Chereads / Athlete vs Academician: After Dating / Chapter 46 - Firasa Buruk

Chapter 46 - Firasa Buruk

Para pendukung Karesso tak perlu pikir panjang menyoraki kemenangan tim kesayangannya. Bahkan beberapa orang tak segan-segan lompat-lompat di atas kursinya sambil mengangkat kedua tangannya, benar-benar membuat seisi stadion gemuruh dan sangat bising. Mereka yang menonton melalui siaran pun juga tak kalah senangnya.

Fajar dan gengnya, Fahrizul dan Fahmi, serta Marlon bersama rekan-rekannya di gudang gedung olahraga ikut bersorak. Beberapa dari mereka mungkin tak mengerti bagaimana rasanya mendapatkan kemenangan disisa menit akhir, namun melihat wajah Arya yang begitu bersinar dan mulutnya tak henti-hentinya bersorak, sangat mustahil bagi mereka tak ikut senang.

Bahkan Marlon sampai tak sengaja menendang salah satu makanannya yang ia taruh di atas sofa, mengakibatkan harus kerja lebih banyak atau mendapatkan amukan Coach Alex. Sementara itu Arya tak kalah pentingnya di menit-menit akhir, dan tak sedikit pula rekan-rekannya mengusap kepalanya berulang kali.

Momen di mana Calvin mencetak poin penutup, semua itu tak terlepas dari kebijakan Arya dalam membuang bola keluar lapangan walau itu bukan sesuatu yang ia harapkan. Tak ingin terlihat gugup dan konyol ketika kemenangan sudah diperoleh, Arya hanya bisa terkekeh sambil mengusap kepala belakangnya, mendadak kepala menjadi besar.

Sementara itu Jakarta Thunder sudah terlebih dulu meninggalkan lapangan. Para pendukung mereka pun juga tak berbuat banyak kali ini selain mendengarkan keributan yang dibuat oleh pendukung Karesso. Walau ketertinggalan poin sangat sedikit, tuan rumah tetap tertunduk kali ini dan tak bisa merayakan kemenangan pertama mereka di rumahnya.

Selagi para pemain Jakarta Thunder meninggalkan lapangan, pelatihnya justru masih berjabat tangan dan sedikit melakukan perbincangan antar pelatih. Tak ada yang bisa mendengar ucapan mereka selain mereka sendiri sebab mereka seperti sedang membisikkan sesuatu dan tak banyak orang di stadion mengerti hal itu, kecuali salah satu kameramen yang menyorot mereka dan kebetulan disiarkan.

"Hmm? Kenapa mereka bisik-bisik seperti itu? Memangnya kayak begitu selalu ada di turnamen profesional?" Marlon bertanya-tanya, sangat penasaran.

"Hahaha, itu hanya bentuk hormat antar pelatih karena sudah memberikan permainan terbaik mereka. Juga, biasanya mereka sangat senang bertanding dengan tim yang dilatih jika didikan sang pelatih sangat positif hingga menimbulkan sportivitas yang begitu tinggi kepada para pemainnya."

"Ah, seperti itu, ya. Aku baru tahu. Kalau begitu pelatih Jakarta Thunder pasti senang malam ini bisa bertemu Arya dan teman-temannya."

"Sok tahu, coba lihat muka orang itu," kata Doni lalu menunjuk ke arah pelatih Jakarta Thunder yang bersiap-siap meninggalkan lapangan. "Bagaimana pun juga tak ada pelatih yang senang melihat timnya kalah. Anggap saja jabat tangan tadi sebagai sebuah hiburan yang dilakukan pelatih Karesso."

"Tak perlu serius seperti itu. Menang kalah sudah biasa dalam pertandingan, tinggal siapa yang cepat melakukan reset, maka tim tersebut yang akan mendominasi di turnamen ini."

"Reset? Reset seperti apa, coach?"

"Sudahlah jangan banyak bertanya. Kau akan tahu sendiri nanti kalau sudah mengikuti pertandingan besar seperti Arya." Kini giliran Ando tak suka mendengar adik tingkatnya terus bertanya untuk kesekian kalinya.

Coach Alex di samping mereka hanya bisa tertawa sembari menggeleng pelan. Sedangkan Marlon hanya mencibir lalu membersihkan sisa-sisa makanan yang ia jatuhkan di sofa.

***

Arya tak bisa berhenti tersenyum, masih terbayang-bayang dengan aksi kerennya yang tidak disengaja dan berhasil mengembalikan keadaan. Tak hanya itu, ini juga kemenangan pertamanya setelah terakhir kali mengikuti pertandingan besar saat masih SMA. Sebelum memasuki dunia perkuliahan, Arya berharap bisa mendapatkan kemenangan pertamanya bersama tim basket kampusnya. Namun ternyata sejauh ini apa yang ia harapkan sangat melesat dan tak sesuai dengan rencananya dulu. Bahkan bisa dibilang jauh melebihi perkirannya.

Mengingat kejadian ia tak mendapat kesempatan bermain saat turnamen nasional akhir tahun, benar-benar membuatnya tak bisa melepaskan masalah itu secepat angin. Arya merasa dijatuhi sebuah beban yang begitu berat sampai ia membutuhkan waktu untuk melupakan kejadian itu andai tiba-tiba dirinya teringat kembali.

Sekarang dirinya perlahan namun pasti sudah bangkit dari masalah terdahulu dan harus cepat beradaptasi dengan masalah baru lagi. Ini semua karena tekanan dan pihak Karesso yang tak mau membiarkan Arya mengulangi kesalahan yang sama. Mereka tak akan membiarkan pemuda itu bersenang-senang seenak hatinya ketika sudah dikontrak oleh pihak Karesso. Arya sendiri juga tak merasa terbebani dengan kekangan tersebut dan justru dirinya sedikit lebih membaik setelah fokusnya tidak terbagi menjadi dua tim lagi.

Setelah para pemain Karesso merayakan kemenangan pertama mereka di hadapan para pendukungnya, barulah mereka meninggalkan lapangan dan menuju ruang pemain. Selama itu Arya mendapat banyak pujian dan tak hanya sekumpulan gadis saja, namun para supporter elit juga ikut serta memberi sambutan yang begitu baik.

Tak ingin memperlihatn sisi buruknya ketika baru bermain, Arya melambaikan kedua tangannya sambil tersenyum, dukungan mereka membuat hati Arya tak bisa berhenti berdegup kencang. Pengalaman pertamanya bermain bersama Karesso berjalan baik dan itu sudah lebih dari cukup untuk memperbaiki keinginannya yang sudah lama tertunda.

Begitu meninggalkan lapangan Arya baru sadar jika dirinya berjalan paling belakang di antara rekan lainnya. Namun suatu hal membuatnya bingung ketika dirinya baru menyadari jika bukan hanya berjalan paling belakang, melainkan tak ada satu pun temannya di sekitarnya dan tak tahu kemana mereka selama dirinya meladeni para pendukungnya satu per satu. Mendadak firasat Arya mengatakan ada suatu aneh di sini, bisa jadi Coach Greg menyuruh para pemain untuk bergegas meninggalkan lapangan dan mengevaluasi permainan mereka di sana.

Entah mengapa Arya merasa firasatnya itu benar dan ia tak punya waktu lebih lama lagi atau Coach Greg memberinya hukuman atau sesuatu yang tak disukainya. Setelah melewati berbagi lorong, tibalah Arya di depan ruang pemain dan Arya sedikit kagum dengan penjaga pintu itu, hingga sekarang masih tak meninggalkan tempatnya. Kebetulan penjaga itu bisa sedikit melegakannya setelah bertanya.

"Maaf, pak, pemain lainnya sudah ada di dalam belum, ya?"

"Mereka sudah tiba daritadi. Mungkin kamu yang terakhir dan di dalam terdengar sedikit heboh. Walau ruang pemain dibikin kedap suara semaksimal mungkin, aku masih bisa mendengar suara teriakan."

Sedikit heboh? Arya tiba-tiba menjadi berpikir dua kali, tak tahu apa yang membuat heboh di dalam sana. Namun heboh di pikirannya benar-benar menjerumus sesuatu yang berbau negatif. Bahkan ia membayangkan jika kehebohan itu diakibatkan permainan rekan-rekannya, sangat tak sesuai dengan keinginan Coach Greg dan kini kehebohan itu pasti amarah sang pelatih,

Arya memberanikan diri membuka pintu sambil meneguk saliva-nya, jantungnya semakin berdebar kencang ketika pintu sudah terbuka sepenuhnya. Namun apa yang menyambutnya justru bukan keluhan sang pelatih, melainkan air-air dalam sebuah botol yang disiram tepat di atas kepala dan wajahnya.