Di lain sisi Arya masih sibuk mengelap keringatnya sambil mengibaskan seragamnya berulang kali, seolah menunjukkan seragam tersebut benar-benar membuatnya tak nyaman. Denny kini menggantikan posisi Arya sebagai point guard sehingga dirinya dalam waktu dekat ini tak mendengar ocehannya. Bastian yang belum dimainkan sejak tadi, tubuhnya masih tercium wangi di hidung Arya berkat parfum yang ia kenakan sebelum mereka memasuki stadion.
Walau parfum tersebut digunakan oleh seniornya, entah mengapa Arya benar-benar merasa tenang sekaligus terbang diwaktu yang sama.
"Parfum mahal memang beda, ya," ucap Arya sambil melihat teman-temannya berlari ke sana ke mari di lapangan.
Bastian merasa jika ungkapan itu pasti ditunjukkan padanya, menolehlah pria itu sambil mengerutkan keningnya dan bertanya-tanya. "Memangnya kau juga mencium parfumku, ya?" Spontan Bastian langsung seragamnya sendiri.
"Kak Bastian pakai parfum atau mandi parfum? Kenapa tiba-tiba aku baru sadar kalau baunya lama-lama menusuk hidungku?" Arya bertanya sambil menutup kedua lubang hidungnya, pandangannya pada permainan rekan-rekannya mulai teralihkan.
"Haa? Mana pujianmu barusan, sialan! Aku beli parfum mahal ini hampir satu juta dan kau bilang parfumku baunya tak enak? Mau aku lempar parfum dengan harga satu juta?!"
Melihat rekan lainnya sedang fokus pada pertandingan, Arya merasa bersalah telah memulai candaan receh tersebut. Namun bagaimana pun juga Arya sama sekali tak berbohong dan kembali memandang mereka sembari menutup hidungnya.
Beberapa detik kemudian, Arya merasa ada sosok yang datang dari sisi sebaliknya. Penasaran, cepat-cepat kepalanya menoleh ke kiri dengan mulutnya menganga cukup besar. Sang pelaih Karesso, Coach Greg entah dari mana tiba-tiba sudah di depan Arya. Sangat keterlaluan jika Arya menunjukkan spontanitasnya seperti gerakan kejut yang berlebihan, hingga ia meredam semua itu dibalik matanya yang melotot besar dalam hitungan detik.
"Coach Greg. Ada perlu apa dengan saya?"
"Jangan terlalu banyak bicara, Arya Chayton. Aku menggantikanmu dengan Denny bukan berarti kau tak dimainkan lagi. Jika memang diperlukan, kau akan aku turunkan lagi untuk mengejar ketertinggalan. Gunakan waktu untuk istirahat dan lihatlah pelajarilah para pemain profesional ketika bermain di lapangan." Coach Greg langsung pergi tanpa menunggu Arya menjawab.
"Baik, Coach!" Yah, sudah wajar ketika timnya sedang ketertinggalan namun dimanfaatkan Arya untuk bercanda. Waktunya benar-benar tidak tepat.
Arya sendiri masih bingung posisinya kali ini sebagai apa. Meski awal pertandingan Coach Greg memutuskan menjadikan pemuda itu sebagai point guard, bukan berarti dirinya terus menerus berada di posisi tersebut. Sudah mengikuti turnamen berulang kali sejak SMP hingga sekarang, Arya selalu diposisikan pelatihnya sebagai shooting guard maupun point guard.
Untuk kalangan mahasiswa hingga terjun menjadi pemain profesional, tubuh Arya tergolong cukup kecil walau ia tak terlalu pendek. Pelatihnya selalu melihat kemampuan Arya sebagai playmaker bayangan ketika timnya sedang ketertinggalan poin begitu jauh. Penguasaan bola Arya memang sangat bagus, namun bukan berarti ia punya teknik dribbling tingkat dewa, di mana bisa mematikan gerakan musuh hingga terjatuh.
Di tim basket universitasnya, Arya memiliki Doni sebagai small forward, yang mana memiliki kemampuan sangat variasi hingga tugas setiap tim benar-benar terbagi rata. Memang terdengar keterlaluan jka Arya menganggap remeh rekannya sendiri sedangkan di lapangan sana, small forward Karesso juga sedang berusaha yang terbaik.
***
Pertandingan pada babak pertama hingga kedua berhasil membuat para pemain Karesso tersenyum ketika mereka berjalan menuju ruang pemain. Meski ketertinggalan di babak pertama, berkat strategi Coach Greg memainkan Denny membuahkan hasil yang manis. Dibanding Arya dan Indra, Denny memiliki permainan yang sangat bervariasi hingga sangat cocok baginya mengisi posisi small forward.
Jabatannya di Karesso bukan sebagai kapten. Namun kapten Karesso, Loga, sangat setuju jika Denny terpilih sebagai kapten. Hanya saja kembali lagi jika keputusan Coach Greg itu cukup mutlak sehingga apapun yang disarankan Loga sekalipun tak pernah diperhitungkan secara baik oleh Coach Greg.
Dibandingkan mereka semua, Coach Greg seorang yang paling mengetahui pantas atau tidaknya pemainnya sebagai kapten. Denny memang mudah bergaul dan cukup terkenal dikalangan teman-temannya, namun itu semua berlaku ketika mereka sedang tak bermain basket. Atau bisa dikatakan sifatnya tersebut berbanding terbalik ketika sudah bermain basket, di mana Denny termasuk pemain yang suka mementingkan rekornya sendiri dibanding fokus untum memenangkan pertandingan.
Terkadang pemain semacam itu pasti ada dan sangat dibutuhkan setiap tim, tinggal bagaimana mereka menyatukan pemain egois dengan rekan-rekan lainnya agar tujuan mereka menjuarai Liga Basket Indonesia juga tercapai.
***
Satu per satu mereka memasuki ruang pemain setelah Coach Greg membuka pintu yang dikunci olehnya. Dengan perasaan senang mereka saling bicara satu sama lain, membicarakan kesalahan-kesalahan fatal yang mereka buat. Begitu memasuki ruang pemain, Coach Greg langsung berdiri di samping papan tulis beroda. Dari raut wajahnya terlihat jelas jika masih ada ketidakpuasan terhadap permainan para pemainnya.
Tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, mereka menutup mulut begitu memasuki ruang pemain dan duduk di atas kursi yang begitu empuk dengan meja sepanjang 3 meter di tengah-tengah mereka.
"Sambil kalian istirahat 10 menit, dengarkan apa yang saya katakan."
Para pemain hanya mengangguk dan memfokuskan pandangan mereka pada Coach Greg beserta papan tulis beroda di sampingnya. Arya masih fokus pada menit pertama namun begitu ia sudah paham apa saja kesalahan yang dilakukan setiap pemain, fokusnya terbagi menjadi dua begitu merasakan sesuatu yang berbeda berada di ruang pemain sebelumnya.
Fasilitas stadion Jakarta Thunder memang tak bisa disamakan dengan stadion yang ia kunjungi sebelumnya. Walau sebelumnya Arya sudah pernah memasuki ruang pemain ketika dirinya mengikuti turnamen nasional di stadion paling besar di Indonesia, hanya saja dari segi interior sangat jauh.
Ruang pemain sekalipun tetap menggunakan mesin pendingin ruangan yang jumlahnya lebih dari 3, sedangkan luas ruang tersebut tak begitu besar. Seketika tubuh di keringat para pemain langsung diserap oleh kulit mereka dan meninggalkan sisa-sisa keringat di seragam mereka. Mereka para senior sudah berualng kali memasuki ruang pemain setiap tim yang berbeda sehingga tak ada lagi rasa takjub atau nyaman ketika mereka tiba di ruang pemain.
Saking sunyinya suasana ruang pemain, hanya terdengar suara Coach Greg dan derita spidol yang menari di atas papan tulis itu. Saat itu juga Arya sedikit merasa lega ketika keputusannya terjun sebagai pemain basket di usia muda. Penyesalan yang tak bisa ia tinggal bersama teman-temannya, kini hanya fokus bagaimana dirinya bisa menunjukkan jika pemain muda seusianya bisa tampil setara dengan mereka yang sudah menjadi pemain profesional hingga bertahun-tahun.
Arya seketika batuk begitu keras, hingga berdahak ketika mengingat ada sesuatu yang ia lupakan kemarin malam.