Chereads / Athlete vs Academician: After Dating / Chapter 19 - Instant Karma

Chapter 19 - Instant Karma

Ketika sepasang kekasih itu menginjakkan kaki mereka ke lantai 3, mereka bisa melihat sedikit pemandangan kota dari atas sana. Mungkin rumah mereka masing-masing memiliki setidaknya 2 lantai, namun Arya sendiri sangat jarang bisa menikmati waktunya di tempat terbuka di atas bangunan seperti ini. Lagi pula memang dirinya yang sangat jarang berkunjung ke sebuah kafe atau restoran jika memang tidak ada yang mengajaknya.

Hari memang masih sore, namun tak memungkiri juga hampir tiba waktunya matahari beristirahat setelah menyinari bumi selama setengah hari. Bukan sebuah halangan, justru pengunjung di kafe tersebut semakin mendekati malam hari, semakin ramai pula kafe tersebut. Bahkan di lantai 3 ada semacam ruangan VIP. Arya dan Amelia tak tahu apa fungsi ruangan tertutup itu dibangun di lantai paling atas. Namun sejauh pengamatan mereka ruangan itu digunakan untuk berpesta dengan dekorasi diatur seindah dan semenarik mungkin untuk merayakan hari ulang tahun.

Bahkan setengah dari tanah lantai 3 digunakan untuk bangunan tertutup itu. Saking tertutupnya, bahkan suara dari dalam tak terdengar sama sekali namun Arya bisa melihat jelas segala aktivitas yang mereka lakukan, orang-orang bermain balon, mengobrol dengan kawan, bahkan di sudut sana ada salah satu peserta asik mengunyah makanannya sedangkan kedua tangannya sudah dipenuhi beraneka ragam makanan.

"Kenapa bangunan semacam tak di lantai 2 saja, ya? Kalau begini ceritanya aku jadi tak nyaman karena dilihat banyak orang." Amelia menyuarakan ketidaksukaannya.

"Entahlah, bahkan sejak aku datang ke sini, aku juga tak setuju jika bangunan seperti ini didirikan di atas kafe yang memiliki atmosfir yang tenang dan damai. Tapi kau tak perlu khawatir, di ujung sana masih ada tempat di mana tak banyak orang bisa melihat kita," ujar Arya sambil menunjuk dua kursi dan satu meja tak terlalu besar di balik bangunan itu.

Walau memang tak banyak yang melihat mereka nantinya, tetap saja berada di belakang tempat itu membuat napas Amelia tertahan seketika. "Kau yakin mau duduk di pojokkan seperti itu?"

"Kalau kau tak mau, kita bisa mencari tempat meja lain. Atau kau mau kita mencari kafe lain saja yang sekiranya tempatnya sepi?" tanya Arya menawarkan opsi.

Amelia sedikit tertegun ketika ditawari pilihan semacam itu. Pasalnya niatnya bertanya hanya memastikan Arya, apakah tak merasa keberatan dan sesak nafas jika berjam-jam di tempat seperti itu. "Kalau kau tak keberatan, aku juga tidak. Aku hanya takut penyakit sesak nafasmu kambuh lagi."

Arya tak menjawab apapun, namun sebagai balasannya, ia menggandeng tangan Amelia dan menariknya ke meja yang sudah ditentukan sebelumnya. Arya menarik kursi di sebelah sana, membiarkan sang pacar duduk duluan. Setelahnya, barulah ia duduk di depannya.

"Oh, aku tak tahu jika kau masih ingat dengan penyakit masa kecilku."

"Penyakit masa kecil? Maksudmu sekarang sesak napasmu sudah tak pernah kambuh lagi?" tanya Amelia penasaran. Sewaktu kecil dirinya sudah berulang kali melihat kejadian dimana Arya mendadak sesak napas dan akhirnya dibawa pulang oleh ayah ataupun ibunya.

"Ya, aku harap juga begitu. Buktinya saja aku sudah tak pernah sesak napas sama sekali, meskipun aku sedang kelelahan atau di tempat sempit sekalipun."

"Hmm… aku turut senang kalau itu benar. Itu juga salah satu alasan kenapa aku sempat menentangmu lebih menekuni dunia olahraga daripada belajar. Tapi karena penyakitmu sudah hilang…"

Arya mengerutkan keningnya ketika Amelia sengaja menggantung ucapannya. "Kenapa? Apa kau masih bersikeras kalau jalan yang aku pilih ini bukanlah yang terbaik untukku?" tanya Arya, suaranya tak meninggi, namun terkesan datar dan tak suka.

"Eh? Bukan begitu. Semalam aku sadar kalau tak gunanya pula aku melarangmu berbuat sesuatu yang kau senangi. Jika memang itu pilihanmu, maka aku akan mendukungmu… pastinya."

Masih terlihat samar-samar kerutan di wajahnya, sedangkan Amelia lebih memilih membuang pandangannya ke arah meja sambil meluruskan kedua tangannya tepat di atas kursi sambil meringis sendiri. Arya menggeleng pelan lalu menghela napas panjang sambil menyaksikan sang pacar yang terlihat sedang salah tingkah.

Detik berikutnya, pelayang datang dengan membawa nampan dua nampan kayu yang tak terlalu besar, berisikan sebuah kafe. Seperti biasa, Arya memesang minuman dengan kadar gula yang rendah dan camilan berupa buah-buahan dengan porsi cukup banyak. Ia merasa beruntung sebab tak banyak kafe menyediakan menu dengan salad buah seperti ini. Berbeda dengan Amelia yang memesan makanan dan minuman terlihat sangat manis namun porsi sangat sedikit. Waffle dan Green Tea adalah kombinasi yang paling disukainya di antara kombinasi lainnya. Namun keduanya sangat dibenci Arya karena sangat manis, walau dulunya ia sangat suka dengan makanan dan minuman yang manis. Dan Arya tahu betul akan hal itu.

"Kau yakin hanya akan makan buah dan yogurt? Apa kau sedang tak membawa uang di dompetmu? Kalau benar, aku bisa mentraktirmu."

"Ah, tidak usah. Aku cukup dengan ini saja." Arya menolak halus.

"Tak perlu sungkan. Kita sudah pacaran, Arya. Sudah semestinya jika aku mentraktir pacarku ketika sedang tak membawa uang."

Arya menarik napasnya dalam-dalam selagi gadis di hadapannya terus mengoceh akan mengeluarkan uang sebanyak apapun sampai perut Arya meletus, dipenuhi dengan camilan dengan kandungan gula yang sangat tinggi.

"Bukan masalah aku tak bawa uang atau tidak. Ditraktir sekalipun aku tetap membeli buah dan yogurt ini."

"Hmm… memang kenapa? Bukannya kau sangat suka sesuatu yang manis ketika masih kecil?"

"Ya itu benar. Maka dari itu aku memilihmu sebagai pacarku," ucap Arya sembari mengangkat kedua sudut bibirnya.

Kedua mata Amelia spontan terbelalak besar begitu mendengar ucapan kekasihnya. Apa yang ia dengar barusan bukanlah sesuatu yang ingin ia dengar, pasalnya ia sedang penasaran sekaligus serius bertanya. Namun sekeras apapun hatinya, berhasil Arya luluhkan hanya beberapa kata saja. Detik berikutnya, wajah Amelia mendadak merah dan dadanya terasa sesak. Ia cepat-cepat menutup muka dengan kedua tangannya, lalu teriak dalam hati. "Rasanya aku ingin mati."

Di lain sisi, Arya tertawa melihat tingkahnya cukup berlebihan. "Aku hanya bercanda. Kau tak perlu malu sampai seperti itu, hahaha."

Meja di antara mereka tak terlalu besar, sehingga walau Amelia seidang duduk di kursinya, kedua kakinya masih mencapai di mana kedua kaki Arya bergantung. Melihat sasaran empuk, Amelia langsung menendang kedua tulang kering Arya dengan kedua kakinya dengan tenaga yang tak main-main.

"Ouch!"

Arya mengerang kesakitan lalu menunduk, mencapai kedua tulang keringnya yang sekarang terasa menyakitkan seakan kaki bagian itu sangat berakibat fatal jika sampai terluka. Di balik wajahnya yang masih memerah dan menyembunyikan kekesalannya, Amelia sejenak tersenyum manis lalu terkekeh tanpa suara sambil melihat ekspresi Arya yang tersiksa.