Ketika ucapan itu di lontarkan, seketika sekitar menjadi menghening.
Hanya ada deru napas dan tatapan tercengang, Bi nampak tak berkedip.
"Anda pasti bercanda," ujar Zed menghentikan pemikiran yang ke mana-mana.
"Apa aku terlihat bercanda? Di tengah situasi seperti ini?" balas Bi sengit.
Yang lain terdiam cukup lama. Menimbang-nimbang.
Tidak ada satupun yang bicara hingga pria penyintas itu pamit pergi.
***
Gersang dan panas. Mereka tiduran di balik ilalang sambil menegadah ke atas, silau matahari berhasil membuat mata mereka menyipit.
Ketika distrik masih ada, di jam ini biasanya mereka akan janjian mandi di sungai. Menyerok ikan-ikan kecil yang berlalu lalang.
"Apa yang harus kita lakukan?" Theodore dengan tampang sedih duduk di sudut, sudah dua jam sejak pria penyintas itu pergi meninggalkan mereka, menyuruh anak-anak itu untuk pergi dari sana sekarang ke luar dinding. Selain itu, ia juga memberikan sesuatu yang mirip peta.
"Jika beruntung, kalian akan menemukannya."
"Menemukan apa?" tanya mereka hampir serentak.
Entah mereka sedang berhalusinasi atau bukan, yang jelas ada yang berbeda dari tatapan Bi.
"Rumah."
Perjalanan terjauh yang pernah mereka tempuh hanya di ujung perbatasan distrik. Hanya itu, dan sekarang mereka disuruh pergi ke luar dinding yang belum pernah dibayangkan bagaimana bentuknya. Lagipula mereka masih berduka. Orang-orang bilang, kehidupan di luar sana masih biasa saja.
"Cepat atau lambat, tempat ini pasti ditemukan," kata pria bernama Bi itu kembali terngiang.
Jika mereka saja bisa menemukan tempat itu apalagi orang-orang.
"Tentu saja kita harus pergi bukan?" Mave menatap teman-temannya serius.
"Pergi dari sini? Kita tidak tahu di luar dinding seperti apa? Banyak yang bilang itu tempat yang berbahaya," seru Zed tak setuju.
"Apa bedanya dengan tempat ini?" sahut Mave. "Remaja seperti kita hanya akan dijadikan budak jika ditemukan aparat setempat. Kita tidak lagi punya rumah!"
"Kau ingin pergi untuk sesuatu yang tak pasti?"
"Aku rasa itu lebih baik daripada menjadi budak pada orang-orang yang telah membunuh keluarga kita."
Ada amarah bergemuruh di dada mereka. Ingin rasanya membalas rasa sakit itu, namun mereka tak punya kekuatan apapun. Bahkan jika bukan karena kericuhan sejenak dan bantuan Bi dan penyintas mereka mungkin bernasib sama dengan orang-orang yang telah meregang nyawa.
"Untuk apa pergi? Lagipula kita tak punya apa-apa lagi. Kita seharusnya mati saja!" Zed tersenyum kecut lalu berniat untuk beranjak pergi, sebelum bahunya dicekal oleh Mave.
"Kau punya kita," kata Mave.
"Kita ini keluarga," ujarnya menjelaskan dengan wajah serius.
"Tidak ada yang pantas mati Zed, bahkan keluarga kita tak akan membiarkan kita mati!" Kali ini Mave menurunkan suaranya agar tak menggangu Kai yang tidur, sebab ucapan Zed keterlaluan.