"Kenapa harus menendang tulang keringku?!" Arya bertanya dengan nada tinggi, namun Amelia tak melihat amarah apapun dari lelakinya.
Amelia tak menjawab, justru membuang muka dengan anggun sambil berdeham singkat. Kedua tangannya dilipat di depan dadanya, tak peduli apa yang terjadi pada Arya walau sama sekali tak merasa bersalah telah menendang bagian titik terlemah kebanyakan orang. Ekspresi semacam itu sangat jarang ditunjukkan oleh Amelia, begitu pula dengan Arya, bahkan selama mereka saling kenal, baru pertama kali ia melihat wajahnya seperti itu.
Terkesan menyembunyikan rasa malu namun semua itu nampak jelas ketika wajahnya memerah dan sengaja raut wajah dibikin sedikit marah, walau sebenarnya itu sama sekali tak terjadi di hatinya. Jauh dari kata marah, Amelia saat ini senang mendapat kata-kata 'romantis' dari Arya. Tak memungkiri juga Amelia tetaplah seorang gadis remaja yang masih sedikit pengetahuannya tentang percintaan. Bagaimana tidak, ia sama sekali tak mempelajari hal macam ini sebelumnya, bahkan memliki hubungan spesial dengan laki-laki pun juga tidak.
Di sini Arya merasa senang karena dirinya lah laki-laki pertama yang berhasil mendapatkan cinta dari sosok cantik seperti Amelia. Bahkan ia merasa orang paling beruntung di dunia dengan segala kekurangannya berhasil dicintai balik oleh gadis yang menjadi primadona di angkatannya. Ia bisa melihat berbagai ekspresi dari gadis itu belakangan ini, ketika sebelumnya setiap bertemu Arya selalu disuguhkan dengan wajahnya yang datar dan senyuman kecil seakan itu bukanlah senyuman.
Masih mengusap kedua tulang keringnya, kedua mata Arya tak terlepas dari wajah Amelia yang terkena paparan sinar matahari dari arah barat. Belahan sinar menerpa wajahnya, membuatnya seakan tersorot cahaya Ilahi, sedangkan dirinya justru merasa silau dengan semua cahaya yang menusuk kedua matanya.
"Baiklah, aku akan memberitahumu, aku makan semua ini karena ada dua hal. Pertama, aku menuntut diriku sendiri untuk makan yang sehat dan mengurangi segala sesuatu yang menghambat atau merusak pertumbuhan tubuhku. Kau tahu aku sekarang tak terlalu gemuk, kan? Bahkan dibanding kau yang memiliki berat tubuh yang ideal, aku yakin berat badan—"
Arya untuk kedua kalinya mendapat serangan dari Amelia. Kali ini tangan kanannya melayang mengarah ke pipi sebelah kiri Arya, menghasilkan suara pekikan yang begitu keras namun singkat. "Kenapa lagi?! Apa aku salah bicara?" Arya sama sekali tak mengerti di mana kesalahannya, sedangkan dirinya sudah pelan dan hati-hati dalam bertutur, namun nampaknya apa yang diucapkannya tak memenuhi kriteria dalam bertutur terhadap lawan jenis.
"Kau ini memang sangat payah ketika bicara dengan lawan jenis, ya? Jangan pernah membicarakan berat badan dengan perempuan manapun, atau mereka akan menguburmu hidup-hidup, itu juga berlaku meski pacaran sekalipun," tutur Amelia menjelaskan alasannya.
"Ah, ya ampun. Benar-benar merepotkan. Begini saja, mending aku diam saja daripada kena imbasnya melulu. Kau yang bertanya, aku akan menjawab. Apapun pertanyaanmu, akan aku balas sebisa mungkin." Arya mendecakkan lidahnya, menyudahi usahanya dalam mencari topik pembicaraan. Yah, lagi pula dirinya sudah mau berjuang untuk berusaha lebih dekat dengan pasanagannya, walau beberapa kata sensitif berulang kali diucapkan dan mendapat pukulan secara tiba-tiba.
Di lain sisi Amelia masih bisa terkekeh melihat Arya sedang merajuk, lalu kembali melahap salad buahnya dengan cepat. "Hehehe, jangan marah, ya. Aku hanya bercanda. Maksudku, semua tadi yang aku lakukan padamu itu karena sekaligus memberitahumu kalau tak semua orang selepas dirimu, yang selalu terbuka dan terus terang. Aku tak tahu lingkaran pertemanan seperti apa yang kau miliki selama kita terpisah selama sepuluh tahun. Tapi setelah kembali lagi, aku melihat banyak sekali perubahan terjadi padamu, dan itu membuatku cukup terkejut sampai tak habis pikir."
Arya melambatkan gerakan tangannya ketika memasuki buah satu per satu ke dalam mulutnya. Ia sangat jelas mendengar apa yang disampaikan pacarnya, namun tak memungkiri apakah ia tetap melakukan apa yang ia mau atau bersikap hati-hati ketika bertemu dengan banyak orang tak dikenal ke depannya. Namun selagi Amelia yang mengatakannya… ia tak peduli walau harus mendapatkan pukulan ataupun tendangan lain ke depannya. Justru Arya merasakan hal berbeda ketika dirinya mendapat candaan berupa pukulan.
Apakah Arya secara tak langsung termasuk golongan masokis? Tidak ada yang tahu.
Detik berikutnya, bukannya meminta maaf atau merasa bersalah, Arya melanjutkan. "Kedua, sebenarnya ini semua juga tuntutan dari pelatihku. Baik itu pelatih di kampus maupun di tim profesional. Keduanya sama-sama sangat keras pada pemainnya agar selalu menjaga pola makannya dengan baik. Sebagai atlet memang kelihatannya dituntut selalu makan makanan yang tak sedap, karena sesuatu yang enak biasanya tak menyehatkan."
"Astaga, sepertinya kehidupanmu benar-benar berubah semenjak kau memutuskan menjadi atlet. Tapi apa kau sama sekali tak tersiksa hanya makan itu-itu saja?"
"Dibanding tersiksa, mungkin lebih tepatnya aku bosan, sampai suatu hari aku pernah tak makan seharian walau merasa lapar. Tapi kalau memang sudah tak bisa dibendung, biasanya aku nekat untuk memakan makanan dengan rasa manis dan mengandung minyak yang banyak."
"Hmm… cukup aneh juga. Aku jadi kasihan pada keluargamu, menyaksikanmu makan malam hanya itu-itu saja."
"Kata siapa? Justru di rumah aku bisa makan sepuasnya karena aku tahu ibuku tak mungkin masak sesuatu yang bisa menghambat pertumbuhan tubuhku. Kalau kau sesekali main ke rumahku, mungkin kau tak akan bisa bertahan dengan masakan ibuku."
"Oh, jadi ceritanya aku tak boleh main ke rumahmu… meski kita sudah berpacaran?" tanya Amelia sedikit kecewa.
Kedua mata Arya seketika terbelalak, lalu… "Ah, bukan itu maksudku. Anggap saja tadi sebagai contoh saja, oke? Kalau teman-temanku datang ke rumahku, pasti ibuku memasak sesuatu yang berbeda kok." Lalu Arya terdiam karena kurang lengkap dalam menjelaskan situasi di rumahnya ketika makan malam. Terakhir mereka makan bersama di rumah, ketika Arya diundang oleh Mrs. Gerda ketika ayah dan ibunya pergi ke luar kota dan Arya harus tinggal seorang diri.
Arya menyeka keningnya, perlahan meneguk yogurtnya dengan cepat hingga habis tak tersisa. Memutuskan makan buah di sore ini merupakan keputusan tepat menurut Arya. Selain ia ingin pertumbuhan tubuhnya tak terhambat, ia juga harus menjalani latihan nanti malam bersama dengan Tim Karesso setelah dirinya absen lebih dari 5 minggu.
Ia merasa senang sekaligus gugup diwaktu yang sama, ketika semua rekan timnya berlatih keras untuk memenangkan turnamen, dirinya harus rebahan selama satu bulan karena cedera di kakinya. Memang tak ada rasa bersalah, namun detak jantungnya sangat cepat begitu mengingat rekan timnya. Bahkan selama itu pun Arya juga tak pernah mendapat atau mengirim pesan kepada temannya, termasuk Denny, yang sudah ia anggap sebagai kakaknya ketika berada di lingkungan Karesso.