"DIAM!"
Hanya dengan satu kalimat saja sudah berhasil membuat dua orang yang sedang sibuk beradu argumen dengan wajah yang menegang langsung membisu.
Max melayangkan tatapan tajam pada adik tirinya seolah siap melahap kapan saja. Tapi, Adrian tetap bersikap acuh dan dingin. Abraham memijat kening yang terasa nyeri. Entah sampai kapan kedua putranya itu akan terus bersitegang.
Pria yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu menghela napas panjang. "Setiap kali bertemu, kalian berdua selalu bertengkar seperti tikus dan kucing--"
"Jangan menyamakan diriku dengan binatang." Adrian memotong ucapan Ayahnya.
Si bungsu tetap dalam pendirian, dia tak pernah menundukkan kepalanya pada siapapun. Meski itu adalah Ayahnya sendiri. Tapi, dia begitu patuh pada sang Bunda. Ya, wanita yang kedudukannya sangat tinggi di dalam hidup Adrian.
Seharusnya, rencana makan malam keluarga terasa hangat. Namun sangat berbeda dengan suasana yang terjadi di dalam keluarga Adhitama.
Bahkan hubungan ayah dan anak terasa begitu canggung seolah tak memiliki ikatan darah sedikit pun.
"Hei, Brengsek! Jangan bersikap kurang ajar pada Ayah!" Max kembali bersuara seperti seekor binatang berkaki empat yang hobi menggonggong.
Adrian melirik sekilas, tatapannya yang dingin tampak meremehkan. "Diamlah penjilat!"
"Lagipula, siapa yang kau sebut sebagai 'ayah'?" ujarnya lagi dengan nada bicara yang terdengar bergetar menahan amarah.
Luka yang telah ditorehkan oleh pria berumur setengah abad itu telah membuat rasa kecewa semakin mengakar di dalam hatinya. Adrian bahkan kini tak sudi untuk menganggap mereka sebagai keluarga.
Memangnya ada keluarga yang tega seperti mereka?
Max mengepalkan tangannya, tapi sebuah lirikan berupa kode yang diberikan Abraham, berhasil membuatnya bungkam.
"Adrian," Meskipun suara panggilan itu terdengar lembut, namun tetap saja tak berhasil melunakkan hati yang telah membatu.
Abraham tersenyum tipis, putra bungsunya masih sama seperti 2 tahun lalu. Sepertinya tidak ada secuil pun yang berubah dari anak nakal itu selain kebencian yang semakin menggunung.
"Mari kita makan malam dulu,"
Adrian melirik dengan malas. Kalimat yang baru didengar tadi membuat telinganya terasa gatal. Jadi mereka memintanya pulang ke rumah hanya untuk makan malam yang tak penting?
Selama dua tahun lamanya, dia harus meringkuk di dalam jeruji besi yang dingin. Tanpa ada seorangpun yang melindungi ataupun mendukungnya.
Lalu bagaimana bisa mereka bersikap seolah tak terjadi apapun?
Adrian bangkit dan memutar badan hendak pergi. Namun sebuah suara yang terdengar bergetar menahan rasa marah membuatnya menghentikan langkah.
"Kau mau kemana? Kita baru saja berkumpul setelah sekian lama tidak bertemu. Jadi sebaiknya--"
"Aku tidak ingin berada di ruangan yang sama dengan para manusia berhati busuk." potong Adrian tanpa menghiraukan siapapun.
Ia bahkan tak peduli jika nanti akan mendapatkan amarah besar dari sang Ayah. Lagipula, kehadirannya di sini hanya akan membuat suasana terasa tak nyaman.
Abraham tergelak saat mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Adrian. Pria berumur setengah abad yang terkenal angkuh itu bahkan tak bisa menandingi putranya sendiri dalam hal berdebat. Apa sebegitu bencinya ia pada sang Ayah?
Mungkin, perkara dua tahun lalu telah membuat putranya sendiri memendam perasaan kebencian. Abraham bahkan tahu dengan jelas bahwa putra bungsunya itu masih sama. Namun sikapnya jauh lebih dingin dari sebelumnya. Bahkan mungkin tak akan lagi ada kata maaf untuknya.
"Duduklah,"
Adrian memalingkan wajah daripada harus bertatapan lebih lama lagi dengan Ayahnya. "Tidak ada hal penting, bukan? Jadi aku akan pergi."
Pria muda yang selalu bersikap dingin kepada semua orang itu kini mulai melangkah pergi. Namun sebelum langkahnya benar-benar menjauh, suara mendayu yang begitu tulus membuatnya berhenti melangkah.
"Bukankah seorang anak yang baik harus bersikap sopan kepada orang tuanya?"
DEGH!
Adrian paham dengan jelas siapa pemilik suara khas itu. Siapa lagi kalau bukan Bunda Ais, wanita yang berhasil berada di puncak tertinggi kehidupan Adrian.
Wanita berumur setengah abad itu berjalan menuruni tangga dengan langkah yang terlihat begitu anggun. Bahkan siapapun yang melihatnya pasti tak akan mengira umurnya sudah lebih dari setengah abad.
Abraham bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri sang istri tercinta. Meski pria tua itu seringkali bersikap angkuh, namun ia berbeda saat berada di hadapan istrinya.
"Hati-hati, Istriku ...,"
Aisha, seperti namanya ia memang wanita yang anggun dan bijaksana. Adrian yang keras kepala sekalipun, tak bisa berkutik saat berhadapan dengan Bundanya.
"Bun ..."
Aisha merentangkan kedua tangannya tanpa lupa mengukir senyum tipis yang tampak sangat manis. "Kemarilah, Nak ..."
Pria yang sejak tadi bersikap dingin bahkan pada ayahnya sendiri, kini justru berubah 180 derajat. Adrian berbalik dan memeluk Bunda Ais, tampak jelas ada rasa rindu yang sejak lama menggunung.
"Bunda rindu padamu,"
Adrian hanya diam membisu. Ia tahu, hanya Bunda Ais seorang yang selalu mendukungnya. Membalut lukanya yang berdarah bahkan merawatnya tanpa lelah.
Kadang, rasa bersalah seringkali menyelimuti hatinya.
Apakah keluar dari rumah sudah benar?
Atau malah keputusannya ini akan membawa lara?
Ia ingin pulang dan menikmati tiap waktu yang berlalu bersama dengan orang terdekat. Dan satu-satunya orang yang paling dekat dengannya hanyalah Bunda Ais.
Tapi menetap di sebuah bangunan bernama rumah yang dihuni oleh sosok-sosok manusia berhati iblis yang ia benci, membuatnya berpikir dua kali.
Mungkin, sebuah penjara akan terasa jauh lebih baik dibandingkan harus berada di dalam satu ruangan yang terasa menyesakkan.
Bunda Ais menarik tangan Adrian, pria dingin itu hanya bisa menurut tanpa berani membantah sedikitpun. Meskipun awalnya ia ingin pergi, namun saat sosok wanita ini hadir, maka rencana itu telah hilang ditelan angin.
"Lihatlah badanmu, Adrian. Bagaimana bisa kau sekurus ini?" Bunda Ais menatapnya dengan tatapan iba. Hidup di dalam penjara memang tak semudah bayangan.
Wanita itu dengan cekatan menyendok nasi dan beberapa lauk yang tampak menggugah selera. Meskipun enggan untuk makan, Adrian juga tak tega untuk menolak.
Ia rindu memakan masakan Bunda. Ia juga rindu mendengar celoteh berisi nasihat tiap kali melakukan kenakalan. Selama dua tahun lamanya, ia harus menanggung rasa rindu yang membuatnya tersiksa tiap hari.
Sebenarnya, Adrian ingin menanyakan banyak hal.
Mengapa Bunda tidak menjenguknya?
Padahal ia hidup dibalik jeruji besi selama dua tahun lamanya. Apakah wanita ini tak merasa rindu pada putranya sama sekali?
"Kenapa?" Bunda Ais memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah mengapa, tatapannya itu justru terasa dingin.
Baru kali ini Adrian melihat tatapan yang menusuk dari wanita di hadapannya. Tapi sedetik kemudian, tatapan dingin itu berubah drastis.
"Apa kau tak suka dengan masakannya?"
Adrian menggelengkan kepalanya secepat kilat. "Oh, aku suka!"
Max tersenyum sinis. "Kalau kau memang menyukainya, makanlah!"