Chereads / Athlete vs Academician: After Dating / Chapter 43 - Mutiara Diantara Sampah

Chapter 43 - Mutiara Diantara Sampah

Mereka bertiga sejenak memandang satu sama lain, tak bisa menolak ajakan dari sang pelatih. Lagi pula setelah latihan berat hari ini membuat perut mereka terasa lapar. Menganggap sebagai keberuntangan anak penurut dan paling berbakti untuk pelatihnya, mereka bergegas menuju gudang. Sebagai pengguna lapangan olahraga selama berbulan-bulan, mereka sudah memasuki gudang ini beberapa kali sampai barang sekecil apapun, mereka hafal tempatnya.

Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. untuk pertama kalinya mereka melihat ada sebuah benda kotak yang begitu panjang dan tipis terletak di atas meja. Mereka tak pernah menyadari kalau tv sebesar itu tahu-tahu berada di ruangan yang cukup berantakan ini. Di lain sisi pandangan Marlon mengenai tv tersebut sedikit berbeda dengan kakak tingkatnya.

Sejauh pengetahuannya dalam teknologi, Marlon sendiri bahkan tak berani menyentuh tv yang harganya tak bisa dibandingkan dengan sepatu-sepatu yang sempat Arya beli bersamanya. Ia tak mengerti mengapa tv semahal ini harus ditaruh di ruangan berantakan seperti ini.

"Apa Coach Alex yang membeli tv ini?" tanya Ando penasaran, matanya sedikit berbinar-binar.

Tanpa mereka sadari wajah Marlon sudah sangat dekat dengan layar tv tersebut. Terlahir dari keluarga yang sangat kaya, bahkan keluarganya sangat enggan mengeluarkan uang lebih dari 5 juta untuk membeli tv. Namun pelatihnya itu sama sekali terlihat santai menaruh barang tv dengan harga hampir 10 juta berada di ruangan seperti ini.

"Ah, sebenarnya ini Smart TV yang menganggur di rumah bapak. Daripada taruh di rumah dan tak terpakai, mungkin lebih bagus lagi kalau ada tv di gedung olahraga ini, kan? Kita bisa menonton pertandingan basket atau apapun itu agar kalian bisa terhibur."

"Smart TV yang menganggur katanya?! Bagaimana tv semacam ini bisaa menganggur di rumahnya?!" Marlon teriak dalam hati. Dari lubuk terdalam ingin sekali memprotes ucapan sang pelatih dan menyuruhnya menarik kata-katanya lagi.

"Hei, Marlon. Kenapa kau di depan tv begitu? Dan kenapa kau memandang Coach Alex seolah kau menantang beliau?" Doni seketika berbisik di sampingnya lalu menariknya menjauh dari layar tv.

Nasibnya beruntung mengingat Ando masih mengalihkan pembicaraan dan tak menyadari pandangan sinis dari Marlon. Sementara itu tv sudah terpasang dan tersambung dengan Wi-Fi kampus. Sehingga mereka tinggal menyalakan tv dan menyaksikan Arya bertanding.

***

"Kalau dipikir-pikir lagi, Arya sampai sekarang juga belum dimainkan oleh pelatihnya. Apa permainannya di babak awal seburuk itu?" Marlon bergumam pelan, heran dengan keputusan sang pelatih Karesso.

"Kalau menurut Coach Alex sendiri bagaimana?" tak mau salah menjawab, Doni langsung melemparkan penasaran adik tingkatnya pada pelatihnya.

"Hmm? Bapak saja melewatkan babak pertama dan kedua. Memangnya Chayton sudah dimainkan?" Coach Alex sendiri juga terkejut begitu mendengar ucapan Marlon.

"Itu benar. Bisa dikatakan Arya menjadi pemain inti di pertandingan ini, walau hanya bermain setengah babak saja."

"Ya, maka dari itu aku curiga apa jangan-jangan Arya belum terbiasa bermain di turnamen profesional seperti? Oh, ya, omong-omong Coach Alex mau nonton pertandingan yang tadi? Bisa saya putarkan kembali." Marlon menawarkan diri, merasa paling paham tentang Smart TV itu.

"Hahaha, tak perlu repot-repot. Bapak yakin kalau Chayton sebentar lagi juga mendapat jatahnya bermain. Kalau belum terbiasa atau belum, itu tak bisa dijadikan alasan utama mengingat Chayton sudah sangat berpengalaman mengikuti turnamen berulang kali ketika SMA. Kalian berdua bahkan tak bisa mengalahkannya, kan?"

Seketika Marlon dan Doni tertegun mendengar kalimat terakhir dari Coach Alex. Keduanya menatap satu sama lain lalu sedikit mengekspresikan wajah yagng tak bisa digambarkan. Mereka benar-benar kesal kalau diingatkan kembali tentang hal itu. Di mana mereka sudah sangat percaya diri akan memenangkan setiap pertandingan, namun begitu ketika mencapai babak akhir poin mereka sangat jauh bahkan tak ada yang bisa menghentikan Arya saat itu meskipun dijaga dua orang sekaligu.

"Yah, saat itu kami memang sudah menduga jika permainan Arya jauh di atas kami. Tapi siapa tahu kalau ada pemain yang di bawah saya tapi justru mengacak-ngacak tim kami." Doni mendecak pelan, sebisa mungkin mengungkapkan kekesalannya tanpa diketahui sang pelatih.

"Ahh, aku masih ingat di mana kalian sama sekali tak berdaya melawan timnya Arya. Padahal saat itu aku sangat yakin kalau kalian yang akan memenangkan pertandingan final dua tahun berturut-turut itu."

"Sudahlah, tak perlu dibahas lagi. Memang sampai sekarang pun kami diam-diam memang mengagumi permainan Arya. Hanya saja orang itu terkadang lupa dengan bakat dan kemampuannya sendiri."

"Lihat. Selagi kalian bicara dan tak menyaksikan pertandingannya, Chayton tahu-tahu sudah dimainkan kembali."

"Eh?" Mereka bertiga terkejut serempak, sambil menoleh ke layar Smart TV yang begitu jernih. Sesuai ucapan sang pelatih, mereka memang melihat Arya sudah bersiap-siap di pinggir lapangan sambil berdiri tegak, menunggu bola keluar atau pelanggaran untuk menghentikan pertandingan.

"Hahaha, liat raut wajahnya. Sama sekali tak jauh berbeda dengan tadi." Marlon terkekeh keras sambil menunjuk Arya.

Coach Alex mengusap dagunya sendiri sambil memastikan apakah benar salah satu anaknya itu memang sekaku itu ketika berada di pertandingan besar seperti ini. Yah, mau bagaimanapun juga Coach Alex belum pernah melihat Arya bertanding secara langsung. Kemarin ada kesempatan pun, tak bisa dimanfaatkan baik olehnya. Meskipun rasa bersalah tak lagi menghantui dirinya, melihat Arya cukup gugup berada di layar tv, Coach Alex menganggap dirinya gagal sebagai pelatih.

Sementara itu di Stadion Jakarta Thunder, Arya melakukan sedikit peregangan, merasa tangannya kanannya sedikit kaku. Jika dibiarkan, ia tak yakin apakah bisa mengejar ketertinggalan dengan tembakan tiga poinnya. Begitu bola meninggalkan lapangan, Arya mulai memasuki lapangan, menggantikan Indra yang posisinya sebagai shooting guard.

Dengan keluarnya Indra, para pemain Jakarta Thunder langsung tahu strategi mereka jika Arya dipastikan sebagai shooting guard di menit akhir pertandingan. Spontan mereka semua memberi semacam isyarat untuk memberi tekanan lebih pada Arya, berjaga-jaga tak ada tembakan tiga poin terus menerus. Selisih poin mereka sebanyak 8 poin dan waktu tersisa 1 menit lagi.

Dalam olahraga apapun, ketertinggalan bisa dibalikkan begitu saja asal tim yang tertinggal bisa mencari momentum dan masih ada waktu untuk mengejar. Bagi Arya, satu menit bukanlah waktu yang banyak namun dengan tiga kali tembakan tiga poin, maka mereka bisa memimpin kembali.

Maka dari itu ia tak lagi mengandalkan kekuatannya sendiri dalam mencari celah pertahanan musuh. Dengan keempat pemain lainnya, mereka yakin jika membalikkan 8 poin itu termasuk hal mudah.

"Jangan terlalu banyak berpikir, Yak. Kau tinggal pintar-pintar mengecoh musuh dan mencari tempat yang kosong. Untuk memberimu ruang terbuka, biarkan itu menjadi tugas kami." Kemudian mereka membalikkan badan pada pemain Jakarta Thunder.

Denny, Bastian, dan Loga terlalu keren mengatakan kalimat itu.