"APA YANG KAMU LAKUKAN, HAH?" Alana memekik keras sembari membelalakkan matanya menatap laki – laki di hadapannya. Sentuhan Adyatma pada pipinya tentu saja membuat jantungnya berdegup cepat.
Mata hitam itu menatap datar mata cokelat kehitaman di hadapannya. "Aku hanya menghapus sisa air matamu." Tangannya masih menyapu sisa – sisa bulir bening itu pada pipi dan pelupuk mata Alana.
Sementara gadis berambut cokelat itu hanya menatap tanpa memberikan perlawanan. Seluruh anggota tubuhnya terasa kaku, sehingga ia hanya menerima perlakuan Adyatma padanya. Mata cokelat kehitamannya memperhatikan setiap garis pada wajah laki – laki itu. Ketika pandangan mereka bertemu, mata cokelat kehitamannya terhipnotis oleh gelapnya manik hitam itu.
Cukup lama mereka menatap satu sama lain, sudut mata laki – laki itu terangkat sehingga matanya hanya membentuk segaris saja. "Bundamu pasti akan sedih jika kamu terus menangis seperti tadi, jadi berhentilah menangis." Suara lembutnya memasuki telinga Alana. Tubuhnya pun sedikit bergidik ketika suara itu memenuhi pendengarannya. Namun lubuk hatinya terasa menghangat. Sudut matanya kembali terangkat, laki – laki itu bahkan tersenyum dengan matanya.
Merasa cukup panas dengan situasi ini, Adyatma memundurkan wajahnya dari Alana. Kepalanya menoleh ke samping agar tidak kembali menatap mata cokelat kehitamannya. Ia berdeham untuk mencairkan suasana. "Langit sudah semakin gelap, bukankah kita juga harus segera pulang?" tanyanya.
"Hah?" Gadis itu tampak bingung seraya menatap Adyatma. Otaknya bekerja sedikit lambat saat ini.
Adyatma kembali menoleh menatap Alana. Gadis itu tengah menatapnya dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Tentu saja hal itu membuatnya tersenyum simpul. "Hari sudah sore, kita juga harus segera pulang. Bukankah nenekmu tengah menunggu?" Adyatma kembali mengulang penuturannya.
"Oh, itu. Iya kamu benar juga." Alana mengangguk pelan.
"Kalau begitu pamitlah terlebih dahulu dengan Bundamu."
"Hah?" Alana kembali bingung. Ini adalah kedua kalinya ia tidak mengerti dengan maksud dari ucapan seseorang.
Adyatma menghela nafas seraya menggeleng pelan. "Kamu akan pulang ke rumah, itu berarti kamu akan meninggalkan Bundamu di sini sendirian. Bukankah kamu seharusnya pamit dengannya?" Laki – laki itu kembali menjelaskan penuturannya.
"Oh, kamu benar juga." Alana kembali mengangguk. Tubuhnya bergerak menghadap makam Mareta. Kakinya ditekuk, dirinya tengah bersimpuh di samping makam sang bunda. Tangannya terulur menyentuh nisan. "Bunda," panggil Alana.
"Bunda, Alana pamit pulang dahulu ya sebab nenek telah menungguku. Bunda jangan sedih di sana, Alana janji akan sering berkunjung ke sini." Suaranya kembali lirih. Sorot matanya kembali sendu.
"Ayo." Adyatma mengulurkan tangannya pada Alana. Gadis itu pun menatap uluran tangan Adyatma. Kepalanya sedikit mendongak menatap laki – laki asing di hadapannya. Laki – laki bermata hitam itu menganggukan kepalanya seolah memberikan arahan untuk menyentuh tangannya.
Kepalanya kembali menunduk sembari menatap tangan di hadapannya. Dengan rasa ragu, sebelah tangannya tergerak untuk menerima uluran tangan itu. Ketika tangannya telah menyentuh tangan di hadapannya, laki – laki itu menarik tangannya secara perlahan, membuat tubuhnya pun ikut berdiri dari posisinya.
Alana berdiri di samping Adyatma dengan sebelah tangannya yang digenggam oleh laki – laki itu. "Ayo pulang." Suara lembutnya kembali menginterupsi. Kaki laki – laki itu mulai melangkah diikuti oleh langkah dari Alana yang berada di sampingnya.
Kedua remaja itu berjalan berdampingan di bawah naungan payung hitam. Embusan angin yang menerpa tubuh, membuat Adyatma semakin mengencangkan genggamannya pada Alana. Gadis itu pun tidak memberikan perlawanan apa pun. Kakinya masih melangkah menelusuri pemakaman. Bibirnya pun hanya diam membisu. Namun matanya sesekali menatap genggaman Adyatma padanya. Tangan laki – laki itu memberikan sedikit kehangatan padanya.
"ALANA! MENGAPA BAJU KAMU BASAH KUYUP SEPERTI INI?" Suara Marina menggelegar di telinga Alana dan Adyatma. Mata wanita itu terbelalak kaget ketika melihat sang cucu dalam kondisi basah.
"Tunggu sebentar, jangan masuk terlebih dahulu!" Marina menyuruh Alana dan Adyatma untuk menunggu di luar mobil. Sementara Marina, wanita itu tampak sibuk mencari sesuatu dari belakang mobilnya.
Sebuah handuk pun berada dalam genggamannya. "Alana, kemarilah!" titah Marina dari dalam mobil. Pintu mobilnya memang sengaja dibuka agar ia dapat langsung menyadari kehadiran sang cucu. Alana dan Adyatma pun mendekati Marina. Wanita itu menghanduki sang cucu layaknya seorang bayi.
"Nek, aku bisa melakukannya sendiri." Gadis itu tentu saja merasa tidak begitu nyaman dengan perlakuan Marina terlebih di hadapan Adyatma. Mata cokelat kehitamannya melirik Adyatma. Laki – laki itu hanya menatapnya biasa tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
"Nek, ku mohon jangan perlakukan aku seperti anak kecil." Alana mulai merengek. Dirinya merasa malu saat ini dengan Adyatma.
"Kenapa memangnya? Apakah karena laki – laki di sampingmu itu makanya kamu merasa malu?" Marina sedikit menggoda Alana sembari melirik Adyatma. Dirinya masih tetap mengeringkan rambut dan juga tubuh Alana yang masih basah.
"Aish Nenek ini." Alana mengerucutkan bibirnya. Gadis itu tampak kesal.
Adyatma pun hanya terkekeh melihat tingkah Marina dan Alana. Dirinya merasa terhibur oleh kedua perempuan di hadapannya ini.
"Nenek kan sudah mengatakannya, kamu tidak boleh kehujanan! Tapi mengapa kamu tidak mendengarkannya, Alana?" Marina mengomeli Alana. Namun sang cucu hanya terdiam sembari menekuk wajahnya.
"Sekarang kamu masuklah ke dalam mobil!" Marina menggeserkan dirinya agar Alana dapat langsung masuk dan duduk di tempatnya. Gadis itu hanya terdiam sembari menuruti titah sang nenek.
Adyatma masih bergeming di tempatnya. Pandangan Marina pun teralihkan pada laki – laki itu. "Terima kasih Nak karena kamu telah menemani Alana. Apakah kamu ingin menghangatkan tubuhmu juga? Saya masih memiliki satu handuk untuk kamu pakai," ujar Marina.
Adyatma menggeleng pelan. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. "Tidak usah Nek, saya tidak kebasahan. Lagi pula Ayah saya pasti telah menunggu." Ia menjawabnya dengan suara yang sangat sopan dan lembut.
"Apakah kamu mau diantarkan untuk menemui Ayahmu? Saya merasa tidak enak sebab kamu telah menemani Alana." Marina menawarkan bantuannya untuk Adyatma. Namun lagi – lagi Adyatma menolaknya dengan halus.
"Tidak usak Nek. Lagi pula mobil Ayah saya berada di hadapan mobil nenek." Ia menunjuk pada sebuah mobil hitam yang terpakir di depan mobil Marina. Wanita paruh baya itu pun sontak menolehkan kepalanya menatap depan. Benar saja terdapat sebuah mobil di depan mobilnya. Marina pun kembali menoleh menatap Adyatma.
"Kalau begitu sampaikan salamku untuk Ayahmu, Nak. Sekali lagi saya berterima kasih padamu." Marina mengatakannya dengan tulus.
"Salam Nenek akan saya sampaikan pada Ayah, lagi pula saya juga tidak tega melihat Alana hanya sendirian di makam Bundanya," tutur Adyatma.
Marina tersenyum menatap remaja laki – laki di hadapannya. "Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nak?" tanyanya.
"Adyatma, Nek."
***
"Alana, kamu yakin tidak ingin tinggal dengan Nenek?" Marina menatap cucunya itu dengan tatapan khawatir. Gadis itu pun membalasnya dengan sebuah senyuman.
"Nek, ini sudah kelima kalinya Nenek menanyakan hal yang sama padaku." Alana menatap Marina dengan tatapan teduhnya. Mata cokelat kehitamannya mendapati sorot kesedihan pada manik cokelat itu.
"Tapi Nenek mengkhawatirkanmu, sayang." Suaranya terdengar lirih. Ia tidak ingin cucu kesayangannya ini merasa tertekan dengan keadaan rumahnya. Mengingat anak laki – lakinya itu sangat menggilai wanita murahan yang dibawanya itu.
Alana menyentuh punggung tangan Marina. "Nenek tenang saja, aku akan baik – baik saja di sana. Aku tidak ingin meninggalkan rumah itu, sebab aku tidak ingin membiarkan wanita itu merebut segalanya, Nek."
"Tapi, Alana—"
"Nenek tenang saja, aku janji bahwa aku akan baik – baik saja." Gadis itu langsung memotong ucapan Marina. Wanita paruh baya itu hanya menghela nafas melihat keras kepalanya sang cucu. Alana bersikeras terhadap pendiriannya.
"Baiklah kalau begitu, jika terjadi apa – apa berjanjilah untuk segera menghubungi Nenek." Marina kembali mengingatkan Alana.
Gadis itu mengangguk seraya berseru, "Siap, Nek!"
Sudut bibirnya sedikit terangkat melihat tingkah cucunya. Dirinya menatap Alana dengan sendu. "Kamu boleh turun, Alana." Suaranya terdengar lirih.
"Nenek hati – hati di jalan," ucap Alana.
Marina mengangguk sembari mengulas senyum. "Iya Nenek akan sangat berhati – hati."
Alana pun mengulurkan tangannya untuk membuka pintu mobil. Ketika dirinya hendak keluar, ia kembali melambaikan tangannya pada Marina. Wanita paruh baya itu pun membalasnya.
Gadis itu pun turun dari mobil sang nenek, kemudian menutup pintu mobil tersebut dengan sedikit perlahan. Ketika mobil Marina telah melaju meninggalkan rumahnya, barulah senyum gadis itu menghilang.
Alana membalikkan tubuhnya. Mata cokelat kehitamannya menatap lurus rumahnya. Rasa dingin dan senyap itu menyapanya. Hela nafas keluar dari mulutnya. Sepertinya ia harus kembali menguatkan dirinya. Dengan langkah berat, kakinya bergerak memasuki rumah.
Hening itu langsung dirasakan ketika kakinya telah memasuki rumahnya. Matanya menatap sekeliling, tidak ada siapa pun. Ia pun berusaha untuk tidak acuh. Kakinya kembali melangkah untuk menaiki anak tangga. Setidaknya suasana hening ini lebih baik untuknya.
Matanya menatap sebuah kamar yang berada di hadapan kamarnya. Kini ruangan itu telah ditempati oleh seseorang. Dirinya pun mendengus ketika mengingat hal itu. Lagi – lagi ia mencoba tidak acuh dengan keberadaan seseorang itu.
Ketika Alana hendak membuka pintu kamarnya, tiba – tiba saja suara pecahan yang sangat keras terdengar dari depan kamarnya. Sontak hal itu membuatnya terkejut dan langsung menghampiri. Tanpa meminta izin pada sang pemilik kamar, Alana membuka pintu itu dengan kasar. Matanya terbelalak menatapnya.
"APA YANG TENGAH KAMU LAKUKAN ITU?"
***