"Zed, tidak hanya kau yang berduka, bocah kurus seperti kita memangnya bisa apa? Kita sudah tahu propaganda apa yang terjadi di dalam dinding, bahkan jika selamat dan kembali pun, seperti yang dibilang oleh Mave, kita hanya akan dijadikan budak." Wisley sedari tadi sibuk dengan pemikirannya sendiri akhirnya berbicara.
Zed terdiam, agaknya masih tidak bisa menerima yang teman-temannya katakan, ia masih bimbang.
"Theodore, bagaimana denganmu?" Pandangan Wisley menuju ke arah Theodore yang terdiam. Remaja berbadan agak gemuk itu menunduk dalam.
"Theodore?"
"Aku hanya punya kalian, kembali ke sana pun aku tidak punya siapa-siapa lagi, jadi ke mana pun kalian pergi aku akan ikut."
Theodore memang terkesan agak kekanakan dan penakut jika dibandingkan dengan tubuhnya, namun ia tak ragu untuk mengambil keputusan.
"Tentu saja Kai akan ikut aku ke mana pun, jadi hanya tersisa kau Zed, kuberi waktu sebelum matahari terbit untuk memikirkannya, kami akan pergi saat itu." Mave melepaskan cengkraman pada bahu Zed, berjalan ke arah Kai yang sudah tidur dan melirik Wisley dan Theodore untuk berkemas.
BI mengizinkan mereka membawa barang-barang yang diperlukan.
Jadi seharusnya mereka bersyukur.
Zed tak lagi bicara lalu memilih untuk langsung keluar dari sana, keluar dari lubang, meski Theodore ingin memanggilnya.
"Biarkan dia berpikir, akan bagus jika ia ikut," kata Wisley.
"Kalau tidak?" balas Theodore curiga. Dia curiga mungkin saja Zed tak akan kembali.
"Itu keputusannya, segeralah berkemas dia bukan lagi bocah," balas Mave.
Dengan berat hati Theo pun mengikuti ucapan dari Mave dan Wisley, ia sebenarnya ingin menjadi penengah. Tapi sulit dalam keadaan seperti sekarang ini.
Mereka tak memiliki banyak pilihan, ada banyak tekanan dan cobaan yang menghampiri, satu-satunya yang tersisa hanyalah pergi.
Penyintas hanya tersisa sedikit, mereka pun tak tahu bisa bertahan hingga kapan. Jika dibandingkan dengan kekuatan distrik lain, distrik timur akan jatuh segera, lebih tepatnya memang sudah jatuh.
Malam itu, mereka tidak bisa tidur, Sejak tadi siang pergi, Zed juga belum kembali. Theodore terus menerus melirik ke arah lubang dinding, berharap temannya itu pulang tapi harapannya tak kunjung terkabul.
"Apa Zed kembali ke sana dan akhirnya ditangkap?" lirih Theodore dengan nada penuh kekhawatiran.
"Kita tunggu hingga besok," ujar Mave masih kukuh pada pendiriannya.
Mave mengusap rambut adiknya yang tak lagi banyak bicara setelah kejadian tragis itu. Ia hanya diam dan merenung dan tidur.
Karena hal itu, ia harus kuat demi adiknya.
Wisley yang sadar kedua temannya belum tidur berdehem. Menyuruh mereka untuk tidur walau kesulitan sebab harus menyimpan tenaga untuk pergi besok. Luar dinding adalah tempat asing yang tak diketahui. Mereka setidaknya harus siap dan memerlukan tenaga.
"Kau juga kesulitan tidur," cicit Theodore.
"Berisik!" Mave menyahut dan menghentikan pertengkaran kecil kedua temannya.
"Tidurlah Theo, tidak hanya kau yang khawatir, aku juga, berdoa saja Zed berubah pikiran,' bisik Wisley.
Tentu saja itu akan jadi lebih baik jika Zed berubah pikiran, tapi jika tidak? Masa mereka meninggalkan dia yang tak punya siapa-siapa lagi.