"Yoo!"
"Mantap, Yak!"
"Gila juga kau, ya!"
"Yuhuuuuu!!"
Para pemain Karesso menyoraki sambil menyirami Arya dengan air minum mereka. Arya yang tadinya mengedepankan kepalanya terlebih dulu sebelum memasuki ruang pemain, tiba-tiba tubuhnya sontak memundur sambil mengangkat kedua tangannya setinggi wajahnya, berusaha menghindari semua siraman air itu dengan wajah absurd dan kebingungan. Beberapa dari mereka bahkan tak ikut serta menyirami, namun merekam kejadian itu sebagai bukti nyata.
Arya tahu hal semacam ini pernah ia alami ketika masih SMA, di mana dirinya sering membawa timnya menuju kemenangan hingga puluhan kali dan ia sebagai pencetak poin paling banyak. Hanya saja Arya berpikir jika dirinya akan mengalami hal itu kembali jika dirinya sudah benar-benar layak menggendong timnya di setiap pertandingan atau mengalami hal krusial seperti sebelumnya.
Setelah para pemain Karesso selesai mengguyur Arya, kemudian mereka bersorak sambil menggoyangkan kedua pundak Arya yang basah.
"Apa-apaan ini?!" Arya berseru sambil mengusap wajahnya.
"Apa maksudmu? Kau itu kecil tapi penyelamat tim kita di pertandingan kali ini. Apa masih perlu penjelasan lain?" Denny mengangkat sebelah alisnya, juga ikut kebingungan.
"Haa? Kenapa harus aku? Bukannya Pak Calvin yang bisa mencetak poin terakhir?"
"Hei! Tahun ini umurku memang di atas Denny dan Indra tapi aku belum menikah. Jangan panggil aku 'Pak'!"
"Baik, Pak. Dimengerti." Arya asal cerocos lalu mengabaikan Calvin.
"Hei!"
"Hahaha! Tak perlu pedulikan orang itu. Dia bisa mencetak poin pun berkat kau yang berhasil menggagalkan serangan musuh. Andai saja kau tak bisa meraih bola itu atau membuat pelanggaran ketika berusaha menghalaunya, bisa-bisa kita kalah telak dan tak mungkin sesenang seperti sekarang. Hargailah usahamu terlebih dulu sebelum menghargai usaha orang lain."
"Dengar! Denny untuk pertama kalinya mengatakan sesuatu yang masuk akal!" Indra terlihat heboh ketika obrolan mereka berdua semakin serius. Spontan teman-temannya pada tertawa sambil membanting botol mereka ke atas lantai.
Ah, Arya mengerti kenapa mereka semua tahu-tahu menyiram wajahnya dengan air. Ternyata hanya sebuah aksi yang tidak disengaja bisa menghasilkan sesuatu begitu besar. Ia tak bisa membayangkan bagaimana meriahnya jika bola berhasil direbut tanpa meninggalkan lapangan, lalu ia sendiri menggiring bola dari area pertahanannya menuju pertahanan musuh, kemudian mengeluarkan kemampuan tembakan tiga angkanya. Bisa-bisa tak hanya air minum biasa yang menghujani kepalanya.
"Baiklah, sudah cukup merayakan kemenangannya. Istirahatlah sejenak lalu kita makan malam di restoran. Kebetulan Mr. Steve akan mentraktir kita semua malam ini." Coach Greg sedari tadi di belakang mereka, tiba-tiba memberi kabar baik untuk para pemainnya.
Meskipun mereka pemain profesional, baik muda atau tua, tetap saja tak akan menolak ketika ada tawaran semacam itu. Terlebih ajakan Mr. Steve bukanlah tempat makan biasa, melainkan sebuah restoran ternama di sekitar stadion Jakara Thunder. Mereka tak perlu banyak istirahat, tinggal menunggu keringat di tubuh mereka dan menggunakan parfum tak sewajarnya, mereka semua siap makan malam di restoran mewah sekali pun.
Sebagai pemain paling muda, Arya kesulitan mengungkapkan kesenangannya ketika mendengar ada traktiran dari atasannya. Mereka memang heboh dan terlihat senang namun nuansa dengan anak seumurannya sangat berbeda jauh bahkan ingin teriak pun Arya sungkan. Alhasil ia hanya meringis sambil mengusap perutnya yang sudah mulai berbunyi.
***
Setelah beberapa waktu, mereka sampai di sebuah restoran. Arya sama sekali tak peduli dengan nama restoran itu, hanya saja kedua matanya tak bisa teralihkan ketika restoran semegah ini ada di Indonesia. Sejauh dirinya makan di restoran, entah bersama keluarga atau teman-temannya, restoran mewah di kotanya memang seadanya walau kota asalnya bukan kota kecil. Namun Ibukota memang selalu memiliki sesuatu yang lebih modern dibanding kota-kota lainnya. Satu per satu mereka turun dari bus dan tak hanya Arya saja yang perutnya keroncongan. Karena jumlah pemain dan staff Karesso begitu banyak sehingga sangat tidak memungkinkan bagi mereka makan di dalam.
Di samping restoran tersebut ada sebuah jajaran kursi dan meja, yang masih satu kepemilikan dengan restoran itu. Nuansa khas nusantara melekat pada restoran tersebut, begitu banyak tumbuh-tumbuhan dan pepohonan di sekitarnya. Bahkan yang mereka injak bukanlah tanah, lantai atau apapun, melainkan rumput asli yang tumbuh di sekitar restoran. Tak hanya itu, bahkan di sudut lain juga ada tempat anak-anak untuk bersenang-senang serta spot foto didesain semenarik mungkin agar para pelanggan merasa betah dan dilayani dengan baik.
Arya duduk asal-asalan, tak mempedulikan siapa yang akan duduk di sekitarnya. Namun meski tak ada niatan sebaliknya, tetap saja dua seniornya selalu mengikuti Arya. Bahkan kali ini mereka duduk di samping kanan dan kirinya. Helaan napas berat ia hembuskan dan mereka berdua tak tahu makna hembusan angin itu.
"Kau kenapa? Kelihatannya kau cukup lesu," tanya Denny sambil menghadap Arya.
"Ah, tak apa. Badanku sedikit kedinginan saja, mungkin karena terlambat ganti baju," jawab Arya asal.
"Benarkah? Kau bahkan sama sekali tak terlihat kedinginan."
Kemudian pelayan datang membawakan sejumlah daftar menu untuk mereka. Setelah menunggu beberapa menit, giliran Arya memegang menu. Ternyata ia baru sadar jika restoran ini termasuk restoran dengan masakan western, sangat berbeda dengan nuansa restoran in. Arya tanpa pikir panjang langsung memesan Wagyu Meltique Steak, salah satu menu paling mahal di restoran itu yang harganya bisa tembus 400 ribu.
"Ini dibayarin Mr. Steve, kan? Soalnya aku mau pesan dua," Arya
"Gila! Satunya saja seharaga 400 ribu. Kau mau bikin Mr. Steve jadi orang miskin?" Kedua mata Indra langsung melotot.
"Haa? Satunya 200 ribu, kalau 2 berarti 400 ribu. Kak Indra enggak bisa hitung-hitungan?"
"Oh, aku pikir satunya 400 ribu. Kalau seperti itu kelihatannya boleh. Lagi pula ada kemungkinan Mr. Steve tak mempedulikan kau pesan berapa porsi."
Arya semakin meyakinkan dirinya jika memesan dua makanan sekaligus merupakan pilihan terbaik. Sudah cukup lama dirinya tidak makan steak, namun untuk pertama kalinya ia akan memakan steak dengan harga tak wajar seperti itu.
Sambil menunggu pesanan datang, mereka mengobrol satu sama lain, sedikit mengulas pertandingan sebelumnya. Sebagai pendatang baru, Arya tak bisa mengobrol terlalu banyak di hadapan para senior dan atasannya. Ia bahkan tak bicara jika tak ada yang mengajaknya bicara terlebih dulu. Selain itu ia fokus pada layar ponselnya dimana ia mendapatkan banyak pesan dari teman-temannya dan salah satu pelatihnya, Coach Alex.
Namun sebelum membalas pesan mereka, Arya mendengar ada sosok suara di belakangnya, meminta ingin foto bersamanya. Indra, Denny, dan pemain lainnya juga ikut menoleh, menyadarkan Arya kalau dirinya sedang dipanggil seseorang. Begitu Arya membalikkan badannya, ia sangat terkejut sampai mulutnya menganga dan terbelalak besar kedua matanya.