Degup jantungnya berpacu kencang. Sophia tak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang tegang. Dia dalam keadaan kalut. Bingung harus berbuat apa dalam keadaan yang memaksanya untuk waspada.
Pria itu menatapnya intens. Bahkan dari ujung kepala hingga ujung kakinya memancarkan aura yang berbahaya. Sophia cukup kesulitan untuk meneguk liurnya. Seolah sebuah batu besar mengganjal di dalam kerongkongan.
Napasnya terasa tercekat bersamaan dengan keringat dingin yang mulai mengucur di dahinya.
"Apa kau masih ingat denganku, heh?"
Sophia memalingkan wajahnya. Namun ternyata pria itu justru mendekatkan wajahnya dan berbisik. "Tentu saja kau tidak akan melupakan malam itu, bukan?"
Dasar gila!
Sophia hanya mampu menyembunyikan wajah yang telah merah merona seperti kepiting rebus. Malu dan salah tingkah menjadi satu. Dia sangat yakin kalau pria ini memanglah seseorang yang pernah menghabiskan malam panas bersama dengan dirinya. Tapi kenapa pria ini justru bertingkah tak tahu malu?
Sophia beranjak dari bangku taman. Tetap duduk hanya akan membuatnya semakin salah tingkah. Lagipula pria aneh ini terus saja mengoceh dengan wajah yang menyebalkan.
"Sepertinya Anda salah orang, permisi."
Pria itu mengerutkan keningnya. "Mana mungkin aku bisa salah mengenali orang?"
Sophia menghela napas panjang. Dia kembali melirik dengan tatapan tajam. "Saya akan menegaskannya sekali lagi. Saya tidak mengenal Anda."
Bohong.
Sophia memang sengaja berbohong. Pria yang berdiri di hadapannya ini memanglah seseorang yang telah membuatnya jatuh dalam dosa. Meski kemungkinan besar itu semua tidak disengaja.
Sophia memilih untuk berbohong karena terlalu memalukkan untuk bertemu dengan seseorang yang dia tarik ke atas ranjang dengan paksa. Lebih tepatnya dia bahkan telah menidurinya.
"Hah, semudah itu kau melupakanku?!"
Sophia tersentak kaget. Pria ini sangat mudah tersulut emosi. Tatapannya kini bahkan lebih tajam dari sebilah pedang.
'Apa aku salah berbicara? Lagipula seharusnya dia berpura-pura tidak mengenalku saja. Melakukan hubungan intim dengan seseorang yang tak dikenal cukup memalukkan, bukan? Atau mungkin dia menerima bayaran yang kurang?' batin Sophia.
Sophia memang hanya membayar lima ratus ribu. Dia pikir itu sudah lebih dari cukup untuk membayar jasa seseorang. Dia terus mendapatkan tatapan tajam yang menusuk. Hal itu tentu saja membuatnya tak nyaman. Sophia menghela napas berat sebelum benar-benar menyerah.
"Baiklah. Aku tidak akan berpura-pura lagi. Ya, aku memang mengenalmu. Tapi bukankah waktu itu aku sudah membuatmu? Aku bahkan meletakkan beberapa lembar uang di atas meja." ujar Sophia dengan nada bicara yang terdengar bergetar menahan rasa takut.
"Apa?"
Sophia memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya. "Aku sudah membayarmu, bukan? Jadi sepertinya kita tak perlu bertemu lagi."
Pria itu tertawa sinis sambil mengusap wajahnya dengan cukup kasar. "Apa kau pikir aku pria bayaran, hah?!"
Tatapannya yang tajam itu berhasil membuat nyali wanita di hadapannya menciut.
"Tck! Tidak ada seorangpun yang berani merendahkan diriku seperti ini. Tapi kau ..." Pria itu menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Wanita sepertimu bahkan meremehkan diriku."
"A-aku tidak bermaksud untuk merendahkan dirimu." Sophia tergagap sambil merogoh tas miliknya. Sedetik kemudian dia menarik tangan pria itu dan meletakkan beberapa lembar uang di telapak tangannya.
Kening pria itu mengerut. Berusaha memahami situasi yang kini cukup membingungkan.
"Ini uang untuk kerja kerasmu. Maaf karena aku membayarmu terlalu sedikit waktu itu."
Cukup sudah! Dia Adrian, pria yang telah menghabiskan malam panas bersama Sophia. Adrian tak bisa lagi menyembunyikan rasa kesal. Untuk pertama kalinya dia dihina oleh seorang wanita. Bahkan para gadis yang sering berkeliaran di sekitarnya tak pernah berani mendongakkan kepala. Tapi wanita yang berdiri tepat di hadapannya ini sangat berbeda. Dia menatap dengan tatapan sendu meski tergambar jelas ada rasa takut di dalamnya.
Pertama kali menghabiskan malam dengan seseorang justru berakhir memalukan. Adrian pikir wanita itu benar-benar angkuh. Tapi sepertinya dugaan itu salah. Wanita ini sangat lugu. Susah payah dia mencari keberadaan Sophia. Namun saat menemukan wanita ini, Adrian justru dikejutkan dengan kenyataan bahwa wanita ini hanya menganggap dirinya sebagai pria bayaran.
Adrian mengusap wajahnya dengan kasar sebelum menarik tangan Sophia dan mengembalikan uang yang dia terima.
"Aku tidak butuh uang darimu. Aku bukanlah seseorang yang kekurangan uang sampai merendahkan diri dan menjual diri."
Sophia mengerutkan keningnya. Bingung dan penasaran campur aduk menjadi satu. "Kalau tidak butuh uang lalu kenapa menemuiku?"
Adrian menghela napas panjang. "Tentu saja untuk meminta tanggung jawab."
Sophia tersentak ketika mendengar penuturan pria berwajah arogan di hadapannya. "Pertanggung jawaban apa maksudmu?"
Adrian melirik dengan tatapan sinis sebelum menarik tangan Sophia. "Tentu saja atas pelecehan yang kau lakukan."
Sophia hanya bisa membisu dengan degup jantungnya yang tak karuan. Wajahnya kini bahkan berubah jadi merah seperti kepiting rebus. Dia melupakan satu hal penting. Malam itu dirinya sendirilah yang menarik pria asing ke atas ranjangnya. Lalu dengan seenaknya mengecup serta bergerak dengan buas seperti wanita yang kehilangan akal.
Cengkraman pria itu makin erat. Perlahan rasa ngilu dan perih tercipta di pergelangan tangannya. Sophia hanya bisa meringis dan mendesis menahan rasa sakit. Dia ingin pergi sejauh mungkin. Tapi itu sepertinya mustahil. Tenaganya benar-benar habis tak tersisa. Pria ini begitu kuat mencekalnya.
Sophia mendongakkan kepalanya. Seketika matanya langsung beradu pandang. "Ini sakit, jadi tolong lepaskanlah!"
Adrian menatapnya dengan tajam. Sepertinya pria itu memang tak memiliki belas kasihan. "Kalau aku melepaskannya, kau pasti akan kabur, bukan?"
Sophia melotot tak percaya. Ternyata pria ini jauh lebih berbahaya dari perkiraannya.
"Aku tidak pernah kabur dari siapapun!" Sophia berteriak sambil menghempaskan tangan Adrian. Namun sayang tenaganya jauh lebih lemah dibandingkan Adrian. Pria itu bahkan kembali mengeratkan cengkraman sambil melayangkan tatapan tajam seolah tak ingin mangsanya kabur begitu saja.
Adrian memiringkan kepalanya dengan alis yang naik sebelah. "Benarkah? Jika kau memang tidak kabur dari siapapun lalu apa kau lupa dengan dirimu yang pergi meninggalkanku sendirian di hotel?"
Mendengar perkataan sosok pria dengan wajah congkak di hadapannya ini membuat Sophia tak bisa berpikir lagi. Dia tak pernah sekalipun terbersit keinginan untuk kabur. Dia sudah membayar jasa Adrian.
"Bukankah sudah aku katakan sebelumnya? Aku tidak kabur. Aku sudah membayarmu. Jadi jangan ganggu aku lagi dan lupakan saja kejadian malam itu. Lagipula aku sangat yakin kalau ini bukan pertama kalinya bagimu untuk melayani seseorang, bukan?!"
Begitu mengucapkan kalimat yang cukup menusuk, Sophia menutup mulutnya rapat. Dia tak sadar baru saja menyiramkan sebuah bensin ke kobaran api.
Perlahan cengkramannya memudar. Sophia memijat pergelangan tangannya yang terasa nyeri. Pria ini benar-benar kasar!
"Hah!"
Sophia mendongakkan kepalanya dengan alis yang saling berkaitan. Dia menatap ke arah pria di hadapannya yang kini memasang wajah masam.
Perlahan, Adrian melirik ke arah Sophia. Ketika mata mereka bertemu dan saling beradu, tiba-tiba dadanya berdegup kencang. Entah karena marah sebab dihina atau mungkin karena ada rasa yang mulai tumbuh di dada.
"Sepertinya aku harus mengunjungi suamimu."