Chereads / Edgar's Prisoner / Chapter 85 - Worry

Chapter 85 - Worry

Adel yang sudah selesai muntah keluar dari kamar mandi. Dia melihat Max sedang teleponan dan sedikit mendengar bahwa Max sedang berbicara dengan papanya.

"Aku benci berada di sini. Hanna, kamu di mana? Aku ingin bertemu sama kamu," gumam Adel sambil memegang perutnya.

Max setelah selesai menelepon melihat Adel berdiri di depan pintu kamar mandi. Dia tersenyum dan melangkah mendekat, tapi Adel malah mundur.

Kenapa kamu menjauh? Apa kamu masih enek melihat aku?" tanya Max.

"Enggak. Aku tidak enek, tapi muak," jawab Adel menatap Max penuh permusuhan.

"Sudah, jangan marah mulu, Sayang. Nanti wajah anak kamu bisa mirip denganku loh," ejek Max terkekeh.

"Anakku tidak akan mirip dengan kamu!" teriak Adel.

"Haha, kita lihat nanti," balas Max terbahak.

"Max, biarkan aku pergi. Aku berjanji tidak akan ikut campur soal keluarga kamu," pinta adel menangkup kedua tangannya dan memohon di hadapan Max.

"Simpan ucapan kamu, Baby. Kamu tidak akan ke mana-mana. Kamu tetap di sini sampai anak kita lahir," balas Max dengan raut wajah dingin.

Adel memejamkan mata. Dia menggenggam baju yang ia kenakan dengan kuat.

"Aku lelah. Aku mau duduk," kata Adel melewati max yang menatapnya datar.

"Jangan duduk. Ranjang itu akan dibersihkan dulu oleh pelayan. Kita lihat taman di rumah ini dulu supaya kamu tidak bosan dan menghirup udara segar," ajak Max.

"Aku di sini saja. Aku mau keluar dari rumah ini, bukan mau ke taman saja," tolak Adel sinis.

Max menggeram kesal. Dia meraih tangan Adel dan memegangnya erat lalu membawa perempuan itu keluar dari kamar.

"Diam!" bentak Max.

" Hiks ... hiks, lepaskan. Apa maumu, hah?! Tidak cukup kamu dan keluargamu membuat Hanna menderita? Sekarang mau tambah perempuan lain, dasar keluarga gila!" maki Adel sambil sesenggukan.

"Aku tidak mau berbuat jahat, tapi kalau memang kamu ingin aku jahat tidak perlu berbuat ulah terus," ancam Max sambil membawa Adel menuju taman.

Adel jalan terseok-seok dan hampir terjatuh. Adel menggigit bibir saat perutnya mendadak terasa sakit.

"Cukup, Max. Perutku sakit," mohon Adel.

Max menyuruh Adel duduk. Dia memanggil pelayan untuk membawakan minum.

"Makanya jangan suka melawan, jadi sakit kan. Ini minum dulu biar kamu tenang," pinta Max.

Adel menyeruput air yang diberikan Max perlahan. Dia sedikit melirik Max sambil berandai-andai.

"Seandainya aku tahu dari awal aku bertemu dengan orang gila, aku tidak mau bersamanya. Sekarang aku terjebak," gumam Adel.

***

Di apartemen keluarga Odilio di London, Hanna sudah bersih-bersih dan bersiap untuk istirahat. Edgar tersenyum di belakang kekasihnya yang sangat ia sayangi.

"Sayang, ada apa?" tanya Hanna merasakan kedua bahunya dipegang oleh kekasihnya.

Edgar menunduk lalu memegang pipi Hanna dan menatap bibir pujaan hatinya. Hanna mengalungkan tangannya di leher Edgar. Edgar dengan mudah menggendong tubuh Hanna ke ranjang.

Hanna menatap sayu ke arah kekasihnya. "Boleh, Sayang?" tanya Edgar lembut sambil mengusap rambut Hanna.

Edgar sangat menyukai perempuan di hadapannya yang sangat membuatnya bahagia.

"Tadi kan udah," rengek Hanna yang masih merasakan efek kejadian tadi siang.

Edgar mencebikkan bibirnya, tapi tangannya tidak bisa diam.

"Aku menginginkannya," kata Edgar dengan mata menatap Hanna sambil tersenyum miring.

Edgar tentu saja mempunyai berbagai macam cara untuk membuat Hanna menginginkan dirinya lagi. Mereka melakukan lagi kegiatan yang paling dinanti Edgar.

***

Setelah kegiatan yang melelahkan, Edgar ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

"Hanna, kamu jangan ke mana-mana selama aku pergi," kata Edgar tersenyum.

Hanna bersama Edgar melangkah menuju mobil bersama.

"Hati-hati di jalan, Sayang," kata Hanna tersenyum manis.

"Tentu. Tunggu aku," balas Edgar mengecup kening Hanna lalu memeluknya.

Hanna melambaikan tangannya begitu mobil yang dinaiki Edgar mulai menjauh. Dia masuk ke dalam apartemen lalu menghubungi Devi melalui video call.

"Devi, soal perasaan Darko untuk aku tolong jangan bicarakan pada siapa pun. Aku tidak mau ada keributan terjadi," kata Hanna.

"Iya aku tidak akan membicarakan hal ini pada siapa pun. Omong-omong kamu jadi ikut kerja kelompok besok enggak?" tanya Devi.

"Jadi. Aku akan berbicara dengan Edgar lagi, tapi kalau menginap pasti tidak akan diizinkan. Oh iya, minta alamat tempat berkumpulnya ya biar aku bisa kirimkan ke kekasihku," jawab Hanna.

Devi mengacungkan kedua jempolnya. Tiba-tiba rasa penasaran tentang Hanna membuat dirinya bertanya soal keluarga perempuan itu.

"Aku mohon jangan mencari apa pun tentang diriku," kata Hanna.

Panggilan telepon terputus setelah Devi berpamitan. Hanna menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Dia penasaran dengan siapa keluarganya, tapi biarkanlah semesta yang bekerja dan memberitahu kebenarannya.

***

Di sebuah rumah mewah, Darko yang sedang makan malam bersama keluarganya merasa terganggu dengan suara ponselnya. Dia melangkah menjauh dari orang tuanya setelah berpamitan.

"Bagaimana perkembangan tentang keluarga asli Hanna yang kamu cari tahu?" tanya Devi.

Diam-diam Darko mencari tahu. Dia merasa kasihan jika Hanna sebenarnya hanya dibohongi oleh Edgar tentang keluarganya.

"Masih berjalan dan kamu harus pura-pura tidak tahu saat aku sudah ada bukti. Besok aku akan kasih foto perempuan yang mirip Hanna dan sudah dinyatakan meninggal pada Cherry. Siapa tahu dia bisa mengingatnya," balas Darko.

"Kamu juga harus hati-hati. Jangan sampai kekasihnya tahu. Kita harus bermain rapi," tutur Devi.

"Tentu. Aku harap tidak ada penghianat," balas Darko.

Panggilan telepon itu terputus begitu Darko menyadari kekasihnya datang ke rumahnya. 

"Bianca, aku mohon jangan begini," tegur Darko merasakan tangan Bianca melingkari tubuhnya.

"Sayang, kamu kenapa semenjak mulai kuliah menjauhi aku? Ada apa, apa kamu selingkuh?" tanya Bianca dengan wajah dibuat sesedih mungkin.

Darko mengajak Bianca ke teras belakang rumah. Dia tidak mau orang tuanya banyak bertanya.

"Kenapa kita jadi jarang ketemu, Sayang? Aku dengar kalau kamu suka sekali pergi bareng teman-teman perempuan kamu di kampus," tutur Bianca.

Darko menggenggam tangan Bianca. "Aku mohon kamu bisa mengerti. Aku bukan selingkuh, aku sibuk karena ada tugas kampus. Bukannya kalau mau menikahi kamu aku harus lulus kuliah dulu? Mengertilah, Sayang," kata Darko lembut.

Darko memeluk Bianca dan terus meminta perempuan itu jangan berpikir yang tidak-tidak.

***

Di apartemen, Hanna tengah menunggu Edgar.

"Sayang, kamu sudah kembali?" tanya Hanna dengan senyum manisnya.

"Iya, apa kamu merindukan aku?" tanya Edgar.

Hanna memeluk Edgar. Matanya menatap manik perempuan itu.

"Besok aku jadi kerja kelompok dengan temanku ya," tutur Hanna.

"Boleh, tapi kamu tidak boleh menginap dan akan dijemput serta diantar oleh sopir," kata Edgar.

Hanna memeluk Edgar lalu mengucapkan terima kasih berkali-kali. Setidaknya kali ini dia diizinkan keluar.

***

Pagi-pagi sekali Hanna sudah diantarkan ke rumah Devi. Di sana dirinya fokus mengerjakan kerja kelompok.

"Darko, jangan begini. Aku tidak suka," kata Hanna merasakan Darko terus saja menggelitikinya dan sesekali mengisengi dirinya.

"Kalian ini jadian aja deh kalau saling ribut mulu. Ini kerja kelompok kita sudah mau selesai," kata Devi.

Mereka fokus mengerjakan tugas kelompok dan diselingi bermain game yang ada di rumah Devi hingga tanpa sadar malam sudah tiba. 

"Cherry, kamu tidak perlu menelepon sopir. Aku aja yang antar kamu pulang biar enggak perlu menunggu," tutur Devi.

"Baiklah, aku akan mengabari sopirku biar tidak perlu menunggu," balas Hanna.

Hanna mengirimkan pesan pada Rex bahwa dirinya akan diantarkan oleh Devi pulang ke rumah.

"Yuk," ajak Devi.

Hanna membereskan laptop dan buku catatannya. Mereka melangkah menuju mobil Devi diikuti Darko yang hendak ke parkiran juga.

Tring tring

Tiba-tiba ponsel Devi berdering. Dia melihat panggilan itu dari sang mama segera mengangkatnya. Matanya langsung fokus ke Hanna dan menunjukkan raut wajah menyesal begitu panggilan telepon tersebut terputus.

"Ada apa, Devi?" tanya Hanna.

Devi menghelakan napas lalu mengatakan bahwa dirinya akan ada makan malam bersama keluarganya sehingga tidak bisa mengantarkan Hanna.

"Oh, aku naik taksi aja kalau gitu," kata Hanna.

"Loh, ngapain pulang naik taksi kalau ada aku. Sini aku antarin kamu pulang, Cherry. Devi, kamu kalau mau berangkat sekarang enggak apa-apa kok, Cherry akan aku pastikan aman," balas Darko.

"Hanna, kamu pulang bareng Darko aja biar enggak kemalaman," kata Devi.

Devi langsung buru-buru masuk ke dalam mobil setelah berpamitan meninggalkan Hanna berdua saja dengan Darko.

"Darko, kamu langsung antar aku pulang saja ya. Ini sudah larut dan aku tidak mau kekasihku salah paham dengan kamu," kata Hanna.

Darko menganggukkan kepala. Dia benar-benar mengantarkan perempuan itu hingga sampai di depan sebuah rumah mewah di London.

"Darko, kamu pulang saja. Ini sudah larut dan tidak baik kalau kita dilihat orang lain berduaan," kata Hanna.

"Baiklah, Cherry. Jaga dirimu baik-baik," balas Darko.

Darko masuk ke dalam mobil. Dia melihat ada dokumen rahasia yang sudah dirinya kumpulkan tiba-tiba teringat sesuatu. Dia lupa bertanya soal foto orang yang mirip dengan Hanna, tapi sudah dinyatakan meninggal pada Hanna.

"Besok lagi deh kalau ketemu. Tidak enak menyusul Cherry untuk bertanya hal ini," gumam Darko mengingat mereka tadi saking asyiknya bermain dan kerja kelompok sampai lupa waktu.

***

"Sayangku, kamu pulang sama siapa?" Kata Rex kamu diantar sama Devi, tapi kenapa kamu diantar seorang pria? Dia siapa?" bisik Edgar mendekat pada Hanna yang menundukan kepalanya sambil menggigit bibirnya begitu masuk ke dalam rumah dan menyadari keberadaannya.

"Maaf, tadi ternyata Devi ada acara sama keluarganya," lirih Hanna.

"Jangan Alasan, Hanna!" teriak Edgar menggelegar membuat para pengawal dan pelayan di sana bergidik ngeri.

"Maaf, Sayang," kata Hanna menitikkan air matanya.

"Sayangku, jangan menangis," pinta Edgar mendekat, mengangkat dagu Hanna lalu menghapus air mata yang mengalir di pipi kekasihnya.

"Maaf, Sayang. Aku janji tidak akan terulang lagi kejadian ini," balas Hanna memeluk Edgar.

Edgar tersenyum mengerikan. Dia memikirkan rencana untuk membuat Hanna terus tunduk pada dirinya. 

"Kenapa aku membiarkan Hanna kuliah? Seharusnya tidak perlu supaya aku tidak perlu repot menambah pengawasan untuk dia," gumam Edgar.

Edgar melingkarkan tangannya pada pinggang Hanna. "Kamu sudah makan malam, Sayang?" Tanya Edgar lembut.

"Belum, Sayang. Aku mau makan malam sama kamu," jawab Hanna tersenyum manis sambil jarinya bermain di tubuh bidang Edgar.

"Kita makan dulu sebelum kita bermain. Aku sangat merindukan kamu, seharian ini tidak ketemu kamu terasa sepi hidupku," tutur Edgar terkekeh rendah.

"Iih, kamu bisa aja," jawab Hanna membuat Edgar terkekeh.

Edgar dan Hanna melangkah menuju ruang makan. Di sana sudah tersedia berbagai macam menu makanan kesukaan Hanna.

"Ayo dimakan, Sayang. Kamu pasti sudah lapar, aku juga lapar karena menunggu kamu," kata Edgar.

"Kasihan kekasihku kelaparan, ayo kita makan sekarang," balas Hanna.

Hanna makan dengan lahap, sedangkan Edgar memakan makanannya juga sambil mengamati perempuan itu penuh dengan rasa sayang mendalam seperti obsesi yang menginginkan Hanna selalu berada dalam genggamannya.

"Makannya pelan-pelan, Sayang. Tidak akan ada yang ambil," kata Edgar lembut.

"Kamu juga makan dong, kok malah jadi melihat aku tanpa menyentuh makanan kamu," sahut Hanna sambil mdminum air putih di sampingnya.

Edgar menganggukkan kepala. Lalu mulai memakan makanannya sambil melirik ke arah Hanna.

"Aku akan menghamilimu agar kamu tidak akan pernah bisa lepas dariku," gumam Edgar menyeringai licik.

Setelah selesai makan, para pelayan membereskan piring mereka. Edgar membawa Hanna menuju kamar.

"Sayang, ayo kita bermain. Aku sudah merindukan kamu," kata Edgar memeluk Hanna dari belakang.

Edgar tanpa mendengar jawaban Hanna langsung memulai olahraga malam yang begitu melelahkan bersama Hanna. Dirinya ingin segera Hanna bisa mengandung anaknya.