Entah siapa yang membuatnya, Mave dan Kai berada di seluncuran, awalnya Kai berteriak sebelum menyadari hal itu cukup menyenangkan, tubuhnya terayun mengikuti seluncuran, sedikit berkelok sampai cahaya menyilaukan memaksanya memejamkan mata. Mave yang berada tepat di belakangnya ikut menyipitkan mata.
Mereka terlempar, sejenak rasanya degup jantung Mave serasa berhenti karena berpikir mereka jatuh pada ketinggian.
Mereka terjatuh di atas tumpukan jerami, dengan langkah cepat pemuda itu menghampiri adiknya, melihat Kai yang baik-baik saja, tidak ada luka ia menghela napas lega.
Tak lama terdengar teriakan Theodore dan Wisley, sadar akan hal itu, ia segera menarik adiknya sedikit menjauh, membiarkan kedua temannya jatuh tertumpuk seperti pakaian. Beruntung bukan Theodore yang berada di barisan belakang.
Theo mengerjap beberapa kali, ketika merasakan wajahnya menabrak sesuatu, itu jerami.
"Oh, kukira kita jatuh dari ketinggian," ujar Wisley tak merasakan sakit.
"Ya, tapi kau jatuh menimpaku! bisa segera bangkit?" Seru Theodore membuat Wisley bangkit dengan cepat dan melihat Mave dan Kai berdiri tak jauh dari keduanya.
Sorot mata mereka menatap jauh ke depan.
Iris mata Wisley ikut membesar.
"Kita berada di luar dinding sekarang," ucap Mave.
Ada suara lain terdengar dari belakang hingga sedikit menggangu keterkejutan mereka. Theodore sudah menyingkir dari jalan. Dalam waktu sekian detik, Zed sudah jatuh telungkup di atas jerami.
"Senang melihatmu lagi kawan," ungkap Wisley dan Mave memberi sambutan, sementara Theodore membantunya untuk bangkit sambil tersenyum ringan, lega sebab akhirnya Zed ikut juga.
"Kukira kalian sudah pergi jauh," kata Zed menepuk pakaiannya yang tertempel jerami.
"Ya, sayangnya pemandangan di depan kami sedikit mengejutkan," sahut Wisley.
Mendengar hal itu, Zed menghentikan aktivitasnya, lalu segera memandang ke depan tanpa ekspresi.
Tanah merah.
Sejauh mata memandang hanya terlihat tumpukan tanah berwarna kemerahan mirip tanah liat. Selain itu ada batang-batang pohon yang telah mengering, masih berdiri, dan sebagian tampak roboh. Lainnya tak terlihat sebab ada beberapa gunung tanah merah menjulang, jadi mereka tidak tahu apa yang ada di baliknya. Yang pasti jika penasaran, mereka harus mendakinya.
"Penyintas itu bercanda kan?" tanya Zed seakan tak percaya, sebab tak terlihat ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada air, hanya tanah merah.
"Entahlah, yang pasti kita tidak bisa kembali," jawab Wisley yang memegang peta, peta yang sudah usang itu diberikan oleh Bi, satu-satunya penunjuk arah yang tersisa.
Sambil mengencangkan tali sepatu dan pakaian. Mereka melanjutkan perjalanan berhubung cuaca bersahabat.
"Ayo pergi," kata Mave melihat teman-temannya, kali ini ia mengandeng tangan Kai.
Zed mengambil pokok kayu berukuran sedang yang cukup kokoh, sambil berjalan ia meruncingkan ujungnya dengan pisau.
Yang memimpin jalan adalah Wisley. Sementara Theodore dan Mave di tengah, dan Zed sedikit di belakang.
"Kau sedang apa?" tanya Theodore melihat Zed yang sibuk dengan aktifitas barunya.
Zed tak menjawab dan langsung menyuruh Theodore memegang kayu itu.
"Benar juga," kata Mave begitu sadar apa yang tengah Zed lakukan. Ia melepas pegangan pada tangan Kai dan menyuruhnya berjalan perlahan, sementara ia memilih pokok kayu yang kokoh.
Seperti halnya Zed, ia juga turut meruncingkan kayu itu.
"Kita tidak tahu bagaimana situasi ke depannya, hanya untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada binatang buas," ucap Zed ketika melihat Theodore yang masih menunggu jawaban atas pertanyaanya. Mave tersenyum.
"Bisa juga sebagai penyangga tubuh ketika menaiki bukit itu," imbuhnya.
Kayu itu lalu diberikannya pada Wisley, sebagai pemimpin jalan. Sementara ia membuat lagi untuk dirinya.
"Jika dikumpulkan kayu-kayu ini bisa digunakan untuk membangun rumah."
Theodore memerhatikan kayu-kayu yang roboh. Tapi tidak mungkin juga mereka membangunnya sekarang, sebab tidak ada air atau pun tumbuhan.
Beban di punggung ikut membuat mereka kepayahan. Ditambah dengan berjalan kaki, seandainya saja ada kuda pikir Theodore. Walau ia tak tahu cara menungganginya.
Kai juga mulai berjalan oleng, hingga Mave mengambil kain panjang dan mengendong adiknya di punggung, sementara beban tas ia taruh di depan.
"Kita bisa gantian membawa Kai jika kau lelah," kata Wisley menawarkan diri.
"Tidak apa-apa, aku masih kuat," tolak Mave sambil membenarkan posisi Kai.
Sedikit beruntung karena badan Kai cukup mungil.
Mereka menghela napas panjang ketika sampai di kaki bukit, matahari makin meninggi, namun belum masuk waktu tengah hari, dari pagi mereka sudah berjalan dengan perhentian tiga kali selama sepuluh menit.
"Tidak ada tempat berteduh, kita akan kepanasan jika tak maju sekarang," ujar Wisley. Mau tak mau mereka kembali berjalan, kali ini rute yang dilalui cukup susah. Karena harus mendaki bukit merah itu, entah harus bersyukur atau tidak sebab jika hujan turun maka rute itu bisa mirip seluncuran karena licin.
Kai memukul bahu Mave, berkata pada kakaknya agar ia diturunkan. Bocah itu sudah cukup lama di gendong, jadi ia tak ingin jadi beban terlalu lama.
Tapi Mave mengatakan tidak apa-apa. Lagipula ia takut adiknya malah terjatuh karena sebagian bukit itu agak curam.