Chapter 25 - Chance

Arya sedikit memiringkan kepalanya setelah mendengar apa yang dikatakan Coach Greg.

"Maksudnya Coach? Bukankah Kak Indra dan Kak Denny memiliki bakat dan permainan yang bagus. Kenapa harus posisi mereka sebagai starter harus tergeser?" tanya Arya kebingungan sambil menggaruk pelipisnya.

(Starter: pemain utama/pemain andalan dalam setiap tim)

Arya kurang tahu apakah sistem pergantian pemain bisa dilakukan oleh pada awal pertandingan. Selama dirinya mengikuti pertandingan dan berbagai turnamen, pemain inti setidaknya bermain di babak pertama hingga beberapa menit, lalu setelahnya digantikan oleh pemain lain untuk mengistirahatkan pemain utama.

Memang berulang kali ia menonton pertandingan basket di televisi maupun livestreaming di ponselnya, hanya saja setiap permainan tim yang ia tonton selalu memperlihatkan para pemain andalan setiap tim dan pada kesempatan itulah Arya bisa tahu beberapa pemain yang memiliki potensi dan benar-benar berbakat dalam basket.

"Apa kau sama sekali tak tahu tentang pemain starter yang bisa diganti setiap pertandingan?" Coach Greg balik bertanya.

Mulut Arya tertutup rapat, hanya kepalanya saa yang menggeleng pelan sambil menunggu penjelasan dari sang pelatih.

"Sebenarnya hal semacam itu sudah menjadi hal biasa di turnamen tim-tim besar. Namun beberapa tim saja yang berani melakukan metode semacam itu mengingat biasanya pada awal babak pertama dan ketiga, pada umumnya setiap tim pasti mengeluarkan komposisi permainan terbaik mereka.

"Sebagai pelatih yang sudah cukup berpengalaman, aku sudah melakukan hal itu terlalu sering. Maka dari itu aku ingin menciba tempo permainan baru dan mengeluarkan potensi rekan-rekanmu. Mungkin kau hanya melihat hanya Indra dan Denny saja yang berbakat, padahal kau sendiri juga telah menyaksikan kalau rekan lainnya juga memiliki kemampuan yang tak jauh berbeda dengan mereka berdua.

"Sespesial apapun kau menganggap Indra dan Denny sebagai pemain berbakat, tak satupun dari mereka pernah menjadi kapten di tim ini."

Sebenarnya Arya sudah tahu kalau salah satu dari mereka memang bukan kapten, namun entah tekanan udara sedikit berbeda begitu Coach Greg yang menyatakan. Apakah Coach Greg tak mempercayai mereka atau memang mereka berdua yang tak pantas menjadi kapten? Arya memutuskan mendengat penjelasan lanjut dari pelatihnya.

"Oh, kelihatannya kau tak terkejut sama sekali. Apakah mereka berdua memberitahumu sejak awal?"

Arya mengangguk pelan, mulutnya masih tertutup rapat.

"Aku tak akan memberitahumu kenapa mereka berdua tak bisa menjadi kapten. Aku hanya ingin kau fokus pada latihanmu dan cobalah untuk melawan hukum alam, menjadi starter di antara jajaran pemain yang memiliki pengalaman jauh di atasmu ketika kau merasa masih berada di titik bawah."

Setelah mengatakan itu, Coach Greg berjalan meninggalkan Arya dan kembali meniup peluit, sangat memekik kedua telinganya. Disaat itulah Arya sadar jika ia belum meneguk air putih setetespun.

***

"Akhirnya setelah latihan selesai, kami bisa bicara denganmu."

"Aku setuju. Awalnya aku berpikir selama istirahat tadi Coach Greg hanya memakan waktu sebentar bicara dengan Arya, tapi tahu-tahunya sampai ia lanjut latihan pun sama sekali tak ada kesempatan."

"Mau bagaimana lagi. Aku sudah lama tak mengikuti latihan dengan lainnya setelah turnamenku kemarin, belum lagi aku juga cedera cukup parah. Mungkin Coach Greg khawatir kalau aku kenapa-kenapa."

Saat ini Arya, Denny, dan Indra berada di sebuah kafe yang terletak di depan stadion, tempat di mana mereka latihan. Awalnya Indra dan Denny berdebat sebelum mereka turun dari kenderaan masing-masing. Denny lebih memilih tempat di dalam karena kafe tersebut sudah menggunakan mesin pendingin ruangan, sedangkan Indra lebih suka menongkrong di luar ruangan karena lebih terbiasa dan tak mau mengganggu pelanggan lain sebab mereka yang habis berkeringat.

Setelah memikirkan baik-baik, Arya sempat setuju dengan pendapat Indra, masih terdengar masuk akal dan ia sendiri tak suka mengganggu kedamaian orang lain. Walau perdebatan masih berlanjut, Indra memutuskan hanya mengajak Arya saja dan menyuruh Denny pulang. Namun semua keinginannya seketika dipendam begitu saja dan mengalah atau ia tak bisa bicara dengan Arya.

"Ah, soal turnamenmu… kelihatannya kau dan teman-temanmu sudah berjuang dengan baik."

"Omong kosong. Padahal aku sama sekali tak bermain selama turnamen kemarin dan waktu sebelum pertandingan 64 besar, tahu-tahu saja aku ceroboh dan jatuh di kamar mandi. Memang kemarin sebenarnya bukan kesempatan kami untuk mempertahankan kejuaraan 4 kali berturut-turut."

"Ah, Universitas Mandara sebelumnya memang hebat, bahkan bisa juara nasional 3 kali berturut-turut. Andai saja aku juga kuliah di sana, mungkin aku bisa setidaknya mengangkat piala walau hanya sekali."

"Berpikirlah ke depan. Daripada menangisi tak pernah mengangkat piala ketika masih menjadi mahasiswa, setidaknya bersama Coach Greg dan teman-teman lain harus membawa piala untuk Karesso mengingat tim ini tak punya tropi satupun."

"Siapa yang menangis, dasar bodoh. Hanya saja itu penyesalanku ketika masih menjadi mahasiswa. Jangan disamakan dengan sekarang."

Denny hanya mengangguk, tak mau berdebat dengan rekannya di tengah-tengah kedamaian ini. Beberapa kali Arya menyeruput minumannya sembari menyimak obrolan mereka. Setelah Denny dan Indra selesai membicarakan yang tak dimengerti Arya, barulah mereka bertanya-tanya tentang turnamen nasional tingkat perguruan tinggi itu.

Sebenarnya semua sudah berlalu terlalu lama sedangkan kedua orang itu sama sekali tak mengerti perasaan Arya. Ia tahu menolak menceritakan apa yang terjadi pada timnya tak berdampak baik untuk pertemanan mereka ke depannya. Pada akhirnya Arya memutuskan menceritakan apa yang tak terjadi, atau lebih tepatnya menjelaskan apa yang ia katakan pada teman-teman lainnya, dibumbui dengan sedikit kebohongan dan menyuruh mereka berdua untuk percaya pada media-media di luar sana.

Media sekalipun juga tak meliput kebenaran tentang Arya. Namun itu semua karena ucapan pemuda itu, selalu berusaha menyembunyikan fakta demi menjaga nama baik dan kesalahan timnya. Bahkan sampai detik ini Arya tak mau mengaku jika kesalahpahaman tersebut karena sang pelatih.

Berkali-kali menegur dirinya sendiri jika apa yang sudah terjadi karena Arya terlalu bersantai-santai dan meninggalkan kewajibannya. Entah sebuah karma atau bukan, pada saat liburan tak berlangsung lancar hingga kepulangan mereka ke rumah masing-masing. Tak ada kesempatan bagi teman-temannya Fajar untuk berjumpa dengan Arya, kecuali Salsa. Hanya gadis itu yang selalu berbuat baik pada Arya karena alasan khusus.

Ah, mengingat nama Salsa membuat Arya merasa kasihan dengan gadis itu mengingat dirinya sekarang menjadi milik Amelia.

"Hmm… tak cukup berbeda dengan apa yang dikatakan berita. Aku hanya menduga kalau media-media itu berusaha menyembunyikan sesuatu. Tapi setelah kau berkata sejujurnya, mungkin aku merasa bersalah telah memfitnah mereka."

"Aku mengerti. Kecurigaan pada media itu boleh. Jarang-jarang ada orang yang suka mendengarkan penjelasan lebih dari satu sumber. Aku sendiri pun terkadang langsung menyetujui pendapat satu pribadi namun belum tentu kebenarannya."