Mereka menaruh sebagian barang bawaan ke dalam loker pemain, yang mana setiap ruang pemain ada satu penjaga untuk memastikan ruangan tersebut benar-benar aman meskipun pintu sudah dikunci. Melihat penjaga tersebut terkadang Arya berpikir cukup jauh jika pekerjaan semacam itu salah satu pekerjaan paling santai, selalu menghabiskan 4-5 gelas kopi setiap harinya untuk mengisi waktu luang hingga jam pulang tiba.
Namun ia juga tak bodoh sampai tak memikirkan resiko pekerjaan itu juga begitu besar ketika ada suatu insiden. Memang menjadi pemain basket adalah pekerjaan yang benar-benar ideal bagiku, ucap Arya dalam hati sembari mengangguk pelan.
Begitu mereka memasuki lapangan, terlihat dari tengah sana jika kursi penonton belum begitu ramai mengingat pertandingan dimulai pukul 8 malam, sedangkan sekarang masih pukul setengah 7 malam. Beberapa penonton juga melakukan beberapa tepukan meriah, menyambut masuknya mereka. Di lain sisi biasanya para pemain basket yang sudah turun ke lapangan, menghabiskan waktu selama itu untuk melakukan pemanasan dan memantapkan strategi yang sudah dibentuk sebelumnya.
Soal strategi Karesso, tentu para pemain belum berani mengambil keputusan sendiri. Semua masih dibawah kendali Coach Greg. Selama berlatih bersama Karesso, Arya hanya sedikit merasakan perbedaan dengan latihannya di kampus. Harapannya terlalu tinggi ketika kedatangannya sebagai pemain baru sudah meminta perubahan yang begitu besar ketika ia menginjakkan kakinya ke jenjang yang lebih profesional.
Para pemain memang sudah diberitahu strategi apa yang harus mereka lakukan ketika berhadapan dengan Jakarta Thunder nantinya, mereka hanya menjalankan setiap peran yang diberikan oleh Coach Greg. Permasalahan terbesar di sini hanya satu, Coach Greg masih merahasikan siapa yang akan bermain nantinya. Setidaknya sampai mereka selesai melakukan pemanasan.
Di tengah-tengah melakukan pemanasan, tibalah para pemain Jakarta Thunder memasuki lapangan. Tak seperti sebelumnya, tepuk tengan para penonton 10 kali lipat jauh lebih meriah ketika tim musuh mulai menampakkan batang hidungnya. Tak sedikit pula para pendukung Jakarta Thunder meremehkan pemain Karesso begitu tim kesayangannya mulai turun, sedangkan pertandingan belum dimulai sama sekali.
"Kalau dipikir-pikir lagi, tim basket Jakarta memang mengerika, ya. Entah itu pemainnya ataupun pendukungnya, semua sisinya seakan tak punya celah untuk diterjal," gumam Arya sembari memegang bola basket dengan kedua tangannya setinggi perut.
Bastian yang sedang menembakkan bola ke arah ring, seketika tak fokus mendengar ucapan Arya, dan tembakannya meleset dari target. "Yah, semua tim tahu kalau Jakarta sudah sangat mendominasi di Liga Basket Indonesia. Ketika ada pemain baru yang ingin terjun ke liga basket ini, sudah pasti mereka terlebih dulu menerima tawaran dari tim Jakarta. Bahkan tak sedikit pula mereka yang percaya diri mendaftarkan diri sebagai pemain baru mereka walau pada akhirnya ditolak mentah-mentah.
"Sejauh ini tim basket profesional manapun lebih suka mendatangi pemain yang mereka inginkan daripada menerima orang baru yang entah berantah asalnya, tiba-tiba memohon agar dirinya diterima sebagai salah satu pemain tim. Contoh kecilnya kau, Arya. Mr. Steve sangat menginginkanmu. Maka dari itu Mr. Steve rela meluangkan waktunya ke kampusmu dan meyakinkanmu agar kau mau menerima tawarannya.
"Hahaha, aku jadi ingat dulu sekali ada orang yang memohon direkut oleh salah satu tim Jakarta," ucap Bastian sembari tertawa keras.
"Eh? Jadi orang seperti itu ada? Siapa orang itu?" Arya seketika bersemangat dan penasaran, kedua matanya berbinar-binar
"Sudahlah, tak perlu diingat lagi atau orang itu akan marah besar. Lihat, Coach Greg sudah memanggil kita, kita harus cepat-cepat ke sana atau ia akan melempar kita dengan bola basket."
Sulut api ditubuh Arya seketika padam seolah tersiram air, wajahnya tak cemberut namun kekecewaannya terhadap Bastian yang setengah-setengah ketika cerita benar-benar tak bisa dimaafkan.
Coach Greg duduk di tengah sedangkan para pemain mengelilinginya untuk menjabarkan kembali strategi yang telah dibentuk. Setidaknya mereka mendengarkan arahan dari sang pelatih sekitar 4-5 menit. Selama itu para pemain Karesso hanya mengangguk dan mengiyakan saja tanpa ada diskusi sedikit pun.
Setelah selesai memantapkan strategi, kini waktunya Coach Greg menentukan siapa saja yang akan menjadi pemain inti melawan Jakarta Thunder. Para pemain masih mengelilingi sang pelatih sedangkan Coach Greg membacakan kelima pemainnya saat itu juga. Arya memejamkan kedua matanya, berharap tak langsung dimainkan. Begitu mendengar cerita dari para senior dan sang pelatih, Arya belum berani terjun langsung tanpa memikirkan apa yang ia harus lakukan sebelumnya.
Arya Chayton memang dikenal dengan pemain muda berbakat dengan tembakan tiga poin serta penguasaan bola yang hampir mendekati sempurna. Tapi semua itu bisa dipatahkan ketika musuh memiliki postur tubuh yang jauh lebih tinggi darinya dan menggunakan strategi double team* agar Arya tak bisa bergerak leluasa.
Setidaknya satu pertandingan sudah cukup baginya untuk dirinya percaya diri bermain sebagai pemain cadangan. Lagi pula Arya sendiri selalu merasa kikuk sedangkan ketika ditarik ke belakang, pengalamannya mengikuti turnamen sudah sangat banyak. Ketika Arya terlalu fokus dengan keinginannya menjadi pemain cadangan terlebih dulu, para pemain mulai melepas pakaian mereka dan mengganti dengan seragam Karesso.
Arya terbelalak begitu namanya dipanggil Indra.
"Yak, kau sedang apa? Bersiaplah karena kau akan bertanding sekarang."
"Apa? Aku tak salah dengar, kan?" Arya meminta pengulangan atas ucapan seniornya.
"Kau tidak tuli, kan? Aku bilang kau akan bermain sekarang. Coach Greg memilihmu bermain karena pertahanan musuh tak begitu ketat ketika bola masih jauh dari ring mereka. Kemampuanmu dalam tembakan tiga poin sudah sangat baik jika disejajarkan dengan pemain lainnya."
"Tunggu sebentar, aku belum siap jika bermain langsung di turnamen pertamaku. Aku akan komplen pada Coach Greg agar tak menurunkanku semudah itu," ujar Arya berjalan menuju sang pelatih yang sudah berdiri di pinggir lapangan.
Tak ingin melihat Arya bertingkah sembrono, cepat-cepat Indra menarik tangannya lalu berkata. "Jangan lakukan hal bodoh atau kau akan membuat Coach Greg marah. Percaya saja dengan dirimu sendiri dengan begitu kau bisa bermain lebih tenang. Aku tak tahu apa yang membuatmu lebih suka menunda bersinar lebih awal, tapi akan jauh menakutkan kalau kau melawan perintah Coach Greg. Bisa-bisa kau tak akan dimainkan selama turnamen musim ini."
Tak dimainkan malam ini masih bisa dimaklumi, namun selama satu musim? Satu musim setara dengan satu tahun dan Arya tak mau hanya berlatih terus menerus tanpa diturunkan satu kali pun. "Baiklah, baiklah, kalau begitu aku akan main. Sebagai shooting guard, kan?" Arya bertanya dengan nada berat.
"Apa? shooting guard? Jangan bercanda. Coach memilihmu menjadi point guard kali ini. Kau harus bisa mengatur tempo permainan tim ini. Kalau begitu mohon bantuannya, anak baru." Indra langsung pergi meninggalkan Arya selagi mulut pemuda itu tak henti-hentinya menganga.