Chereads / Edgar's Prisoner / Chapter 78 - I Remember Something

Chapter 78 - I Remember Something

Tidak lama mereka sampai di lobi gedung apartemen yang dibeli Edgar. Hanna menatap gedung apartemen yang besar saat supir turun dan membukakan pintu mobil untuk mereka. Hanna digendong oleh Edgar lalu ditaruh di atas kursi roda yang sudah disiapkan oleh pengawalnya. Mereka disambut oleh para pekerja di gedung apartemen. Salah satu manajer mengantar Edgar dan Hanna melihat-lihat terlebih dahulu sebelum menuju kamarnya.

"Sayang, kamu suka di sini?" tanya Edgar sambil melihat mata kekasihnya yang berbinar ketika menatap taman yang begitu luas.

"Aku suka di sini. Indah dan banyak anak-anak juga yang lagi bermain," jawab Hanna.

"iya semua fasilitas di sini bisa kamu gunakan, jadi kamu tidak akan bosan," balaa Edgar.

"Maaf, Linda, di sana ada pemandian air panas?" tanya Hanna.

"Iya di sana ada pemandian air panas. Nona bisa memesan privat kalau mau," jawab Linda.

"Aku mau nanti kalau aku sudah bisa turun dari kursi roda ini. Aku mau mencoba semuanya," kata Hanna dengan senyum lebarnya.

"Iya, Sayang. Nanti kita coba semuanya bersama," balas Edgar lembut.

"Kita mau ke mana lagi?" tanya Hanna yang masih melihat-lihat di sana.

"Kita sekarang lihat apartemen kita," jawab Edgar.

Edgar melirik semua orang yang di sana. Dia tidak mau ada yang mengenal Hanna.

"Paling begitu gitu aja isinya," kata Hanna.

"Iya yang penting kamu nyaman tinggal di apartemen," balas Edgar sambil mendorong kursi roda Hanna menuju lantai apartemen mereka.

Mereka memasuki lift. Hanna melihat tombol yang dipencet oleh salah satu pengawal.

"Tinggi sekali lantainya. Kenapa harus sampai lantai tujuh belas?" tanya Hanna.

"Apartemen ini lantainya sampai dua puluh lebih, Sayang. Kita masih di tengah-tengah," jawab Edgar.

"Iya deh, terserah kamu," balas Hanna yang malas berdebat dengan kekasihnya.

Tidak lama mereka sampai di lantai unit apartemen mereka. Linda menyerahkan kunci kepada Edgar dan Edgar meminta Linda untuk pergi saja. Saat sudah masuk ke dalam, Edgar melihat sekeliling apartemennya.

"Cek semuanya. Saya tidak mau ada hal-hal yang mengganggu kesehatan kekasihku," kata Edgar.

Semua orang berpencar untuk mengecek sekeliling apartemen.

"Aku mau lihat ke sana," kata Hanna sambil mendorong kursi rodanya sendiri.

"Sayang, sabar. Semua harus dicek dulu sebelum kamu keliling. Aku tidak mau terjadi apa pun sama kamu," balas Edgar.

"Iya, kamu ini berlebihan. Aku lelah," kata Hanna.

"Kita ke kamar kalau kamu lelah," balas Edgar.

"Tuan, semuanya aman," kata Richard.

"Oke," balas Edgar.

"Nona mau langsung dibawa ke kamar?" tanya Gustav.

"Iya, Gustav. Saya sama kekasihku sekamar. Aku mau berada di samping dia terus," jawab Edgar.

"Baik, Tuan," kata Gustav.

Hanna terdiam ketika dia didorong menuju kamar. Pintu kamar dibuka hingga menampilkan kamar yang luas dengan dekor yang sederhana dan nyaman.

"Hari ini kita langsung terapi?" tanya Hanna.

"Tidak, Sayang. Hari ini istirahat dulu," jawab Edgar sambil menggendong Hanna dari kursi roda dan membawanya menuju ranjang.

"Sayang, apakah aku tidak ada teman yang bisa aku ajak mengobrol?" tanya Hanna.

"Sayang, aku teman sekaligus kekasih kamu," jawab Edgar sambil membelai lembut pipi Hanna.

"Sayang, aku tidak bercanda. Aku merasa aku punya teman yang dekat denganku. Aku seperti terbayang sesuatu," kata Hanna.

"Sayang, kamu pasti sudah tahu kalau kamu tidak boleh berpikir keras. Untuk apa kamu mengingat masa lalu? Teman-teman kamu tidak ada yang baik," balas Edgar.

"Masa semua temanku tidak baik," kata Hanna sambil geleng-geleng kepala.

"Sayang, kamu berjanji kita mulai dari awal, jadi kita akan tinggal di sini sampai kamu sembuh dan di sini kamu bisa membangun pertemanan yang baru," balas Edgar.

"Iya aku juga ingin kuliah," kata Hanna.

"Iya kamu akan kuliah," balas Edgar.

"Oke, Sayang," kata Hanna.

"Aku ke kamar mandi dulu, Sayang. Kamu disini jangan ke mana-mana," balas Edgar.

"Iya, Sayang. Aku tidak akan ke mana-mana," kata Hanna yang tersenyum manis.

Edgar sudah pergi ke kamar mandi, sedangkan raut wajah Hanna raut berubah datar. Dia mendadak banyak sekali yang mengganggu pikirannya saat ini.

"Kenapa di pikiranku aku melihat seorang wanita yang menangis? Ini pasti hanya halusinasiku saja, tapi katanya aku tidak mungkin bisa mengingat dengan cepat," gumam Hanna dengan mata berkaca-kaca mengingat apa yang dia ingat.

***

Di kediaman Silvan, para tetangga dan orang-orang terdekat masih mengucapkan bela sungkawa. Elsa memeluk foto putrinya.

"Mama akan sangat kesepian sekarang tanpa kamu, belahan jiwaku," gumam Elsa.

Tidak lama para tamu akhirnya udah pergi meninggalkan apartemen keluarga Silvan.

"Akhirnya kelar juga," kata Louis menatap istrinya yang masih meratap.

Louis duduk di samping istrinya lalu membawa Elsa ke dalam dekapannya.

"Sayang, hidup kita masih panjang dan kita harus mendoakan yang terbaik untuk putri kita. Kita tidak boleh menangis terus, Hanna pasti sedih melihat mamanya begini," kata Louis.

"Aku sedih putriku harus pergi dengan keadaan seperti itu. Aku tidak menyangka ada orang yang menjahati putriku dan dia masih berkeliaran di luar sana. Aku bahkan sudah lama tidak bertemu putriku, tapi aku malah bertemu dalam keadaan tidak bernyawa dan wajahnya sudah tidak dikenali. Sakit hati ini, Pa. Aku adalah orang yang melahirkan Hanna dan penuh perjuangan, tapi putriku direnggut begitu saja dariku," kata Elsa.

"Iya aku juga tidak rela dan tidak akan memaafkan orang-orang yang sudah melukai putri kita. Kita suatu hari nanti pasti akan ditunjukan oleh Tuhan siapa yang melukai putri kita," balas Louis.

"Pa, Ma, ini aku bawakan minum," kata Niko yang memberikan air putih dan mendudukan diri depan ke dua orang tuanya.

"Iya terima kasih, Nak," balas Louis.

"Ma, Pa, aku bersih-bersih dulu," kata Niko.

"Iya kamu duluan saja. Papa mau sama mama dulu," balas Louis.

"Iya, Pa," kata Niko.

Niko berjalan meninggalkan kedua orang tuanya menuju kamar mandi dan matanya meneteskan air mata. Dia merasa sangat sedih juga saat ini, tapi dia tidak bisa menunjukkan pada orang tuanya yang terlihat begitu terpukul.

"Kak, kenapa kakak meninggalkan kami dengan cara seperti ini? Aku akan mencari tahu siapa yang melakukan ini pada kakak dan aku berjanji aku akan menjadi kebanggan kakak. Aku tidak akan berbuat ulah seperti dulu," gumam Niko sambil mengusap wajahnya kasar.

***

Louis di ruang tamu menarik foto yang berada di pelukan istrinya.

"Papa, aku masih mau memeluk Hanna," kata Elsa.

"Ma, aku mohon jangan seperti ini. Papa sama kehilangannya seperti kamu, tapi kita masih memiliki Niko saat ini. Hanna pasti sangat sedih kalau kita tidak membuat Niko berpendidikan," balas Louis.

"Iya, tapi aku sudah tidak kerja lagi sekarang," kata Elsa.

"Mama bisa berjualan. Mama pintar buat kue," balas Louis.

Mereka saling menatap dan Elsa menaruh bingkai foto putri mereka.