Indra dan Denny mengangguk serempak, mereka berdua sebenarnya tak seperti yang diduga Arya, selalu mencari berbagai sumber dalam menentukan sebuah kesimpulan yang sah. Hanya saja mereka berdua, khususnya Denny, sangat mengasihani juniornya itu, mengingat bakat dan kemampuan Arya dipandang sebelah mata oleh pelatihnya.
"Tapi sangat disayangkan juga, ya. Padahal aku dan Indra selalu menonton pertandingan kampus dan menunggu aksimu di lapangan. Sebagai seniormu di Karesso, aku menyatakan jika lebih baik tim basket kampusmu mencari pelatih baru, melihat masa kejayaannya sudah habis setelah membawa kampusmu menjadi juara 3 tahun berturut-turut." Denny bukan siapa-siapa namun seakan ialah orang paling mengerti tentang situasi tim basket Universitas Garuda saat itu.
Awalnya Arya hanya terkekeh sembari memejamkan kedua matanya, mencoba memutarbalikkan kalau dirinya masih membutuhkan Coach Alex dan mendesaknya agar tak asal bicara.
"Menurutku Kak Denny tak semestinya berkata seperti itu. Yang mengetahui masalah tim hanyalah pemain kami dan orang luar bebas mengemukakan pendapat mereka tentang performa dan strategi kami, dengan catatan tidak diskusi di hadapan salah satu dari kami pula.
"Kekalahan kami tak sepenuhnya dijatuhkan pada pelatih. Pemain sekalipun termasuk aku terkadang sangat susah untuk beradaptasi dengan tempo permainan musuh dan jatuh ke dalam perangkap mereka. Mungkin terdengar sedikit kasar, tapi aku akan memusuhi siapa yang menjatuhkan nama baik pelatihku sedangkan orang itu sama sekali tak mengkritik para pemain sedikitpun."
Saat itu Indra dan Denny sadar jika Arya sangat melindungi pelatihnya. Mereka berdua juga sadar bukanlah siapa-siapa bagi Universitas Garuda, hanya saja terlalu banyak celah di turnamen akhir tahun lalu dan tak tahan mengeluarkan semua kebimbangan mereka, lalu memutuskan meminta penjelasan langsung pada salah satu pemainnya.
"Ah, maaf. Mungkin aku terlalu berlebihan yang mengomentari tim kalian. Hanya saja sangat disayangkan aku tak bisa melihatmu bermain. Kesedihanku hanyalah sebatas itu. Kekalahan yang kalian terima memang sedikit membuatku berpikir, tapi setelah dipastikan sebenarnya kau jauh di atas mereka. Maksudku para pemain yang bermain di turnamen itu.
"Andai kau diturunkan entah di babak keberapa, aku yakin para pendukung Universitas Garuda semakin meriah. Terlihat setiap permainan kampusmu selalu menang tipis atas tim lain. Itu membuatku semakin curiga mengingat kampusmu juara bertahan namun tahun kali ini permainan kalian benar-benar tak sejalan.
"Ah, aku kelewatan lagi kalau sudah bicara basket. Maafkan aku. Tapi kalau kau setuju dengan pendapatku, aku sangat senang karena kau akhirnya sadar atas kesalahan timmu sendiri."
Setelah Denny menutup mulutnya, Arya menaruh menompangkan dagunya di atas tangan kirinya, mencerna kembali setiap kata yang disampaikan oleh seniornya yang memiliki pengalaman basket jauh lebih banyak. Setiap kata keluar dari mulut Denny sangat menusuk hatinya namun setelah mempertimbangkan semuanya, Arya sadar jika seniornya itu seratus persen benar.
Dalam pandangan Denny yang tak tahu kronologi masalah antara Arya dan Coach Alex sangatlah, sudah sewajarnya menyalahkan sang pelatih sebab menyia-nyiakan kemampuan Arya yang kemungkinan bisa membawa mereka ke babak yang lebih sengit lagi. Waktu 3 tahun berlalu, pencapaian Universitas Garuda sangat menurun drastis, bahkan sebagian orang tak menganggap jika kalah di babak 64 besar merupakan pencapaian yang cukup baik.
Itu sangat buruk bagi pendukung Universitas Garuda. Arya memang sudah menyadari kalau tekanan bermain membawa nama Universitas Garuda jauh lebih berat setelah ia tahu universitasnya memiliki segudang prestasi di divisi basket. Lebih dari sekali kakak tingkatnya terkena tekanan begitu tinggi dari para pendukung.
Banyak harapan di luar sana dan memprediksi jika Universitas Garuda akan kembali menyahut gelar juara untuk keempat kalinya. Namun semuanya sudah berlalu dan tak perlu lagi membandingkan starter terdahulu dengan starter sekarang. Saat ini keputusan Coach Alex meruapakan opsi terbaik bagi Arya.
Setelah mereka menelaah kesalahan tim Arya, tak sadar sudah hampir menyentuh pukul 12 malam. Dalam hitungan menit hari sudah berganti sedangkan mereka masih persiapan menuju rumah masing-masing. Kesadaran mereka tentang latihan besok pagi seketika terlupakan begitu cepat. Arya sendiri sudah beprasangka buruk pada dirinya sendiri, takut bangun terlambat mengingat jam tidurnya berkurang setiap harinya.
***
"Bangun, Nak. Bangun. Kamu katanya ada latihan pagi ini."
Arya bisa mendengar suara membangunkan tidur nyenyaknya kali ini. Tak ada jawaban dari Arya, pemuda itu terus menggulungkan badannya berulang kali di atas kasur, mencoba mencari posisi tidur yang nyaman.
Namun beberapa detik setelah merasakan kenyamanan, tahu-tahu saja kedua kakinya terasa hangat. Awalnya ia berpikir itu sebuah sentuhan lembut dari ibunya yang berusaha membangunkannya, namun semua khayalan itu hancur seketika saat kedua kakinya tiba-tiba ditarik sangat cepat. Arya merasa dirinya seperti terjatuh dari tempat yang begitu tinggi.
Kesadarannya seketika kembali dengan kedua matanya terbelalak besar, mengejutkan pelaku yang menarik kedua kakinya. Saat kedua masih kabur, disitulah Arya baru sadar jika tepat di hadapannya ada seseorang berdiri di hadapannya, hanya saja jaraknya sangat dekat sehingga Arya bisa mencium aroma tubuhnya.
Arya sangat mengenali aroma ini, walau sangat wangi dan menusuk hidungnya, entah mengapa tak ada nafsu birahi sama sekali.
"Tante kalau bangunin Arya jangan pelan-pelan. Memang harus ditarik seperti ini, baru orangnya bangun. Lihat, kan?" Sherla tahu-tahu melepas kedua kaki Arya begitu melihat sepupunya sudah sadar.
Tak ada perlawanan dari Arya ketika diperlakukan kasar oleh kakaknya. Hanya saja saat ini tak ada waktu baginya mengurusi Sherla yang memang usil sejak mereka kecil. Tinggal di rumah bersama menjadi Arya jauh lebih mengenal Sherla dari sebelumnya. Contoh kecilnya saja, kakak sepupunya itu suka sekali melepas pakainnya ketika berada di kamar sendirian.
Entah sudah menjadi kebiasaan atau karena mereka saudara, kakak sepupunya itu sama sekali tak menarik di mata Arya. Bahkan walau jarak mereka sudah sedekat ini, tak ada pikiran mesum atau apapun itu. Tapi alasan sebenarnya ialah ibunya Arya sedang menatap wajah anaknya yang begitu dekat dengan tubuh Sherla. Sejenak Sherla ditarik ibunya Arya agar menjauh dari anaknya dengan lembut. Pemandangan semacam ini tak layak ditonton ketika hubungan mereka masih saudara.
"Iya, iya, mungkin Tante lupa. Sudah pergi sana, kamu sarapan dulu."
Tanpa menjawab apapun, Sherla langsung membalikkan badannya dan menuruni anak tangga secara perlahan. Ibunya Arya hanya menggeleng pelan sambil berkacak pinggang. Helaan napas terdengar di telinga Arya ketika ia sedang menguap tanpa menutup mulutnya.
"Kamu juga, Nak. Sudah tahu ada latihan pagi malah pulang malam-malam."
Arya menggaruk kepala belakang sambil menatap ibunya, lalu… tak menjawab apapun dan kembali ke selimutnya. Tak ada waktu tersisa, sang ibu langsung menarik telinga Arya, mengakibatkan suara melengking menggemparkan seisi rumah.