"Masih ngajak bercanda dia? Haha!"
"Cepat, sebutkan saja?" Cetus Evan tidak sabar.
"Oke, baiklah. Jumlah hutangnya adalah sepuluh miliyar! Sanggup?" Ucapnya mengejek usai menyebutkan jumlah nominal hutang itu.
"Van, jangan!" Ulfa memohon dengan muka memelas pada Evan.
"Kamu tenang saja!" Ucap Evan santai dan tetap tersenyum. Setelah itu, dia sibuk mengetik handphone miliknya.
"Silahkan kamu cek saja notif yang masuk!" Perintah Evan masih dengan santai. Sedangkan Mamanya Ulfa masih dengan rasa penasaran dan sedikit malu pada Evan yang baru dia ejek.
"Wah, boleh juga kamu. Kalau begini kan enak! Tidak perlu susah payah menikah dengan orang sombong kayak kamu!" ucapnya menuding Ulfa.
"Apa sudah dibayar?" Tanya Mama penasaran.
"Pria ini sudah melunasi hutang kamu, bahkan dia membayar lebih. Aku pergi dulu!" Jelas pria itu.
"Apa?" Mama tercengang tidak percaya dengan apa yang sudah dia dengar. Akhirnya dia terbebas dari masalah besar. Namun hal baru yang dia takutkan adalah berurusan dengan Evan. Rombongan pria tua itu pun pergi meninggalkan mushola. Begitu juga yang lain ikut pergi meninggalkan keributan itu.
"Maafkan Tante tadi sudah ejek kamu, Van. Tante janji pasti akan kembalikan uang itu. Sekali lagi maafkan Tante ya!" Mamanya Ulfa memohon dengan sangat pada Evan. Hingga dia ingin menjatuhkan diri bersujud di depan Evan. Namun Evan segera menangkap bahu Mama agar tidak berlutut padanya.
"Tante sudah aku maafkan, Tante jangan berlutut. Soal uang tadi, Tante jangan khawatir. Aku memang tidak kasih gratis secara Cuma-Cuma. Tapi ada satu hal yang aku minta."
"Maksud kamu apa, Van?" Tanya Ulfa semakin bingung entah apa yang di inginkan Evan sebenarnya sang jutawan itu.
Justru kini Evan yang berlutut pada Mama.
"Restui aku untuk menikah dengan Ulfa, Tante."
Ulfa menangis bahagia dengan ucapan Evan. Ternyata Evan seserius itu untuk mencintai dirinya.
"Apa dengan aku merestui hubungan kalian hutangku lunas?" Tanya Mama.
"Mama!" Ucap Ulfa sembari melirik Mama karena ucapannya.
"Maksud Tante," Ucapnya kembali.
"Tante, jangan bilang hutang. Aku ikhlas membantu. Dan bukan sebab uang itu aku ingin menikah dengan Ulfa. Karena aku benar-benar mencintai Ulfa sejak dia mengajar di kampusku."
"Em, baiklah. Jika kalian saling mencintai, aku akan restui hubungan kalian."
"Terima kasih, Tante!"
"Cie, akhirnya. Saling menuang perasaan nih!" Ucapan Grizelle menyambar begitu saja.
"Eh, Griz. Terima kasih ya, kamu sudah datang kemari dan selamat 'kan hidupku dari pria tua itu."
"Ya ampun, Bu. Bukan aku kali, tapi Evan tuh."
"Hehe," Ulfa terkekeh malu ketika menatap Evan.
"Van, maafkan aku ya tempo hari sudah tolak kamu. Sebenarnya aku juga suka sama kamu, tapi aku takut dengan murid dan dosen lainnya jika kita bersama."
"Kenapa harus malu, 'kan yang menjalankan hubungan kita, bukan mereka. Kalau sekarang malu tidak?"
"Iya sih. Ya tidak lah, justru aku bahagia. Ada saja Allah beri jalan untuk kita bersama ya! Oh iya, sebenarnya selain aku ingin kerja di luar, alasan aku keluar juga supaya bisa dekat sama kamu. Tapi aku masih malu untuk mengakui."
"Oh, jadi karena alasan itu juga. Ah, tidak sia-sia ternyata." Griz menyambar ucapan Ulfa lagi dengan senyum-senyum. Evan hanya tersenyum mendengar ucapan itu.
"Sebenarnya kamu yakin tidak sih mau menikah dengan aku?"
"Kenapa tidak!" Evan mengangkat bahunya.
"Tapi bagaimana dengan orang tua kamu?"
"Bahkan kedua orangtuaku sudah tahu tentang kamu. Jadi kamu tidak perlu khawatir lagi."
"Maksud kamu?"
"Ya, aku sudah cerita semua tentang kamu sama orang tuaku."
"Sampai begitukah kamu mencintai aku, hingga mereka sudah kamu beri tahu tentang aku, Van?"
"Ya, kenapa tidak. Dan satu lagi, aku tidak ingin kamu kerja di tempat yang kamu bilang tadi. Kamu akan jadi ratu dalam hidupku."
"Hehe, terima kasih ya!" ucap Ulfa.
Sungguh beruntung hidup Ulfa membuat Grizelle terlintas sedikit rasa iri. Bagaimana tidak, anak jutawan kaya raya seperti Evan sudah berhasil mendapatkan cinta. Jika Griz tidak menolak Evan saat itu, mungkin mereka berdua tidak akan bersatu. Namun, cinta tetaplah cinta. Grizelle hanya menganggap Evan teman biasa dan tidak ada sedikit pun perasaan. Kini Grizelle sudah merasa lega, sudah bisa membantu permasalahan Ulfa dan Evan. Namun dia kembali kecerita kelamnya. Seketika Grizelle terdiam dalam pandangan kosong.
"Hei, Griz. Kamu kenapa diam saja?" Ucap Evan mengejutkan Grizelle dari lamunannya.
"Tidak apa-apa, Van. Aku hanya merasa bahagia akhirnya temanku ini bahagia dengan pilihannya."
"Justru aku sangat berterima kasih dengan kamu, Griz. Jika tidak karena kamu yang ngotot pengen ke sini, mungkin kami tidak akan pernah bersatu."
"Sudahlah, yang penting sekarang kamu sudah bahagia. Yok kita kembali ke kampus."
"Nah loh kan, kalian bolos ya? Ya sudah, cepat segera kembali!" Perintah Ulfa dengan terkekeh melihat Evan dan Grizelle.
"Siap, Bu!" Jawab Grizelle.
"Mulai sekarang, jangan panggil Ibu lagi ya? 'Kan aku sudah tidak mengajar kalian lagi."
"Jadi Ibu sudah benar-benar mau resign dari mengajar?"
"Iya, tekatku sudah bulat."
"Ya iya lah, Griz. Dia 'kan mau menikah denganku. Kok masih kerja terus."
"Ye, enak ya yang mau menikah. Ya sudahlah, doa terbaik saja untuk kalian berdua. Semoga bahagia sampai kakek nenek. Jangan lupa undang aku nanti ya!"
"Siap, Griz!" Jawab Evan dengan lantang.
***
'Kejadian hari ini membuat aku iri. Kisah Ulfa sama persis dengan aku. Tapi beruntunnya Ulfa ada Evan yang membantu. Entah jadi apa nanti nasibku selanjutnya!' Gumam Grizelle termenung dalam diamnya. Dengan tangan kanan menumpu dagu diatas meja. Dalam ruang yang riuh, namun terasa sepi dihati Grizelle.
"Grizelle!" Sapa Bapak Rudi.
"Apaan sih!" Jawab Grizelle dengan menepis sapaan dengan kibasan tangannya. Grizelle tidak menyadari bahwa seorang dosen yang baru masuk sudah dia abaikan. Dia tetap fokus dengan pandangan semula yang menatap tembok di sampingnya.
"Grizelle, pelajaran akan dimulai. Tapi sejak tadi kenapa kamu masih diam saja."
"Cerewet banget sih kamu!" Grizelle memalingkan wajahnya. Terkejut bukan main, karena yang dia hadapi adalah seorang dosen sudah berdiri sejak tadi di sampingnya.
"Eh, Bapak! Maaf, Pak. Maaf!"
Grizelle berulang kali minta maaf karena sudah lancang. Namun dia tidak sengaja sudah lakukan hal itu.
"Memangnya apa yang kamu pikirkan, Griz? Sampai serius seperti itu!"
"Hehe, Maaf. Aku kira tadi Evan yang ganggu aku. Lagi tidak mikirin apa-apa kok, Pak." Grizelle terkekeh, malu sembari menggaruk kepalanya seakan gatal yang penuh dengan kutu.
"Hm, kamu ini! Ya sudah, ayo kita mulai pelajaran hari ini."
"Baik, Pak!"
Pelajaran pun di mulai. Meski dosen dengan jelas menerangkan pelajaran, lagi-lagi Grizelle terus mengulang lamunannya. Sehingga, hari itu dia beberapa kali ditegur oleh dosen.