netranya mendapati Erik tengah memijat kepala sembari memejamkan mata.
"Apakah kamu tengah banyak pikiran, mas?" tanya Wina pelan sembari menatap takut Erik.
Erik mengangguk tanpa menatap Wina. "Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali hal yang harus aku pikirkan," gumam Erik sembari menghela nafas. Rasa lelah itu telah menghujani tubuhnya. Bahkan bukan hanya fisik, pikiran dan batinnya pun ikut merasa lelah.
Wina mengulurkan tangannya, disentuh pundak sang suami. "Apakah ini mengenai anak-anak?" Wanita itu kembali bertanya secara berhati-hati. Ia takut pertanyaan itu akan memantik emosi Erik.
Erik kembali mengangguk. Tangannya masih memijat kepala yang terasa pusing. Melihat hal itu membuat Wina menarik tangan Erik yang bertengger di kepalanya. Pria itu sontak menoleh ke samping. Terlihat wajah wanita itu sangat dekat dengannya. Ia bahkan dapat merasakan deru nafasnya.
"Biar aku saja yang memijat kepalamu, mas," ujar Wina sembari meletakkan kedua tangannya di kepala Erik, kemudian memijatnya secara perlahan.
Pijatan itu terasa nyaman untuk Erik. Ia kembali memejamkan mata dan menikmati pijatan dari sang istri.
"Apakah kamu ingin berbagi bebanmu itu padaku?" tanya Wina lembut.
Erik mengulas senyum tipis dengan mata terpejam. "Tidak sekarang. Saat ini aku begitu lelah untuk menceritakannya," jawab Erik pelan.
"Baiklah kalau begitu," ujar Wina sembari memijat pelipis Erik. Pria itu pun sedikit mengerang. Pijatan Wina benar-benar membuatnya nyaman.
"Oh iya sayang, apakah Astrid berada di kamarnya?" tanya Erik.
"Astrid belum pulang, mas," jawab Wina.
Seketika kedua matanya terbuka. Ia langsung menoleh ke samping, sehingga pergerakan Wina terhenti begitu saja. "Apa maksudmu Astrid belum pulang? Ini sudah pukul 10 malam dan anak itu belum di rumah?" cecar Erik dengan tatapan tajamnya.
Wina kembali tersentak. "A-aku akan segera menyuruhnya pulang, mas," ujar Wina sedikit gugup. Ia sedikit menoleh ke belakang. Matanya sibuk mencari benda pipih persegi panjang itu. Sial, kemana benda itu pergi? Bukankah ia baru saja menggunakannya?
"Ponselmu berada di bawah kasur," celetuk Erik dengan ketus. Wina yang mendengarnya pun segera menoleh kemudian menatap lantai kamarnya. Benar saja benda itu terdapat di dekat kakinya. Tangannya langsung menyambar benda tersebut, kemudian dengan cepat mencari kontak anaknya.
"Bagaimana bisa seorang anak gadis belum pulang ke rumah ketika waktu sudah larut?" gerutu Erik. Sementara Wina, wanita itu langsung mendekatkan ponselnya ke telinga.
"Apakah ia terbiasa seperti itu selama di Cirebon, hah?" lanjut Erik sembari menatap tajam istrinya.
"Ini baru pertama kalinya, mas," kilah Wina sembari beranjak dari tempatnya.
"Cepat suruh dia pulang sekarang juga!" seru Erik sembari mendengus.
Wina mengangguk pelan. Ia menggigit jari ketika panggilannya tak kunjung diangkat. Sial, ke mana anak itu sebenarnya? Apakah anak itu tidak memegang ponselnya? Pikiran Wina mulai berkecamuk.
Erik menghela nafas sembari menatap nyalang lampu tidurnya. Wina yang mendengar pun sedikit menoleh. Suaminya terlihat kesal.
'Ayolah Astrid, jawab panggilan Ibumu ini.' Batinnya bergumam. Dirinya tidak ingin melihat emosi Erik. Sudah cukup beberapa menit lalu ia menyaksikan langsung bagaimana murkanya pria itu.
"Halo Astrid? Kamu berada di mana sekarang?" Wina langsung bertanya dengan cepat ketika panggilannya diterima. Kakinya melangkah ke luar kamar. Sementara Erik, pria itu tampak tidak acuh.
"Apa kamu gila, hah?" Wina sedikit berseru ketika suara Astrid terdengar dari seberang sana.
"Tidak ada alasan apa pun, cepat pulang sekarang! Ayah tengah mencarimu," tukas Wina dengan cepat.
"Jangan buat Ayahmu murka, Astrid," ujar Wina dingin.
"Ya sekarang juga!" tegasnya sembari menutup panggilan itu.
Hela nafas lolos dari mulutnya. Ia menatap tidak percaya ponsel dalam genggamannya. Bagaimana bisa anak itu bertingkah diluar kehendaknya? Apakah ia terlalu lembut akhir-akhir ini?
"Benar-benar sialan!" gerutu Wina sembari menatap lantai rumahnya dengan tajam.
***