Edgar dan Hanna kembali ke ruangan VIP restoran.
"Kalian lama sekali," tegur Oscar yang sudah sedang memakan makanannya.
"Maaf, Pa, Ma," kata Hanna.
"Iya kami lama karena ada urusan sebentar," jelas Edgar duduk Kembali di hadapan orang tuanya.
"Sudah, tidak apa-apa. Ayo dimakan makanan kamu supaya kita tidak pulang larut malam," perintah Agatha.
"Iya, Ma. Makasih," balas Hanna.
Mereka fokus memakan makanan mereka. sambil sesekali mengobrol. Hanna yang bosan dengan obrolan bisnis membuka ponselnya lalu membaca pesan dari teman kampusnya.
"Besok jadi kerja kelompok bareng. Jangan sampai tidak jadi," kata Devi.
"Iya besok juga ada yang mau aku bicarakan, tenang aja," balas Hanna.
"Cherry, ada lagi. Aku merasa Darko menyukai kamu deh. Aku dengar dari rumor dia sama pacarnya sudah putus. Darko lagi suka sama perempuan lain, siapa lagi kalau bukan kamu," kata Devi.
Hanna geleng-geleng kepala dengan pemikiran temannya.
"Sayang, sedang apa?" tanya Edgar di samping Hanna yang melihat kekasihnya sibuk dengan ponsel.
Hanna berusaha tenang. Dia melirik ke arah kekasihnya dan memencet tombol untuk mematikan ponselnya lalu melirik ke arah Edgar.
"Biasa, teman kampusku," balas Hanna.
"Teman kampus kamu yang mana?" tanya Edgar.
"Devi namanya. Nanti aku kenalin kamu kapan-kapan," jawab Hanna lembut.
"Iya kamu harus kenalin aku teman-teman kamu karena aku tidak mau terjadi apa pun pada kamu," balas Edgar.
"Iya aku tahu," kata Hanna.
"Habisin makananckamu, habis ini kita pulang," perintah Edgar.
***
Beberapa menit berlalu, mereka selesai makan dan bersiap pulang. Edgar sudah membayar makan malam mereka. Agatha selama di perjalanan bertanya pada Hanna.
"Sayang, kamu besok kuliah?" tanya Agatha.
"Iya besok aku kuliah, Ma. Besok aku kabarin, aku ajak mama jalan-jalan lihat kota London kalau sudah pulang," jawab Hanna lembut.
"Iya nanti bareng aku juga kalau mau lihat-lihat," balas Edgar.
"Maksud aku mau sama mama dan papa aja, Edgar. Kamu sibuk, ngapain ikut terus?" tanya Hanna heran.
"Sayang, kenapa sekarang kamu kelihatan tidak senang aku iku?" tanya Edgar menatap Hanna dengan raut wajah dingin.
"Bukan begitu maksud aku. Edgar, aku mau sekali-sekali jalan sama orang tua kamu. Kelamaan kalau harus menunggu kamu," jawab Hanna mencebikkan bibirnya.
'Hari ini aku sudah bilang sama asistenku besok aku akan menemani kalian pergi jalan-jalan setelah kamu pulang kuliah, makanya tidak usah ikut kerja kelompok," jelas Edgar.
Hanna memijat pelipisnya. "Aku kerja kelompok di kafe cuma sebentar, Sayang. Aku janji tidak akan lama, kamu tidak perlu khawatir," rengek Hanna.
"Oke, Sayang," balas Edgar lesu karena kekasihnya tidak mau mendengar dia.
Mereka masuk ke dalam mobil yang dikendarai sopir. Mobil itu melaju menuju ke apartemen mewah milik keluarga Odilio di London.
***
Di kediaman Odilio yang di german, perlahan mata seorang perempuan terbangun. Dia langsung bangun melihat ranjang yang dia tiduri. Napasnya memburu.
"Darah!" teriak Adel ketakutan. Dia sangat takut terhadap darah.
Max menatap Adel datar. "Diam, Sayang. Kenapa berteriak?" tanya Max.
"Darah, Max. Darah, apa yang kamu lakukan bayiku?" tanya Adel memegang perutnya.
"Bayi kita, bukan bayi kamu aja. Dia aman untuk sekarang," tegur Max.
"Ini darah apa?" tanya Adel dengan bibir gemetar.
"Darah manusia yang aku kumpulkan," jelas Max sambil tertawa membuat tubuh perempuan di hadapannya bergetar ketakutan.
Max melangkah maju dan membawa Adel ke dalam dekapannya. "Semua akan aman kalau kamu bisa bekerja sama. Kita akan merajut keluarga yang bahagia dan lupakan semua yang telah terjadi," pinta Max.
Adel mendorong Max dengan kencang. Max menatap tajam Adel yang terlihat masih melawannya.
"Aku bukan Hanna yang bisa sampai sekarang. Keluarga kalian akan mendapatkan balasan dari semua perbuatan yang dilakukan," kata Adel.
"Iya aku tahu. Aku akan merasakan semua balasan, tapi bukan hanya aku yang akan kena pembalasan orang-orang itu. Kamu dan bayi kita juga," balas Max memegang perut Adel.
Adel menepis tangan Max. "Jangan pernah menyentuhku. Pulangkan aku pada keluargaku, aku tidak membutuhkan tanggung jawab dari kamu," pinta Adel.
"aku tahu kamu tidak butuh pertanggungjawaban dari aku, tapi aku menginginkan bayi ini," balas Max sinis.
"Aku yang mengandung dan melahirkan anak ini, kamu tidak berhak sama sekali," kata Adel.
"Kamu benar-benar membuatku muak dengan perlawanan kamu, Adel," geram Max.
Suara tamparan menggema di kamar itu ketika tangan Max melayang ke pipi mulus Adel hingga Adel tersungkur di ranjang. Adel memegang pipinya, merasakan tamparan keras dari pria di depan dia.
"Tolong lepaskan aku!" teriak Adel.
"Kamu tahu kenapa aku memberikan pelajaran seperti ini? Ini supaya kamu bisa menjadi istri yang baik untuk aku nanti," balas Max menarik rambut Adel hingga perempuan itu meringis.
"Aku tidak akan kasar padamu jika kamu tidak memulai duluan, Baby. Ingat tidak waktu kita bersama? Kamu menjadi penurut layaknya budakku. Hidup kamu juga terjamin, kamu saja yang pakai mau bekerja di supermarket," lanjut Max.
Adel menggertakan giginya. "Ya aku tahu aku bodoh. Memang dari dulu aku cuma memanfaatkan kamu karena aku butuh uang, tapi aku tidak menyangka kamu dan keluargamu membawa kesialan bagiku dan Hanna!" teriak Adel.
"Cukup bermainnya, Baby. Kita bereskan kekacauan di kamar kamu, aku suka melihat kamu ketakutan seperti tadi," pinta Max.
"Psikopat gila!" teriak Adel.
"Anak kita juga akan menjadi sepertiku nantinya. Lebih baik kamu membersihkan diri kamu atau kamu mau aku bantu tapi aku tidak yakin tidak tergoda dengan tubuhmu yang membuatku candu seperti sekarang," kata Max membelai wajah Adel dengan jari berlumuran darah yang terdapat di kasur Adel.
"Jauhkan tangan kotormu itu, aku tidak suka dan mau muntah dengan aromanya," pinta Adel langsung berlari ke kamar mandi.
"Adel, jangan berlarian," kata Max gemas melihat Adel yang sekarang tengah mengandung walaupun tidak dalam rencananya sama sekali.
Max mengambil ponselnya di saku. Dia melihat nomor ponsel papanya langsung mengangkat telepon itu.
"Max yang bodoh, apa yang terjadi di rumah?" tanya Oscar.
"Papa telepon langsung marah-marah, ada apa? Tidak ada yang terjadi," jawab Max santai.
"Tidak ada yang terjadi kamu bilang? Papa dengar kamu ada memanggil dokter untuk mengugurkan kandungan Adel, terus pengawal kepercayaan kita kamu tuduh juga dan sedang dicambuk di ruang bawah tanah, apa benar?" tanya Oscar kesal.
"Benar, Pa. Dia terlalu lancang karena berani ikut campur urusanku dengan Adel," jawab Max sinis.
"Kamu cemburu pada pengawal?" tanya Oscar.
"Papa jangan berpikir tidak-tidak, aku tidak mungkin cemburu pada pengawal," jawab Max merasa geli sendiri dengan ucapan papanya.