"Kalau tak salah dengar, kemarin temannya Aliyah bilang bukan masalah besar jika tak memenangkan kompetisi asal kalian mau membantunya? Kalau memang keinginannya berubah mendadak seperti ini, aku tak bisa banyak dan tak mau membantu. Itu sudah di luar perjanjian kita, di mana aku hanya mengajarkan kau dan Aliyah agar bisa ikut bersaing, bukan memenangkan kompetisi itu."
Tia mendecak kesal, ucapan Arya memang ada benarnya juga. Mengalihkan pandangannya, gadis itu berpikir sejenak, mencari jalan lain agar Arya mau membantunya. Melihat situasi saat ini, besok lusa mereka sudah mengikuti kompetisi tersebut sedangkan masih banyak masalah yang belum diselesaikan.
"Ayolah, kau kan sangat handal dalam bermain dan mengajar basket. Masa kau tak mau membantu temanmu yang sedang kesulitan. Kau ini orangnya sangat tega, ya!"
"Oh, berusaha membuatku terkesan jahat, ya. Terserah apa katamu, sudah aku peringatkan kalau aku tak bisa membantu kalian lagi. Selain itu aku juga punya urusanku sendiri dan nanti malam aku juga ada latihan dengan timku."
"Tak perlu menunggu sampai malam. Kami berencana memang latihan sekarang. Melihatmu melamun di depan gerbang, kau pasti sedang senggang, kan? Bagaimana kalau kau membantu kami? Nanti kami traktir apapun yang kau mau."
Arya mengusap keningnya sambil menggeleng pelan, rasanya ingin sekali memamerkan jumlah pendapatannya selama satu bulan dan sama sekali tak tertarik dengan tawaran berupa traktiran. Ia sendiri bisa membeli apapun dengan uangnya sendiri tanpa harus meminta pada orang lain, termasuk keluarganya. Kemudian keningnya mendadak mengerut seolah tak terima dengan ucapannya.
"Sejak kapan berdiam di sini bisa menunjukkan orang menganggur atau tidak? Aku sedang menunggu seseorang dan kau tak perlu tahu itu."
Tia sama herannya dengan Arya. Tak biasanya temannya itu menunggu seseorang di depan gerbang kampusnya. "Kau sedang menunggu siapa dan kenapa harus menunggu di depan sini?"
"Kau tak perlu tahu karena tak ada hubungannya dengan siapapun juga. Aku sangat berterima kasih jika kau cepat-cepat pergi dari sini, sebelum aku membentakmu lebih keras lagi!"
Untuk kesekian kalinya Tia dibuat mendecak oleh Arya. Walau tak ada kekesalan apapun yang ia pendam di dalam hatinya, tetap saja Arya membuat gadis itu seakan naik darah. Sudah berulang kali dimintai bantuan namun Arya tetap menolak dengan alasan sibuk dengan urusannya sekarang. Tia sendiri tak tahu sesibuk apa sebenarnya seorang yang ingin menjadia atlet.
Ketika dirinya menjelang kompetisi renang sekalipun, masih ada waktu baginya untuk bersenang-senang atau mengisitirahatkan tubuhnya di rumah setelah satu bulan penuh berenang tanpa ada istirahat satu hari pun.
Arya memandang Tia dengan tatapan yang sedikit sinis, berharap gadis itu pergi secepatnya sebelum Amelia datang melihat mereka sedang membuat sedikit keributan di depan gerbang kampus. Mengepalkan kedua tangannya sangat kencang seakan ingin menghancurkan tubuh lawan bicaranya, namun Tia sadar jika lawan bicaranya kali ini bukanlah seorang gadis atau pria dengan fisik yang lemah.
Setelah menenangkan kepala dan hatinya, barulah Tia meninggalkan tempat itu dan Arya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun selama beberapa detik tatapan sinis itu tak kunjung hilang walau mereka sudah terpisah lebih dari 30 m. Kemudian barulah Tia menjelajahi kampus, menuju tempat di mana Aliyah sedang sibuk dengan urusannya.
Memastikan Tia tak memandangnya lagi, Arya menghela napas sembari menggeleng pelan. Bergumam jika temannya itu ternyata bisa keras kepala juga dan gemar memaksakan sesuatu. Yah, Arya memang salut pada Tia sebab sudah merelakan waktu dan tenaganya untuk latihan basket sedangkan kemampuan dan bakatnya sudah lebih dulu diasah di olahraga renang.
Mengingat apa yang dikatakannya, temannya benar-benar kurang ajar. Selain meminta bantuan secara paksa, ia juga sedikit mendesak mereka agar memenangkan kompetisi. Ini benar-benar sangat menekan Aliyah dan Tia. Bahkan gadis sebelumnya juga tak mengatakan apapun tentang alasannya memenangkan kompetisi itu.
Apakah mengincari hadiahnya? Atau ada hukuman baru kakak tingkatnya kalau ia tak bisa memenangkan kompetisi itu? Semoga saja itu tidak terjadi dan Arya memutuskan tak memikirkan masalah mereka lagi, setidaknya dirinya harus fokus dengan turnamen basketnya besok lusa dan… tentunya Amelia sebagai pacarnya, Arya merasa beberapa kali harus ada untuk sang gadis agar hubungan mereka sedikit lebih mesra walau ia tak yakin bisa melakukannya atau tidak.
Baru dibicarakan, Arya merasakan kehadiran seseorang di depan motornya, spontan ia mengangkat kepalanya dan melihat sang pacar sudah datang. Hanya saja Arya ada sesuatu yang aneh dengan Amelia.
"Kamu kok agak cemberut begitu? Ada apa?" tanya Arya penasaran.
Dengan cepat menggelengkan kepala dan merubah raut wajahnya dengan senyuman manis yang sering ia tunjukkan pada Arya. "Enggak ada apa-apa kok. Hanya lelah saja setelah mengurus program kerja organisasi dengan Vivi. Kamu sendiri sudah dari tadi menunggu?"
Arya juga melakukan hal yang sama. "Enggak juga. Kebetulan tadi temanku menghampiriku dan mengajakku bicara."
"Oh, kalau itu aku juga tahu. Aku juga melihatnya. Omong-omong apa yang kalian bicarakan?"
"Eh? Kau melihatnya?" Arya tersentak seolah ketahuan selingkuh di depan pacarnya sendiri. Pantas saja raut wajahnya tadi sedikit masam dan senyumannya juga sedikit dipaksakan. Arya mengutuk dirinya sendiri karena telah membuat kesalahpahaman.
"Ah, aku tak bermaksud apapun. Dia hanya teman kelasku dan kebetulan aku sempat membantunya beberapa waktu lalu." Ucapan Arya sedikit terbata-bata, takut salah menjawab bisa berakibat fatal.
"Kau sudah menungguku selama 10 tahun, kan? Aku percaya padamu kalau kau tak mungkin selingkuh… mungkin. Lagi pula aku tahu kalau itu temanmu, aku hanya ingin tahu apa yang kalian bicarakan."
Ah, Arya merasa malu karena menjawab pertanyaannya dengan jawaban melenceng. "Kau ini benar-benar percaya padaku atau tidak, sih? Ah, nanti saja bicaranya. Setidaknya kita mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol."
Amelia mengangguk pelan. Kemudian mereka boncengan meninggalkan kampus yang masih sangat ramai walau telah memasuki sore hari. Selama perjalanan mereka menentukan dan sedikit ribut tempat mana yang akan mereka kunjungi sore ini. Melihat cuaca juga sangat cerah dan matahari masih sedikit membakar tangan mereka, pada akhirnya mereka memutuskan mengunjungi kafe berlantai 3, di mana mereka bisa mengobrol sambil menikmati angin sepoi-sepoi.
Ini pertama kalinya mereka mengunjungi kafe setelah berpacaran. Sebelumnya pun mereka bertemu di sebuah restoran, itu pun juga bertemu karena ketidaksengajaan karena sama-sama ingin memakan masakan di restoran super mahal untuk sesekali.
Setelah memarkirkan kendaraan dan memesan, mereka langsung menaiki anak tangga secara hati-hati. Sesekali mereka bersuara mengenai betapa damainya suasana di dalam kafe meskipun jumlah pelanggan tak bisa dikatakan sedikit. Hanya saja yang membuat mereka senang, kafe ini sangat cocok digunakan berpacaran seperti sekarang.