Bandung, 10 Agustus 2013
"Selamat ulang tahun, Alana!" Bunyi party popper di hadapan wajahnya mengejutkan Alana. Gadis itu sedikit memundurkan wajahnya ketika serpihan kertas dari party popper berhamburan. Sudut bibirnya sedikit terangkat ke atas membentuk senyuman kecil.
"Terima kasih," ujarnya seraya menatap Safiya dan Mareta secara bergantian.
"Ditiup dulu dong lilinnya!" Safiya sedikit berseru seraya menyodorkan angle food cake pada wajah Alana. Di atas kue itu terdapat dua buah lilin berangka satu dan tujuh. Alana menatap kedua lilin dengan mata berbinar. Ketika dirinya hendak meniup lilin tersebut, Mareta menginterupsinya.
"Buatlah permohonan terlebih dahulu, Nak." Alana mengangguk kecil. Dirinya hampir saja lupa melewatkan salah satu ritual sakral dari perayaan ulang tahun. Gadis itu pun menutup kedua matanya seraya membentangkan tangan dengan posisi tangan berada lurus dengan dada. Ia hendak memanjatkan doa pada Sang Maha Kuasa.
'Tuhan, aku ingin di usiaku yang telah genap 17 tahun ini, Engkau memberikan kelimpahan berkah dan bahagia padaku. Aku ingin keluargaku selalu harmonis untuk saat ini dan seterusnya. Selain itu, aku ingin persahabatanku dengan Safiya akan tetap bertahan untuk selamanya, Aamiin.'
Alana mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, gadis itu telah selesai berdoa. "Nah sekarang tiup lilinnya," ujar Mareta lembut. Alana menatap sekilas Mareta sembari mengangguk. Safiya yang masih membawa kue ulang tahun kembali menyodorkannya untuk Alana.
Gadis bermata cokelat kehitaman itu mendekatkan wajahnya, bibirnya dimajukan ke depan, ditiupnya kedua lilin itu dalam sekali tiupan.
"Yeay!" Suara tepuk tangan dan sorak–sorai tercipta dari kedua orang itu, Safiya dan Mareta. Alana yang melihat semburat kebahagiaan itu hanya mengulas senyum tipis.
Hela napas keluar dari bibirnya. Mareta yang mendengarnya pun menolehkan kepalanya, ditatap putri semata wayangnya itu. "Ada apa, Alana?" tanya Mareta sembari mengelus lembut rambut hitam Alana.
"Ayah tidak ada, Bun," ujar Alana dengan wajah murung. Binar matanya pun kini menjadi sendu ketika menyadari sosok sang ayah tak kunjung datang.
Mareta menatap putrinya dengan sendu. Melihat gadis itu murung membuatnya ikut bersedih. "Sabar ya La, Ayah pasti sedang dalam perjalanan kemari," ujarnya menenangkan sang anak yang tengah gundah gulana.
"Kapan Ayah akan pulang, Bun? Bukankah Ayah seharusnya pulang cepat hari ini?" cecar Alana pada Mareta.
Wanita berambut lurus hitam itu memandang putrinya dengan teduh. Tangannya masih tetap membelai tiap helai rambut Alana. "Saat ini Ayah tengah banyak pekerjaan, jadi Ayah harus pulang terlambat. Alana jangan ngambek gitu, ya. Ayah sebentar lagi pulang, kok."
Alana mengerucutkan bibirnya. "Tapi ini 'kan hari istimewaku, Bun!" rengeknya.
Mareta mendesah pelan. Matanya melirik ke arah seorang gadis lainnya yang tengah berdiri memandang Alana, dan juga dirinya. Ditatapnya gadis itu sembari melirik ke arah Alana.
Gadis itu yang paham akan arti tatapan itu pun mengangguk kecil. Dirinya pun mendekati Alana yang tengah merajuk sembari membuang wajahnya.
Disentuhnya pundak Alana. "La, sudah ya jangan merajuk seperti itu. Lagi pula di sini 'kan ada aku dan juga Bunda kamu. Kita berdua di sini telah bersusah payah untuk menyiapkan kejutan ini untukmu, masa kamu tidak menghargai usaha kita, sih." Safiya mengerucutkan bibirnya.
"Bukannya aku tidak menghargai usahamu dan Bunda, Sa." Alana mengembuskan napas. "Aku hanya kecewa mengapa Ayah tidak ikut hadir bersama kalian," ujarnya lirih seraya menatap jendela rumahnya dengan sendu.
"Ayah telah berjanji akan merayakan ulang tahunku ini, Sa," gumam Alana. Pandangannya mengarah pada beberapa tanaman yang menghiasi halaman depan rumahnya. Entah mengapa rasa gelisah itu menghantui. Firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang menimpanya, tentu saja hal itu bukanlah sesuatu yang baik.
"Aku merasa gelisah, Sa." Alana menyuarakan isi kepalanya.
Mareta menyentuh kedua pundaknya. "Apa yang kamu khawatirkan, La?" tanya Mareta.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Pandangannya masih lurus ke depan. "Aku pun tidak tahu, Bun. Aku hanya merasa sesuatu yang buruk akan terjadi," gumamnya.
Wanita itu menarik pundak Alana, membuat gadis itu menatap mata hitamnya dengan sendu. "Alana Sayangku, tidak akan ada yang terjadi padamu. Ayah akan segera pulang ke rumah dengan membawa kejutan dan kamu akan tersenyum dengan kejutan itu. Berhentilah berpikir yang tidak–tidak, percayalah pada Bunda, oke?" Suara lembut Mareta membuat hati Alana menghangat. Gadis bermata cokelat kehitaman itu mengangguk pelan.
"Nah sekarang mana senyum manis anak Bunda?"
Sudut bibir gadis itu terangkat membentuk sebuah senyuman. Cantik. Senyuman itu menambah kecantikan seorang Alana.
"Alana sangat cantik ketika tersenyum, jadi kamu tidak boleh menghilangkan senyuman itu, oke?"
Gadis itu kembali mengangguk pelan seraya menatap sang bunda.
"Janji?" Mareta menyodorkan jari kelingkingnya pada wajah Alana.
Alana terkekeh melihatnya, tingkah bundanya ini ada saja. Melihat Mareta yang masih menyodorkan jari kelingkingnya, membuat ia mengalah. Alana mengaitkan jari kelingking Mareta dengan jari kelingking miliknya. "Alana janji."
Mareta tersenyum, senyuman itu menular pada Alana. Senyumannya semakin lebar melihat gurat bahagia pada wajah wanita berusia 40 tahun itu.
"Aish, aku iri melihatnya!" dengkus Safiya seraya menatap sebal Alana dan Mareta.
Kedua perempuan itu sontak menolehkan kepalanya menatap Safiya, gadis itu tengah berdiri di tengah–tengah mereka. "Kemarilah, Safiya." Mareta melambaikan tangannya pada Safiya.
Safiya bergeming di tempatnya, gadis itu masih menatap kesal kedua orang di hadapannya. Alana yang geram melihatnya segera menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya dan Mareta. "Sudahlah Safiya, jangan menampilkan wajah kesalmu itu!" gerutu Alana.
Gadis bermata hitam itu menatapnya dengan sinis. Alana yang melihatnya pun membalas dengan mengangkat dagunya itu ke arah Safiya.
Mareta yang melihat tingkah kedua gadis remaja itu langsung meleraikannya. "Sudah–sudah jangan sampai kalian bertengkar hanya karena hal sepele seperti ini."
"Dia duluan, Bunda!" tuduh Safiya seraya menunjuk Alana dengan jari telunjuknya.
Alana membulatkan kedua matanya. "Hei, mengapa jadi aku yang salah?" sungut Alana. Dirinya tentu saja tidak terima atas tuduhan sahabatnya itu.
"Kamu yang awalnya—"
"Sudah, cukup!" Mareta sedikit membentak. "Kalian berdua ini anak Bunda, jadi berhentilah bertengkar karena hal kecil," sambungnya sembari memeluk Alana dan Safiya dalam dekapannya.
Hangat. Itulah yang dirasakan oleh kedua gadis itu. Pelukan Mareta begitu hangat. Mereka sangat menikmati kehangatan yang diberikan oleh wanita berusia 40 tahun ini. Di tengah kehangatan itu, tiba–tiba saja petir menggelegar, sontak hal itu mengejutkan ketiga perempuan yang tengah berpelukan.
"Sepertinya hujan akan turun dengan lebat malam ini," gumam Mareta seraya menatap jendela. Angin pun bertiup kencang, terlihat beberapa tanaman yang ditanam olehnya bergoyang.
"Bunda, aku takut," gumam Alana seraya memeluk Mareta.
"Iya–iya tenang saja, Alana." Mareta mengusap pelan punggung putrinya itu. Sementara Safiya, gadis itu tetap memeluk Mareta, bukan karena takut melainkan berada dalam dekapan Mareta sangat hangat.
Bunyi bel terdengar memenuhi ruang tamunya. Alana yang mendengarnya segera menghamburkan diri dari pelukan sang bunda. "Itu pasti Ayah!" Gadis itu segera berlari ke arah pintu.
Mareta dan Safiya yang melihatnya hanya menggeleng pelan seraya tersenyum kecil. Alana terlihat antusias dengan kedatangan ayahnya.
"Ayah!" Gadis itu membuka pintunya dengan semangat. "Mengapa Ayah, pulang terlambat?" suaranya sedikit melemah ketika matanya melihat seorang wanita, dan seorang gadis berdiri di samping ayahnya.
"Ayah, siapa mereka?" tanya Alana seraya menatap heran sosok wanita dan gadis asing itu.
"Mereka adalah keluargamu, Alana."
***