Amelia tak berkata apapun selain tersenyum sambil meluruskan kedua tangannya ke bawah sembari diusap-usap. Vivi yang sudah mengetahui hal ini sama sekali tak terkejut sama sekali, bahkan ia juga ikut tertawa. Hanya saja Vivi masih berada di titik aman dan pura-pura terkejut seakan mereka semua belum mengetahui apapun. Kedua teman lainnya hanya menggerutu tak jelas sambil menaik turunkan tangan mereka.
"Wahh, gue enggak habis pikir sih. Bisa-bisanya lo pacara sama orang kayak gitu. Lo itu ibarat primadona di angkatan kita, Mel. Masa lo mau pacaran sama orang yang sama sekali lo enggak kenal."
"Enggak kenal dari mana? Gue sama Arya sudah kenal sejak kecil… yah, walaupun kami sempat berpisah lama sih."
"10 tahun, Mel. 10 tahun! Itu sangat lama dan dengan waktu sepanjang itu sifat dan perilaku orang bisa berubah drastis. Sedangkan dari pengamatan gue, lo sama sekali enggak ada pendekatan langsung sama Arya, tiba-tiba sudah pacaran saja."
"Sudah, bukan urusan lo berdua juga. Yang penting gue yang sekarang percaya kalau Arya bukan cowok yang seperti kalian bayangkan. Daripada lo berdua, gue lebih jauh mengenal Arya."
Amanda dan Dyah hanya terdiam sembari saling menatap satu sama lain. Mereka berdua sama-sama menggeleng pelan sembari menghela napas panjang. Mereka berdua bukan tak ingin Amel punya pacar, justru itu mereka senang agar Amel tak selalu menghabiskan masa mudanya dengan membaca buku tanpa mengenal dunia luar.
Namun di lain sisi mereka juga tak menyangka jika laki-laki yang menjadi pasangan dari gadis primadona di fakultasnya harus berpacaran dengan orang yang hampir mencium mereka ketika masih menjadi mahasiswa baru. Bahkan mengenal kampus pun belum ada satu minggu.
"Yahh, terserah lo saja kalau memang percaya dengan orang itu. Tapi gue sendiri sama sekali enggak expect lo bisa langgeng sama orang itu mengingat perbuatannya sangat mesum."
Amelia terkekeh keras sambil menepuk pundak kedua temannya. Perasaan mereka pada Arya benar-benar sudah tak bisa dimaafkan. Amelia sendiri tak yakin apakah mereka bisa menerima Arya atau tidak ke depannya, melihat rasa benci mereka terhadap Arya sama sekali tak berkurang.
"Ya sudah kalau gitu gue sama Amand lanjut pergi dulu."
"Pergi ke mana?" Vivi penasaran.
"Biasalah. Sama cowok gue."
Mendadak raut wajah Amelia kembali merengut begitu melihat temannya sangat mudah dengan pacarnya. Sedangkan ketika dirinya sudah memiliki pacar dan berharap akan bermesra-mesraan seperti itu, pada kenyataannya ada sebuah dinding besar menghalangi hasrat tersebut dan hanya mengusahakan yang terbaik ke depannya tanpa tatap muka secara langsung.
"Mel, kenapa tiba-tiba wajah lo suram lagi? Masih belum puas teleponan sama Arya?" Vivi tiba-tiba bersuara, mengejutkan Amelia yang sedari tadi memandang punggung kedua temannya yang semakin menjauh.
"Ah, eh, enggak kok. Gue enggak sesedih yang lo pikir."
"Benarkah? Belakangan ini lo terlihat sedikit tak bersemangat. Apa pacaran dengan Arya seberat itu? Sebagai teman dekat lo, gue enggak pernah liat lo bangga karena Arya."
"Hahaha, jangan kacau dah. Mungkin itu cuma perasaan lo saja. Gue bangga bisa pacaran sama Arya karena selama kami berpisah, gue sering kepikiran Arya yang berada di Indonesia."
"Benarkah? Yah, memang semalam gue melihat lo agak gimana gitu, sih. Gue jadi benar-benar ragu sebenarnya lo dengan Arya baik-baik saja atau tidak."
"Lo kayak enggak kenal gue saja. Kalau memang ada yang bikin gue enggak nyaman, sudah pasti gue jauhi. Tapi kalau Arya itu sebaliknya dan itu alasan kenapa gue sesenang itu."
Vivi menghela napas pelan, tak mengerti perasaan Amelia yang sesungguhnya. "Ya, ya. Terserah lo saja. Mending kita sekarang ke ruang himpunnan, Haikal bilang hasil proposal keluar sekarang, gue jadi penasaran apakah kita diperbolehkan mengikuti lomba itu atau enggak."
"Gue juga penasaran." Amelia terkekeh pelan, di balik tawanya ia sama sekali tak ingat maupun tahu mengenai pengumuman proposal itu. Namun karena proposal tersebut sangat penting sebagai tahap awal dalam mengikuti perlombaa yang akan mereka ikuti, Amelia sedikit bersemangat ketika melangkah menuju ruang organisasi.
***
Kedua mata Arya mengerjap cukup cepat begitu dirasa sudah tenang. Tak ada lagi suara kendaraan yang lalu lalang serta pancaran lampu kendaraan tak lagi mengganggu waktu tidurnya. Sangat nyenyak ketika menyandarkan tubuh ke kursi dan kepalanya yang bersandar pada kaca bus, lalu dilengkapi dengan jaket serta selimut tebal, mentupi keseluruh tubuhnya tanpa terlihat sedikit pun.
Nahasnya waktu tersebut tak berlangsung lama. Kenyamanan yang baru ia temukan selama perjalanan harus sirna ketika beberapa menit kemudian bus sudah memarkirkan begitu rapi di tempatnya. Mendengar suara hiruk pikuk semakin membuat tidurnya semakin terganggu, mau tak mau ia harus membuka matanya dengan cepat sekaligus memastikan apakah mereka benar-benar sudah sampai atau belum.
Ketika semuanya sedang sibuk mengemasi barang, Arya masih berusaha membenarkan jarak pandangnya agar tak terlihat kabur. Menuruni anak tangga bus setinggi itu sangat bahaya jika nyawa belum terkumpul sepenuhnya. Satu per satu mereka meninggalkan bus sedangkan Arya baru saja melakukan persiapan.
Selama itu menyadari suatu hal jika masih ada satu orang yang masih nyaman dengan suasana di dalam bus tersebut. Saking nyamannya bahkan tak terlihat tanda-tanda kalau temannya itu akan bangun. Namun karena ada alasan khusus mengapa Arya tak membangunkan dan lebih memilih meninggalkan temannya itu. Toh, lagi pula anggap saja ini sebagai balasan sore tadi.
"Semua sudah turun?" Entah dari mana tiba-tiba Coach Greg muncul tepat di depannya begitu Arya meninggalkan bus, membuatnya sedikit terperanjat.
"Masih ada satu orang, Coach. Sudah saya bangunkan tapi tetap enggak mau bangun," ujar Arya sedikit berbohong.
"Astaga, pasti anak itu lagi ya!" Wajah Coach Greg memang sudah terlihat menyeramkan meskipun sedang tak marah, namun ketika marah Arya lebih memilih melanjutkan langkahnya, tak mau membayangkan semenakutkan apa wajah sang pelatih.
Dari luar bus, Arya bisa mendengar suara tamparan begitu keras. Ia tak tahu apakah itu tamparan di wajah atau di kaki sebab sekilas suaranya terdengar sama. Suara amukan Coach Greg memang tak sekeras seperti ibunya, namun tekanannya sebagai pelatih benar-benar tak boleh dianggap remeh.
"Oh, Arya. Kau kelihatannya baru bangun, ya. Wajahmu masih sangat berantakan," tanya salah satu seniornya.
"Hahaha, begitulah. Ngomong-omong kenapa tak membangunkan orang itu ditinggalkan begitu saja? Lihat akibatnya Coach Greg sampai marah besar seperti amukan para monster-monster pada film."
"Oh, maksudmu Denny? Hahaha biarkan saja, orang itu memang tukang tidur. Dimana pun asal ada tempat untuk tidur, pasti orang itu tak ragu mengambil keputusan untuk tidur dalam jangka waktu yang sangat panjang. Sudah 8 semenjak kita meninggalkan stadion."