Chereads / Athlete vs Academician: After Dating / Chapter 48 - Tak Ada 'Mantan Guru'

Chapter 48 - Tak Ada 'Mantan Guru'

"Permisi, Nak. Kau termasuk salah satu pemain Karesso, kan? Boleh saya minta foto bareng?" ucap orang itu, kedua matanya tak terlihat sebab bibir topinya terlalu panjang. Arya bahkan sampai menundukkan kepalanya dan tubuhnya, alhasil orang itu menarik bibir topinya lebih dalam lagi.

"Maaf, anda siapa, ya?" Arya bertanya, sangat penasaran namun di sisi lain ia juga curiga dengan orang itu.

"Yak, tak sopan bertanya kayak gitu. Kalau tiba-tiba ada orang minta foto bareng padamu, sudah pasti orang ini salah satu fansmu. Tak perlu terlalu jauh sampai kau ingin tahu nama orang ini."

"Fans? Tapi kan aku baru saja bermain hari ini. Dari segi performa juga tak ada yang harus dibanggakan pula. Jangan-jangan orang ini salah orang kali, ya?" Arya berbisik pada Denny.

"Sudahlah tak perlu banyak bertanya. Biar aku saja memfotokan kalian." Denny mengatakan hal itu sangat keras, lalu berdiri dari kursinya.

Melihat aksi cepat Denny, orang asing itu langsung menghentikannya dengan kalimat. "Ah, tak perlu. Sayahanya butuh Arya saja, karena sebenarnya sudah cukup lama saya tak bertemu murid kesayangan saya."

Baik Arya maupun Denny sama-sama menganga, mengangkat kedua bahu mereka. Murid kesayangan? Arya saja tak kenal siapa orang ini dan seenaknya menganggap salah satu muridnya. Tak ingin ada kesalahpahaman atau hal buruk menimpa Arya, Denny dan Indra langsung bangkit dari kursinya, menghadap pria dengan topi bibir panjang tersebut.

"Maaf, Tuan. Tapi Anda ini siapa? Arya bahkan merasa tak nyaman ketika Anda mengatakan orang ini murid kesayanganya Anda."

Pria tersebut menggunakan jaket bomber berwarna merah maroon serta celana training berwarna putih dengan dua garis berwarna hitam di bagian paha hingga kaki. Topinya juga tak begitu terlalu bermerk hingga mereka tak bisa memastikan apakah orang ini punya hobi olahraga atau memang suka berpakaian sederhana seperti itu.

Meskipun perbincangan mereka begitu keras, terlihat hanya segelintir orang saja yang peduli dan mereka memutuskan membicarakan topik lain untuk menghindari.

"Ah, maaf telah membuat kalian menjadi curiga. Tapi Arya Chayton memang salah satu murid kesayangan saya," untuk kedua kalinya orang tersebut mengatakan hal itu. Kemudian pria itu melepaskan topinya perlahan, dan diperlihatkanlah wajahnya pada mereka yang memperhatikan sembari menggenggam topi di tangan kirinya.

Tanpa menunggu otaknya merespon, kedua mata Arya langsung terbelalak besar ketika wajah itu tak asing di matanya. Bahkan Arya juga tak merasa kalau pria itu bukanlah orang biasa yang mendadak menjadi fans-nya, namun salah satu orang terpenting di dalam karirnya.

"Coach Adi?!" Arya heboh dan bersemangat, mengejutkan orang-orang di sekitarnya.

Mendengar kata "Coach" merupakan sesuatu yang paling di dengar Coach Gregm hingga ia juga ikut menoleh ketika sedang berbicara pada Mr. Steve.

"Halo, Arton. Bagaimana kabarmu? Sepertinya kau terlihat senang bergabung dengan tim yang lebih profesional, ya."

Tak pikir panjang Arya langsung menghamburkan pelukannya ke pria tersebut, saking lamanya tak bertemu Arya tak bisa menahan kerinduannya. "Coach Adi kenapa bisa ada di sini?"

"Tunggu bentar. Sebenarnya Anda ini siapa? Kenapa Arya memanggil Anda dengan sebutan 'Coach'?" Denny menyela momen menyentuh itu dengan pertanyaan tak begitu penting.

Namun ketika pria tersebut hendak menjelaskan, tiba-tiba Arya menepuk tangannya dan menyuruhnya tak perlu terlalu banyak memperkenalkan diri. "Ah, ini Coach Adi, pelatih basketku ketika masih SMA. Di bawah kepelatihannya, sekolahku sudah menjuarai turnamen tingkat nasional dua tahun berturut-turut."

Denny dan Indra mengangguk keras sambil menganga. Mereka langsung paham ketika menyaksikan Arya tak segan-segan memeluk orang itu begitu erat.

"Hahaha, kau tak perlu menyebutkan yang terakhir itu."

"Tapi memang begitu kenyataannya, kan, Coach? Ah, bagaimana kalau bicara sebentar, Coach? Rasanya sudah cukup lama tak bicara empat mata dengan Anda."

"Hahaha, memang itu tujuanku ke sini. Banyak yang ingin aku bicarakan padamu."

"Kak Denny, Kak Indra, aku pergi sebentarm ya. Tolong titip makananku biar enggak dimakan lalat," ucap Arya lalu berjalan meninggalkan meja makan, mencari tempat lain yang nyaman untuk bicara empat mata.

"Hei, Yak! Makananmu sebentar lagi datang! Steak tak punya rasa yang kuat ketika sudah dingin!" Sekencang apapun Denny dan Indra teriak, mereka tak bisa mengurungkan niat Arya yang begitu kuat ketika bertemu pelatih terdahulu.

***

"Baiklah, kelihatannya kau terlihat bersemangat setelah membuat momen mengejutkan di ujung pertandingan tadi."

"Coach Adi juga menilai kalau akhir pertandingan itu berhasil dimenangkan kami karena saya?"

"Tunggu sebentar, kata imbuhan itu membuatku sedikit tak nyaman. Jangan panggil aku 'Coach' lagi, Arton. Aku bukan lagi pelatihmu dan misi kita berdua saat itu sudah selesai. Hubungan kita bukan lagi pelatih dan pemain, namun sebagai kenalan yang begitu dekat."

"Tidak bisa begitu. Coach Adi tetaplah Coach Adi, pelatih kami yang berhasil membawa kemenangan kejuaraan nasional dua kali berturut-turut. Lagi pula pelatih itu tak ada bedanya dengan guru, sehingga kalau tak ada mantan guru di dunia ini, maka mantan pelatih pun juga tak ada. Coach Adi akan tetap menjadi pelatihku sampai kapanpun." Arya mengatakan itu dengan sangat serius sampai tanpa sadar keningnya mengerut

Coach Adi menghela sejenak, memegang keningnya sambil terkekeh pelan. "Ternyata selama ini kau belajar banyak dari pengalaman, ya. Bahkan aku tak pernah mendengar kau mengatakan sesuatu yang bijak seperti ini."

"Hahaha, mungkin faktor umur, Coach." Arya ikut terkekeh sambil mengusap kepala belakangnya. "Oh, iya, Coach Adi kenapa tiba-tiba ada di Jakarta? Jangan bilang jauh-jauh ke sini hanya ingin menonton pertandingan kami?" lanjutnya bertanya.

"Hahaha, mungkin kau ada benarnya juga. Tapi itu alasanku yang kesekian, banyak faktor kenapa aku sekarang berada di Jakarta."

"Kalau boleh tahu, apa saja alasannya, Coach?" Arya menarik kursinya ke dalam meja, semakin bersemangat bicara pada Coach Adi.

"Kau yakin ingin mendengarnya? Kalau diceritakan satu persatu akan sangat panjang dan itu membuatku tak merasa enak hati pada pihak tim-mu." Coach Adi tak ingin muridnya terlena dengan pertemuan mereka, sampai lupa kewajibannya sebagai pemain yang sudah terkontrak dalam tim, tak boleh terlalu mengabaikan peraturan yang sudah diberlakukan.

"Tak apa, saya dan Coach Adi sudah lama tak bertemu. Sangat disayangkan kalau ada cerita yang terlewatkan ketika bertemu sekarang."

"Baiklah, sebenarnya sekarang aku sudah tak lagi melatih di Solo lagi, Arton."

Kedua mata Arya tak begitu terbelalak, namun kabar tersebut membuatnya sangat terkejut. "Maksud Coach Adi…"

"Ya, kau benar. Aku sekarang pindah ke Jakarta karena permintaan dari keluarga. Di sini memang hidup kami lebih terjamin dan aku banyak bertemu pemain unggul sepertimu."

"Lalu… bagaimana dengan nasib tim basket di sekolah saya dulu?"