Chereads / BLACK TEARS / Chapter 5 - Kenyataan yang Tersembunyi

Chapter 5 - Kenyataan yang Tersembunyi

"Alana."

Kepala gadis itu sedikit bergerak ketika suara Safiya memasuki pendengarannya. "Alana, kamu sudah sadar?" Kembali terdengar suara itu dengan jelas. Kelopak matanya terbuka secara perlahan, silau cahaya lampu langsung menyapa retinanya, membuat matanya yang sipit semakin menyipit.

"Mengapa lampu kamarku dinyalakan?" tanya Alana dengan suara pelan.

"Di luar sangat gelap, jadi aku menyalakan lampu kamarmu," jawab Safiya. "Alana, apakah kamu baik–baik saja?" Gadis itu langsung mencecari Alana dengan pertanyaan.

Alana berusaha bangkit dari tidurnya, namun rasa pusing langsung menyerang. Tangannya pun menyentuh kepalanya yang terasa pusing. "Alana, kamu jangan terbangun dulu." Safiya dengan sigap membantu Alana untuk kembali tertidur.

"Kondisimu pasti sedang lemah, jadi kamu istirahat saja."

Kepalanya menoleh menatap Safiya yang telah duduk di sisi ranjangnya. "Sa, apa yang terjadi padaku?" tanyanya dengan lirih. Entah mengapa ia tidak ingat apa pun.

Mata bulatnya sedikit membesar. Bola matanya pun ikut berputar kesana - kemari. "Eung, kamu," Safiya mulai gugup. Dirinya benar–benar bingung apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau nanti saja.

Alana yang melihat kegugupan gadis di sampingnya merasa semakin curiga. Ia menatap Safiya dengan memicingkan matanya. "Apakah ada yang kamu sembunyikan, Safiya?" tanyanya dengan menyelidiki.

Kaki gadis itu semakin bergetar. Dirinya tidak dapat menyembunyikan rasa gugup yang menyerang. "Safiya, sebenarnya ada—"

"Teh Alana." Gadis itu mengatupkan mulutnya ketika seseorang telah menyebut namanya. Kepalanya menoleh ke arah ambang pintu, terlihat seorang pemuda dengan seragam polisinya. Dahinya semakin berkerut. Mengapa ada polisi di rumahnya?

"Iya, ada apa?" tanyanya heran.

"Apakah saya dapat masuk ke dalam?" Pemuda itu meminta izin dari sang pemilik kamar.

"Ya, tentu saja boleh." jawab Alana seraya melirik sekilas Safiya. Gadis itu tampak mengalihkan pandangannya. Alana pun mengalihkan pandangannya pada kaki gadis itu, kedua kaki Safiya masih bergetar. Sesuatu telah terjadi dan itu bukanlah hal baik.

"Jadi, ada apa?" Alana kembali menolehkan kepalanya menatap seorang polisi muda di hadapannya.

"Saya ingin menanyakan sesuatu pada Teh Alana, apakah boleh?"

Jantungnya berdegup sedikit cepat. Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu yang buruk. "Ya, silakan," jawab Alana seraya mengangguk.

Polisi itu menatap mata cokelat kehitamannya dengan lekat. "Apakah Teh Alana sempat bertemu Ibu Mareta, sebelum akhirnya beliau ditemukan tewas?"

Mata sipitnya terbelalak. Mulutnya sedikit terbuka. Jantungnya berdegup sangat cepat. "A-apa maksudnya, Pak?" tanyanya dengan gagap.

"Ibu Mareta ditemukan tewas gantung diri, apakah Teh Alana sempat menemui Ibunya? Mengingat Teh Alana ditemukan pingsan di depan kamar Ibu Mareta."

Penuturan dari polisi membuat Alana menolehkan kepalanya menatap Safiya. Gadis itu tengah mengalihkan pandangannya. "Sa, apa maksudnya itu?" tanyanya dengan lirih. Namun Safiya masih enggan untuk menatap Alana, mata hitamnya sibuk mengamati sekitar kamar gadis itu.

"Sa." Alana kembali memanggilnya. Gadis bermata hitam itu menghela napasnya. Kepalanya menoleh, ditatapnya mata cokelat kehitaman milik sahabatnya. "Bunda telah tiada, La. Bunda telah meninggalkan kita untuk selamanya," jelas Safiya dengan parau.

Alana menggelengkan kepalanya. Sudut bibirnya sedikit terangkat, sebuah senyuman tipis terukir di wajahnya. "Tidak mungkin, Sa. Bunda tidak mungkin meninggalkanku," ujarnya pelan.

Safiya mengulurkan tangannya, digenggamnya sebelah tangan Alana. "Kenyataannya Bunda telah memilih pergi untuk selamanya, La." Suara Safiya terdengar lirih, setetes air mata telah jatuh dari pelupuk matanya

Alana kembali menolehkan kepalanya, ditatap seorang polisi yang masih berdiri di hadapannya. "Apakah aku boleh melihat TKP itu, Pak?" tanya Alana dengan cepat.

"Alana!" Safiya membentaknya. Namun gadis itu tidak menggubrisnya. Mata cokelat kehitamannya masih menatap lurus seorang polisi di hadapannya.

"Boleh jika Teh Alana ingin melihatnya," jawab polisi muda tersebut.

"Terima kasih, Pak." Gadis itu dengan sigap terbangun dari tidurnya. Dirinya hendak beranjak dari ranjang, namun sebuah tangan telah mencekal pergelangan tangannya. Kepalanya sedikit menoleh, terlihat mata sembab Safiya menatapnya dengan tajam.

"Jangan lakukan itu, Alana!" tegas Safiya.

"Aku harus melihat sendiri apakah Bunda benar–benar tewas atau tidak." Gadis itu bersikukuh.

"Tapi Bunda benar–benar telah tiada! Lantas apa yang ingin kamu ketahui lagi, La?" seru Safiya dengan suara paraunya. Dirinya hanya tidak ingin sahabatnya semakin terluka. Melihat tempat kejadian perkara hanya akan membuat Alana semakin sakit.

"Aku hanya ingin melihat tempat terkahir Bunda, Sa!" pekik Alana. Matanya yang telah berkaca–kaca menatap tajam mata hitam Safiya. "Jadi, jangan halangi aku," lanjutnya seraya melepaskan cekalan Safiya dengan sedikit kasar.

"Ayo Pak, antarkan saya ke tempat kejadian." Alana telah beranjak dari ranjangnya.

"Baiklah kalau begitu." Polisi itu berjalan terlebih dahulu, Alana pun mengikutinya dengan berjalan di belakangnya.

Safiya pun hanya dapat melihat punggung Alana yang telah menjauh. "Aish!" Gadis itu menggerutu seraya menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar, isak tangis sedikit terdengar di kamar Alana.

***

"Ibu Mareta ditemukan tewas gantung diri,"

Alana terdiam mendengarkan. Matanya hanya menatap lekat sebuah tali yang menggantung di atas pipa gorden jendela kamar orang tuanya.

"Saat ini pihak kepolisian pun masih menyelidiki penyebab dari kematian Ibu Mareta."

Tangannya terulur menyentuh tali yang menjuntai. Ia tidak memberikan tanggapan mengenai penuturan polisi itu. Dirinya hanya terdiam seraya menatap tali dan juga sebuah kursi yang terletak di bawah tali. Senyum miris terukir ketika melihat kursi itu. 'Ini adalah kursi yang biasa digunakan Bunda ketika dandan,' batinnya bergumam.

"Teh Alana." Polisi itu menyentuh pundak Alana. Pemuda itu menyadari kesedihan Alana.

Gadis itu menoleh menatap pemuda di sampingnya. "Aku ingin bertanya sesuatu, apakah boleh?" tanyanya.

Pemuda itu mengangguk. "Silakan."

"Siapakah yang melaporkan kasus ini pada polisi?"

"Teh Safiya yang melaporkan ini. Saat itu Teh Alana ditemukan pingsan di depan kamar Ibu Mareta, kemudian pintu kamar ini sedikit terbuka. Ketika Teh Safiya membuka pintu kamar ini, Ibu Mareta telah gantung diri."

Alana menutup kedua matanya ketika mendengar penuturan itu. Nafasnya kembali tercekat. Rasa sesak pun mulai menyerang dadanya. "Lalu bagaimana dengan Ayahku, Pak?" tanyanya dengan pelan.

"Pak Erik tengah diminta keterangan. Beliau tengah berada di depan kamar ini bersama rekan saya."

Dibukanya kembali matanya secara perlahan. Kepalanya menoleh ke arah ambang pintu kamar orang tuanya. Terlihat Erik tengah berbincang dengan seorang polisi lainnya. Mata cokelat kehitamannya menatap lekat Erik. Pria itu tengah menjelaskan sesuatu sembari memainkan tangannya.

"Argh!" Alana mengerang. Tangannya dengan reflek menyentuh kepalanya yang terasa sakit.

"Teh Alana, apakah Teteh sakit?" Pemuda itu langsung mendekatinya ketika mendengar erangan Alana.

Gadis itu tidak menggubrisnya. Ia terlalu sibuk memegangi kepalanya. Suara – suara itu kembali berdengung di telinganya. "Argh!" Erangan itu kembali keluar dari mulutnya.

"Teh Alana." Pemuda itu menyentuh pundak Alana. Dirinya panik melihat Alana.

"Erik, lepaskan aku!" Suara Mareta kembali terngiang dalam benaknya. Alana pun merasa sakit yang luar biasa pada kepalanya. "Tidak akan ku biarkan kamu menyentuh Wina." Kini suara Erik yang terngiang.

Alana menggelengkan kepalanya. Kejadian ketika Erik mencekik leher Mareta dengan sangat kencang berputar dalam benaknya. "Erik." Suara lirih Mareta kembali terngiang. Gadis itu langsung membuka matanya. Napasnya memburu. Jantungnya berdegup cepat.

"Teh Alana, jika Teteh sakit maka sebaiknya kembali ke kamar saja." Pemuda itu masih khawatir dengan kondisi Alana. Namun lagi–lagi dirinya tak mengindahkan ucapan polisi muda itu. Kepalanya kembali menoleh ke arah ambang pintu. Matanya menatap tajam seorang pria yang tengah memasang wajah sedihnya.

"Kamu benar–benar licik, Ayah," desis Alana.

***