"Ck! Dasar bocah brengsek!" Frans terus menggerutu sepanjang jalan. Dia kesal bukan main saat mendapatkan ancaman tentang upahnya yang akan dipotong.
Adrian memang sangatlah dingin. Dia bahkan tak memandang hubungan apapun. Meski Frans telah mengabdi padanya lebih dari 5 tahun tapi sepertinya pria dingin itu tetap dalam pendiriannya.
"Sebenernya siapa wanita itu? Bahkan Adrian Aditama yang dingin itu tertarik padanya." Tanpa ingin banyak bertanya-tanya. Frans segera melajukan mobil sedan miliknya ke sebuah tempat yang cukup rahasia.
Tak berselang lama. Frans sampai di tempat tujuan. Begitu keluar dari mobil, dia sudah disambut oleh salah satu penjaga tempat itu dengan sopan.
Frans menghampiri sosok pria berjaket tebal dengan topi hitamnya.
"Apa sudah ada informasi tentang wanita itu?" tanya Frans tanpa basa-basi.
"Saya sudah mendapatkan informasinya, Tuan." Pria misterius itu mengulurkan sebuah amplop.
Frans menghela napas lega. Kali ini upahnya akan tetap utuh. Dia langsung membuka amplop itu. Seketika matanya langsung membulat kaget. Dia kembali menoleh ke arah pria berjaket tebal itu dengan kening yang mengerut.
"Apa kau tidak salah informasi? Wanita ini sudah memiliki suami?"
Pria itu mengangguk tanpa ragu. "Saya sudah mengeceknya beberapa kali dan memang benar wanita ini sudah bersuami, Tuan."
"Baiklah. Aku harap informasi yang kau berikan memang sudah benar dan tidak ada kesalahan apapun. Kau sendiri sudah tahu bukan, konsekuensi yang harus didapatkan jika memberi informasi yang salah?"
Pria berjaket hitam itu mengangguk tegas. Bagaimana mungkin ada orang yang berani bersikap macam-macam jika telah berhubungan dengan Adrian yang terkenal dingin dan tidak berperasaan?
"Mana mungkin pria sepertinya tertarik dengan wanita yang sudah bersuami. Pasti dengan adanya informasi ini, Adrian tidak akan lagi penasaran." gumam Frans.
***
Radit mengusap wajahnya dengan kasar. Akhir-akhir ini perubahan istrinya yang sangat drastis membuatnya tak karuan. Biasanya, Sophia akan menuruti segala perkataanya. Wanita itu terlalu lemah dan mudah dibujuk. Tapi kenapa sikapnya justru sangat memuakkan?
"Sial! Aku harus menunggu sampai kapan untuk menuntaskan hasrat ini?"
Sophia terus saja menolaknya dengan berbagai alasan. Salah satu alasan paling klise yang biasa digunakan karena lelah. Tapi bukankah setiap wanita yang sudah menikah wajib untuk mengikuti segala perintah dari suaminya?
"Tck! Kalau seperti ini terus maka kepalaku akan meledak. Tidak ... Tidak bisa! Aku tidak akan menerima penolakan apapun lagi darinya."
Nafsu memang selalu membuat semua orang kehilangan akal dan kesabaran.
Disisi lain,
Sophia memeriksa ponselnya berkali-kali. Jessica terus saja mengabaikan pesan serta panggilannya. Hal itu tentu saja membuat kegelisahan semakin menggerogoti pikiran. Bagaimana bisa dia bisa tenang jika sahabatnya tak ada kabar sama sekali?
Semenjak kejadian di bar waktu lalu. Jessica tak bisa dihubungi sama sekali. Meski nomornya sempat aktif namun gadis itu tetap tak memberi kabar pada Sophia.
"Jess, sebenarnya apa yang terjadi padamu, sih?" gumam Sophia sambil menggigit ujung jarinya.
Sophia ingin menanyakan banyak hal. Salah satunya tentang kepergian gadis itu saat di bar. Apa mungkin dia mengalami hal yang sama dengan Sophia?
Entahlah.
Ini sudah seminggu semenjak kejadian mengerikan itu. Tapi ingatan tentang kenangan yang salah itu terus berputar di dalam ingatan. Seberapa banyak berusaha untuk melupakannya sekalipun, Sophia hanya akan kembali jatuh dalam ingatan yang menyakitkan.
Sophia menghela napas panjang. Menyapu pandang ke sudut kamar yang terlihat sedikit temaram. "Dia tidak akan mencariku karena bayarannya kurang 'kan?"
***
Prang!
Bunyi gelas yang dilemparkan hingga pecah berserakan di lantai membuat pria itu tersentak. Dia menatap tak percaya pada kekasihnya. Apa gadis ini gila?!
"Hei! Apa kau ingin membunuhku, hah?!"
"Bukankah seharusnya pertanyaan itu lebih tepat untukmu?" Gadis itu justru balik bertanya dengan tatapan garang. Napasnya naik turun menahan emosi agar tak meledak lagi.
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Menghadapi wanita yang tengah marah memang cukup menyulitkan. Dia menghela napas panjang sebelum kembali melayangkan tatapan tajam.
"Jangan bertindak kekanakan seperti ini. Bukankah sejak awal kau sendiri sudah tau konsekuensi yang akan didapatkan jika memiliki hubungan dengan pria yang sudah menikah?"
Kalimat itu seolah menampar si gadis. Benar, ini memang pilihannya untuk memiliki hubungan spesial dengan pria yang sudah menikah. Tapi apakah rasa sakit ini pantas ia terima sedangkan pria yang dia cinta justru mengembangkan senyum secerah mentari bersama dengan wanita lain? Ini semua rasanya tidak adil.
'Apakah menjadi yang kedua selalu berakhir menyakitkan?' batin gadis itu. Dia telah memberikan segalanya. Hidupnya bahkan harga dirinya. Lalu bagaimana bisa rasa sakit ini harus ia terima dengan lapang dada?
Gadis itu membeku. Tak menyadari jika pria itu telah mendekat. Saat jarak di antara mereka berkisar dua meter saja, gadis itu tersentak mundur ke belakang.
"Kenapa? Takut?"
Bahkan hanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya saja telah membuat gadis itu menggigil ketakutan. Dia memang salah karena mencintai pria yang dingin dan tidak berperasaan.
Pria itu mencengkram erat tangan gadis di hadapannya. Sontak saja suara desis menahan sakit terdengar.
"Sakit ... Apa kau tidak bisa bertingkah lebih lembut padaku? Kenapa kau selalu saja menyiksaku seperti ini?!"
Bukannya melepaskan cengkraman , pria itu justru menariknya. Suara pekikan kembali terdengar. Tapi suara itu tak membuatnya iba sedikitpun. Justru dengan menyiksa pasangannya adalah suatu kesenangan.
"Sakit? Bukankah wanita murahan yang mencintai pria beristri sepertimu pantas mendapatkan ini semua. Apa mungkin aku terlalu baik padamu akhir-akhir ini sampai dirimu yang murahan ini berani bertingkah?"
Sakit. Itulah yang dirasakan gadis itu. Dia mencintainya dengan sangat bahkan sampai mempertaruhkan nyawa serta harga dirinya. Tapi bukannya mendapat cinta, dia malah terus mendapatkan luka.
Apakah mencintai pria beristri memang sangat sakit?
"Lepaskan aku, Radit ..."
Ya, pria itu memang Radit. Suami dari Sophia. Pria yang telah menjalin hubungan gelap dengan gadis lain tanpa sepengetahuan istrinya.
Radit tersenyum sinis. Dia senang melihat seseorang merengek meminta belas kasihan. Dia suka melihat pemandangan ini. Dimana gadis-gadis rela membuka kakinya hanya untuk mendapatkan cinta. Bukankah wanita adalah makhluk yang bodoh dan naif?
Mereka tahu bahwa mencintai pria yang telah memiliki istri adalah suatu kebodohan. Tapi mereka tetap melakukannya tanpa rasa malu sedikitpun.
Sebagai lelaki yang memiliki hasrat tinggi. Tentu saja hal ini membuat keuntungan bagi dirinya sendiri. Memangnya ingin mencari kemana lagi pemandangan indah ini?
Radit bahkan tidak perlu bersusah payah untuk merogoh kocek mahal untuk kesenangan semata. Hanya dengan sebuah kalimat gombalan maut berhasil menaklukan makhluk lemah nan indah ini.
"Bukankah kau suka saat aku menyentuhmu seperti ini, Sayang. Lalu kenapa memintaku untuk berhenti?" Radit justru mendekatkan wajahnya ke telinga gadis itu. Tentu disengaja. Dia ingin menggodanya.