"Alfa kasep, nya, Neng. Kamu bobogohan sareng si eta?" tanya Ibu ketika mereka sedang di dapur membuat bumbu untuk masak makan malam.
"Ah, henteu, Bu. Temenan hungkul," jawab Ely cepat meski bohong tentu saja.
"Naha teu pacaran we? Ibu mah resep sama anak eta, sopan."
"Jadi Ibu ngarestuan Neng sareng Alfa?"
"Enya atuh. Bapak oge ngasuh restu upami neng hoyong sareng si Alda. Saur bapak mah, meski katingali di luar si Alfa kuat, tapi dia butuh dukungan ti orang-orang pang cakeutna."
"Naha bapak bisa bilang kitu?"
"Nah eta, ibu ge teu apal. Soalna Bapak teu beres ngajelaskeun."
Orang tua Ely sudah memberi restu. Apa sebaiknya ia jujur kepada mereka tentang pernikahan pura-pura yang mereka lakukan di Jakarta?
Belum siap tapi, gimana kalau nanti mereka marah karena Ely mengambil keputusan sepihak tanpa terlebih dahulu memberitahu Ibu dan Bapak. Entahlah, biar saja nanti waktu yang mengungkapkan semua.
"Ibu dulu sering denger Alfa suka nangis tengah malam pas di rumah lama kita. Kasihan dia."
Ely menoleh. Jadi Ibu juga dengar? Tapi mungkin beliau tidak tahu penyebab anak lelaki itu menangis, atau mungkin saja Ibu sudah tahu tapi menyembunyikan darinya?
"Kalian sudah lama ketemunya?" tanya Ibu.
"Belum ada empat bulan, Bu. Kebetulan tempat kerja kami sama, jadi ketemu di tempat kerja."
Setelah selesai masak, mereka membawanya ke meja makan. Bapak dan Alfa yang baru pulang dari mancing ikut bergabung di meja makan. Belakang kampung ada sungai kecil, di sana biasanya Bapak melepas penat dan mencari ikan dengan kail. Alfa hari ini yang tiba-tiba ikut kemanapun Bapak pergi.
"Kenapa makannya dikit banget, Jang?" tanya Ibu.
Ely melirik Keynan yang tampak enggan menyuapkan makanan ke mulutnya. Ah, mungkin dia bosan dengan makanan kampung, biar bagaimana juga lelaki itu terbiasa hidup di kota dengan segala macam menu makanan yang tinggal pilih jika diinginkan.
Mereka makan malam bersama Bapak dan Ibu juga kedua adik Ely. Meja bundar yang seringkali tidak terisi banyak menu makanan, sekarang lengkap. Lalapan, sambal, ikan asin, ayam dan buah yang lebih dari satu jenis. Mereka semua bahagia, apa lagi Ely pulang membawa uang untuk Bapak dan Ibu sebagai hadiah pernikahan mereka.
Rencananya, Bapak juga akan memelihara ayam dari uang yang Ely kasih. Kebun belakang masih cukup lapang untuk dibuat kandang-kandang ayam.
"Makan gih! Di sini kalau tengah malam gak ada penjual makanan," ujar Ely seraya meletakkan sepotong ayam kecap ke piring Keynan.
Lelaki itu meringis. "Gue kenyang, El. Kayaknya sehari di sini berat badan naik lima kilo deh. Dari pagi makan cemilan, sampai sejam yang lalu saja gue masih makan donat yang dibuatin Ibu. Masa sekarang harus makan lagi!"
Ibu tertawa.
"Ibu mah emang kitu lamun anakna datang, Jang. Jadi tong reuwas lamin atos ti kampung berat badan jadi naek." Bapak menyuapkan bayam dan sambal ke mulutnya. "Tong hilap, masakan sapertos ieu engke mah pasti bikin kamu kangen."
"Artinya apa?" tanya Keynan menoleh kepada Ely.
"Artinya, lo harus menghabiskan makanan di piring itu!"
Wajah Keynan pucat.
Bapak dan Ibu juga dua adik Ely menahan tawa.
"Bisa dibungkus aja? Nanti kalau lapar biar bisa dimakan lagi gitu. Tapi sumpah, ini perut udah gak bisa nampung lagi."
"Gak bisa. Harus habis sekarang!"
"Jangan begitu, Neng. Biarin kalau Alfa gak habis juga. Emangnya kamu, makannya porsi kuli." Ibu menarik piring Keynan. "Gak usah dihabiskan gak apa-apa, Jang. Ibu tahu kamu dari pagi gak berhenti ngemil."
Obrolan dilanjutlan dengan pertanyaan yang sedari kemarin ingin orangtua Ely tanyakan. Tentang orang tua Keynan. Setelah kepergian mereka dari kompleks itu dulu, mereka benar-benar lost contact. Tidak tahu lagi kabar mereka.
Keynan hanya menceritakan sedikit dan seperlunya saja, dia lebih banyak diam dan melamun ketika mereka semua bernostalgia menceritakan kejadian lucu di masa lalu. Lelaki itu menyembunyikan kenyataan pahitnya, Ely tahu itu.
Sampai akhirnya, obrolan di meja makan berakhir. Semua kembali ke kamar masing-masing bersiap untuk tidur. Hanya Keynan dan Ely yang masih berada di dapur untuk mencuci piring bekas makan tadi. Ibu sengaja ia suruh untuk istirahat, karena seharian sibuk dengan membuat cemilan untuk Ely dan Keynan. Cemilan yang akan mereka bawa ketika pulang ke Jakarta.
"Gue iri sama lo!" ucap Keynan setelah beberapa saat mereka saling diam dan fokus dengan pekerjaan masing-masing. Ely dengan mencuci piring, Keynan yang membereskan meja makan.
"Kenapa?"
"Orang tua lo akur, saling menyayangi, hangat. Gue ngerasa punya keluarga di ketika di sini. Sedangkan orang gua gue ... ah, gue aja gak yakin, apa dia ingat kalau masih punya anak."
"Masih! Gak ada orang tua yang lupa sama anaknya, Key. Percaya deh sama gue!"
"Terkecuali mama gue." Dia menoleh, di saat yang sama Ely juga. Tatapan mereka bertemu.
"Jangan gitu, biar bagaimana dia orang yang melahirkan elo. Meski yeah, mungkin bucinnya setengah mati sama pacarnya itu." Ely menaruh piring terakhir ke rak. "Udah selesai belum?"
"Udah. Lo mau langsung tidur?"
"Kenapa emang?"
"Lihat bintang di belakang rumah, yuk!"
Belakang rumah? "Dih, ogah! Bukan bintang yang lo temui nanti, tapi jurig! Gak usah aneh-aneh deh!"
Ya gila aja, belakang rumah itu kebun yang ditumbuhi singkong, pepaya, sama pohon pisang. Rencana emang mau dibuat kandang ayam, tapi untuk sekarang kondisi tempat itu masih berupa kebun kosong, mana kanan dan kirinya juga sama kosongnya.
"Masa ada setan di sini?" Keynan menoleh ke belakang.
"Kalau belum tidur gak usah aneh-aneh keluar malam begini, apa lagi lo pendatang. Baru sekali ke kampung ini. Mending nonton tipi noh!"
"Eh iya lupa, hape gue udah beberapa hari gak diaktifin paket datanya, kira-kira ada yang nyariin gue gak, ya?" Keynan membalikkan badan dan meninggalkan Ely yang masih sendirian di dapur.
"Paling juga si itu!" Ely teringat dengan Jhon. Dapat dipastikan, sekarang lelaki menyebalkan itu sedang kelabakan karena Keynan menghilang. Bareng sama Ely pula.
Ely segera menyusul langkah Keynan untuk masuk ke dalam kamar. Sama halnya dengan Keynan, ponsel Ely juga belum kesentuh sejak tadi pagi. Selain karena emang lupa, suasana di sini terlalu sayang jika disia-siakan hanya untuk bermain gagdet. Mending menikmati alam, karena ketika balik ke Jakarta, suasana sudah tidak senyaman ini.
Lelaki itu kembali tak lama kemudian, tapi raut wajahnya sudah pucat dan keringat dingin keluar dari dahinya. Ely mendekati Keynan dan menepuk lengannya. "Kenapa?"
Dia menatap ely, lalu mengangkat ponsel di tangannya. Layar berukuran 5,9 inci tersebut menampilkan berita skandal hubungan sesama jenis antara Keynan dan Jhon. Android itu diremasnya. Jika tidak Ely ambil, pasti sebentar lagi dibanting oleh Keynan.
Dengan lembut, Ely mengambil ponsel dari tangannya.
"Gue harus balik ke Jakarta malam ini!"
"Lo tenang dulu, kita kan besok pagi rencana baliknya." Ely mengambilkan air putih, lalu menyodorkan gelasnya kepada Keynan.
Baru saja satu gelas air habis masuk ke perutnya. Ponsel Keynan kembali berbunyi. Ely melirik Keynan, lalu melihat ponselnya yang masih ia pegang.
[Sudah lihat berita, Sayang? Sorry, aku harus mengatakan kejujuran kepada semua orang, kalau kita berdua memang sepasang kekasih.]
**
*Alfa ganteng, ya, Neng. Kamu pacaran sama dia?
*Ah, gak, Bu. Temenan saja.
*Kenapa gak pacaran saja? Ibu suka sama anak itu. Sopan.
*Jadi Ibu merestui Neng sama Alfa?
* Iya dong. Bapak juga kasih restu kalau Neng mau sama si Alfa. Kata Bapak, meski kelihatannya di luar si Alfa kuat, tapi dia butuh dukungan dari orang-orang terdekatnya.
*Kok Bapak bisa bilang gitu?
*Nah itu, Ibu juga gak tahu. Karena Bapak gak selesai ngejelasin.
*Ibu memang begitu kalau anaknya datang, Jang. Jadi jangan kaget kalau habis dari kampung berat badan naik."
"Jangan lupa, masakan seperti ini nanti pasti akan bikin kamu kangen loh!"