"Jika memang kau yang memaksakan diri seperti itu, aku pikir bukan masalah. Hanya saja aku merasa kasihan melihatmu hanya makan salad dan yogurt selagi kau bisa makan apapun dan tak punya alergi… selain udang." Amelia ingat betul jika sejajk kecil Arya memang tak suka udang, itu semua karena alerginya ketika memakan udang, mulutnya mendadak gatal-gatal dan memerah. Bagi penderita alergi sepertinya, sudah pasti tak ingin menyiksa diri, tak peduli setinggi apapun kualitas udang yang digunakan.
"Ho… aku salut padamu. Aku pikir kau sudah lupa tentang itu." Arya sedikit terkejut mendengar ucapannya sekaligus senang. "Tapi kau tak perlu khawatir, ada kalanya aku juga sesekali melanggar janjiku sendiri, memakan makanan manis dan mengandung banyak minyak tanpa mempedulikan kesehatan. Hanya setelah menyesali perbuatan itu, aku kembali memakan sayur dan buah tanpa menyentuh makanan manis dan minyak lagi selama berbulan-bulan. Tentu yang aku maksud makanan manis di sini seperti kue atau minuman yang kau pesan itu."
Amelia menghela napas pelan sembari melemaskan kedua bahunya. "Makanya aku sempat bingung kau mengurangi makanan manis, padahal gula menyimpan energi pada tubuh, kalau tidak salah sih."
"Hmm… mungkin lebih efektif lagi kalau istirahat untuk mengisi tenaga, hehehe," kata Arya sambil terkekeh, menggaruk kepala bagian belakang.
Amelia menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Arya, lalu gadis itu melanjutkan makan dan minum dengan sangat anggun, sangat terlihat tak ingin membuat pacarnya merasa kurang nyaman di hadapannya. Sedangkan Arya sudah menghabiskan salad dan yogurtnya sejak tadi. Kegiatan yang bisa dilakukannya hanyalah memandangi matahari akan tenggelam di balik puluhan bangunan-bangunan dan sesekali menyaksikan bagaimana Amelia menghabiskan makanannya.
Setelah sekian lama menunggu kepulangannya dari Denmark, Arya bisa bertemu dengan Amelia lagi dan sekarang mereka bahkan seakan sudah saling memiliki. Kesenangan Arya sudah tak bisa diukur lagi, bahkan beberapa bagian tubuhnya merasa kesemutan saking senangnya bisa berduaan dengan Amelia di sore ini. Hembusan angin sore menerpa tubuh mereka dengan lembut, mengibaskan rambut mereka berulang kali dan tak terlihat mereka berdua merasa terbebani.
Dari hantaran angin itu, Arya bisa mencium aroma parfum yang digunakan Amelia. Benar-benar wangi sampai menusuk hidungnya. Meski beberapa kali dirinya berada di dekat gadis, mungkin baru kali ini Arya bisa mennghirup aroma parfum sesungguhnya dari lawan jenisnya. Setiap endusannya selalu membuat pikirannya tenang seolah mereka benar-benar menyatu, namun menyadari tingkahnya semakin menjadi-jadi dan mendapat tatapan aneh dari sang pacar, Arya memutuskan menutup kening dan matanya, merasa malu terlihat bodoh dan mesum. Apakah kali ini ia akan mendapat hujatan pula seperti yang diberikan Amanda dan Dyah?
Amelia dan mereka memang berteman dekat, akan tetapi Arya tak bisa berhenti berprasangka kalau pacarnya tak akan menghujatnya pula.
"Kau kenapa? Apa kau mencium bau kentut?" tanya Amelia dengan wajah polosnya.
Arya sontak memundurkan badannya sedikit, menganga sedikit sambil mengerutkan keningnya. Ia sangat penasaran mengapa justru pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.
"Hahaha, mungkin. Aku juga berusaha menghirup angin di sore hari." Arya menjawab dengan meringis lebar, membuat Amelia semakin berdegup kencang ketika melihatnya.
Wajahnya tiba-tiba memerah kembali, namun kini jauh lebih padam dari sebelumnya. Dengan wajah merah seperti kebakaran, Amelia menundukkan kepalanya sembari melihat piring dan gelasnya yang sudah kosong tanpa sisa.
Tiba-tiba saja ponsel Arya berdering, namun ia tahu jika bunyi kali ini berbeda dengan biasanya. Ponsellnya berbunyi bukan karena ada telepon, melainkan alarm yang ia pasang dan menunjukkan sudah hampir pukul 6 sore. Mereka berdua sama-sama terkejut sebelumnya dan mengira jika mereka berdua mendapatkan panggilan dari seseorang di luar sana. Setelah mematikan alarm, bunyi ponselnya pun juga mati dengan cepat.
Lalu timbullah keingintahuan dari Amelia. "Kenapa kau matikan? Apa itu bukan telepon?" tanyanya penasaran. Kedua tangannya kini terlipat rapi di atas meja sambil sedikit membusungkan kepala dan dadanya.
Tingkahnya semacam itu, Arya merasa Amelia pasti berprasangkan jika yang meneleponnya adalah seorang gadis seumurannya, mungkin ia akan dihabisi sekarang. "Bukan siapa-siapa, kok. Kebetulan aku memasang alarm karena sebagai pengingat."
Amelia kembali menegakkan tubuhnya kembali, lalu melemaskan kedua bahunya dan berkata. "Ah, kau kemarin bilang ada latihan malam hari, ya." Wajahnya mendadak berubah setelah ribuan senyuman dikerahkan.
Arya merasa bersalah karena pertemuan mereka harus berakhir setidaknya setengah jam dari sekarang. Namun justru itu ia tak ingin mengakhiri pertemuan ini dengan penyesalan maupun kecemberutan dari kedua pihak. "Kalau begitu, katakan apa yang membuatmu senang, Mel. Aku tak mau kita berpisah dengan penyesalan sedikit pun.
"Baiklah, kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku sangat senang bisa berduaan denganmu seperti ini. Menghabiskan waktu selama berjam-jam di rooftop kafe, berduaan denganmu sambil tertawa dan mengenalmu lebih dekat. Sungguh aku tak menyembunyikan rasa senangku ini. Kalau ada yang ingin aku lakukan agar kau juga bisa ikut senang, katakan saja. Aku akan menuruti keinginanmu."
Meski Arya berkata seperti itu, Amelia sedikit terkejut sekaligus senang ketika Arya berkata dirinya sudah senang dengan menghabiskan waktu berduaan seperti ini walau hanya beberapa jam saja. Well, gadis itu juga tak kalah senang, hanya saja waktunya terlalu singkat dan perlu beberapa minggu lagi sampai mereka bisa menghabiskan waktu seperti ini lagi. Tapi Amelia tak bisa mengatakan jika dirinya ingin menahan Arya agar tak ikut latihan untuk malam ini, namun ia sadar itu semua akan menghambat cita-cita Arya dan itu sudah merusak segala-galanya.
"Aku tak apa, aku juga senang bisa berduaan denganmu, bercanda, tertawa. Sebenarnya aku juga tak menyangka kita bisa pacaran seperti ini. Dulunya kita menghabiskan waktu bersama-sama, hanya saja saat itu kita sama sekali tak memiliki perasaan apapun dan bisa bermain dengan leluasa. Hahaha, mengingat masa-masa kecil memang menyenangkan. Meski begitu aku tak ingin kembali ke masa itu walau beberapa orang dewasa ingin kembali menjadi anak kecil."
Arya awalnya senang, namun kalimat terakhirnya benar-benar membuatnya bertanya-tanya, spontan mengerutkan keningnya. "Hmm? Kenapa kau tak ingin? Bukannya justru menyenangkan?"
"Karena waktu kecil, kita bermain hanya sebatas sebagai teman, sedangkan sekarang kita bisa berduaan seperti ini sebagai sepasang kekasih dan itu jauh membuatku lebih senang berada di dekatmu."
Arya menarik napasnya dalam-dalam, lalu dihembuskan begitu saja. Punggungnya kembali bersandar pada sandaran kursi sembari melemaskan kedua tangannya. Benar-benar jawaban tak terduga dari Amelia. Detak jantungnya saat ini terus berdetak kencang dan mereka tak saling memandang dalam beberapa detik. Keduanya sama-sama malu setelah apa yang terjadi.
Jika Amelia malu untuk mengatakannya, lalu kenapa ia bersikeras mengutarakannya pada Arya? Apa itu sebagai bukti jika cintanya pada Arya tidak setengah-setengah?