Chapter 14 - Ketahuan

"Aliyah!" Mereka bertiga terkejut begitu temannya tahu-tahu datang dalam kondisi sangat emosional.

"Kenapa masih diam saja di kelas dari tadi?! Kalian pikir jarak lapangan voli ke gedung fakultas ini dekat? Haa?!" Aliyah benar-benar kehilangan ketenangannya.

Sejauh mereka kuliah di Universitas Garuda, sama sekali belum pernah melihat bagaimana wujud lapangan voli yang di maksud Aliyah. Entah alasan apa pihak universitas memutuskan tak menggabungkan semua tempat fasilitas olahraga di tempat yang sama. Namun Arya dan kedua temannya pernah mendengar dari obrolan teman mereka yang mengikuti UKM voli, jika lapangan voli cukup memakan waktu sebab tempatnya berada di seberang jalan, sedangkan jalan di depan kampus mereka bukanlah semacam jalan kecil atau gang, melainkan jalan utama.

Tak hanya dipenuhi amarah yang begitu meledak, Arya bisa melihat pelipis gadis itu dipenuhi keringat. 'Apa jangan-jangan ia ke sini jalan kaki sendirian? Apa tak ada kendaraan lain atau meminjam temannya sendiri?' Arya ingin menanyakan semua itu. Namun ia tahu kalau dirinya benar-benar bertanya, entah mimpi buruk seperti apa yang akan menghantui mereka bertiga.

Merasa bersalah dan bodoh, mereka bertiga hanya memasang senyuman lebar, meringis sambil menggaruk kepala belakang. Fahrizul pun sampai tak berani menatap wajah Aliyah sebab dirinya melihat apa yang lebih mengerikan dari sosok yang disebut Arya dalam mimpi buruknya. Mereka pun meminta maaf namun respon Aliyah adalah menyuruh mereka bersiap-siap dan memaksa Arya untuk memboncengnya menuju lapangan voli.

Terkesan jahat meninggalkan Fahrizul dan Fahmi berjalan sejauh 900 meter. Namun mereka juga membawa kendaraan dari rumah, sehingga tak perlu mengeluarkan banyak keringat sebelum memasuki lapangan voli. Tanpa menunda waktu lebih lama lagi, mereka berempat meninggalkan kelas dan menuju parkiran motor untuk Arya dan Aliyah.

Mereka meninggalkan gedung fakultas, melewati berbagai gedung dan bangunan lainnya lalu keluar dari kampus. Selama itu mereka berdua sama-sama membisu, tak ada yang memulai pembicaraan. Bahkan saking tegangnya situasi di atas motor, Arya merasakan tekanan yang begitu besar di bagian belakang tubuhnya, hingga ia memutuskan meluruskan tulang punggungnya, duduk dengan tegak.

Orang lalu lalang tentu kebingungan dengan jarak yang begitu lebar pada sadel motor, namun sebagian dari mereka juga menganggap jika mereka berdua adalah sepasang kekasing sedang berada di tengah-tengah konflik besar.

"Memang kalian tak curiga sama sekali kalau kami ada di lapangan voli dari tadi?" tanya Aliyah tiba-tiba, emosinya mulai mereda namun suaranya masih seakan memberi tekanan batin pada Arya.

"Curiga, sih. Bahkan sebelum kau datang kami sudar sadar kalau kelas masih sangat sepi dan kami bertiga memutuskan menunggu kedatangan kalian. Awalnya kami sempat mengira jika perkuliahan diliburkan. Kami sudah bersiap-siap pulang ketika kau mempergoki kami."

Aliyah menghela napas sangat berat dan jelas. Arya bisa merasakan helaan napasnya mengenai kulit punggungnya, bulu kuduknya merinding tiba-tiba. "Apa salah satu dari kalian juga tak ada yang membuka handphone sama sekali? Teman-teman berulang kali menelepon kalian tapi tak ada satupun yang membalas. Bagaimana aku tak marah coba? Kalian sudah membuatku berjalan sejauh ini!"

Arya menaikkan kedua bahunya, terkejut gadis di belakangnya tiba-tiba teriak. Ia juga tak bisa menjawab apapun begitu Aliyah mengaitkan dirinya yang memang sampai sekarang tak selalu memeriksa ponsel, meski dalam keadaan curiga sekalipun. Namun yang membuatnya lebih terkejut lagi, ternyata kedua temannya juga bisa melakukan kesalahan sama di waktu yang sama dengannya. Entah memang mereka terlalu sibuk dengan pembicaraan tak berbobot itu.

Kemudian Arya dan Aliyah sampai di kawasan kampus gedung lainnya. Mungkin bisa dibilang ini pertama kalinya mengunjungi tempat ini sebab gedung cabang ini tak terlihat seperti universitas, tak ada bedanya dengan sekolahnya dulu ketika masih SMA. Hanya gabungan beberapa gedung yang dikumpulkan menjadi satu serta ada beberapa lapangan untuk mereka olahraga. Tak sampai setengah menit, Fahrizul dan Fahmi tiba-tiba memarkirkan motor di samping Arya.

***

Setelah mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya sore kali ini, Arya memutuskan mendatangi gedung olahraga terlebih dulu. Ia yakin masih diterima oleh teman-teman dan pelatihnya walau kemarin sempat terjadi pengusiran. Di lain pihak Arya tak memberi kabar pada Amelia terlebih dulu walau ia sudah mendapat pesan cukup banyak. Responnya sangat singkat dan hanya sekali [Bentar, ya. Aku mau diskusi sama pelatihku dulu.]

Amelia tak mengerti apa yang akan didiskusikan Arya oleh pelatihnya, namun saat ini belum terlalu sore. Vivi sekalipun masih merasa betah di kampus dan mau menerima Amelia.

"Kau mau ketemu Arya? Memang ada urusan apa?" tanya Vivi penasaran.

"Ada urusan penting. Aku ingin menemuinya sebelum ia pergi ke turnamen untuk beberapa minggu di luar kota," jawab Amelia. Masih belum memberitahu temannya itu kalau dirinya sudah memiliki hubungan spesial dengan Arya.

"Ah, pertandingan basket itu, ya? Apa benar kalau Arya harus pergi ke luar kota? Lalu bagaimana dengan kuliahnya?"

Amelia mengangkat kedua bahunya sejenak. "Enggak tahu juga. Mungkin kalau perkuliahannya bisa lewat online, mungkin ia mengambil jadwal sendiri dengan dosennya."

"Bukannya Arya dari Fakultas Olahraga? Kalau ada praktek, masa bisa lewat online?" Vivi tak tahu apapun tentang olahraga, namun ia juga bertanya pada temannya yang sangat minim pengetahuan tentang olahraga.

"Kalau itu aku juga tak tahu. Mungkin bisa jadi ketika Arya ujian praktek, dosennya menyuruh mengirim video prakteknya sebagai bukti," jawab Amelia asal.

"Ah, masuk akal juga. Kalau memang jalan ini yang ia pilih, semoga saja kau tak keberatan."

Amelia cepat-cepat mengalihkan pandangannya, mengerutkan kening. "Maksudmu? Kenapa harus aku yang keberatan?"

Vivi tersenyum kecil. "Tak usah ditutupi segala. Aku sudah tahu kalau kalian pacaran. Benar, kan?" Vivi menggoda sembari mengedutkan alisnya berulang kali sembari terkekeh pelan.

"Eh? Pacaran? Aku dan Arya? Enggak, kok. Enggak! Kami hanya berteman sejak kecil dan kebetulan kami belakangan ini sering bertemu," jawab Amelia sangat gugup namun juga sangat imut sebab pipi merah padamnya tak bisa disembunyikan

"Oh, hubungan kalian dulu dikaitkan ketika masih pacaran. Kalau aku jadi Arya dan mendengarnya, pasti aku sangat sakit hati." Vivi memperagakan kejadian di mana sosok pria yang kehilangan hatinya ketika mendapat perlakuan buruk dari kekasihnya.

"Vivi!" Amelia teriak. Tak suka digoda di tengah-tengah kerumunan.

"Hahaha, aku bercanda. Terpenting kau tak perlu menyembunyikan hubunganmu dengan Arya. Meskipun kita baru menjadi teman dekat ketika masuk kuliah, aku sudah paham Amelia yang sebenarnya. Sikapmu selalu cuek dan dingin pada cowok-cowok lain, bahkan kau juga menolak permintaan Haikal pada waktu ia mengajakmu liburan. Tapi kalau Arya… kurang lebih kau menganggapnya sesuatu yang benar-benar memberi kesan baik di setiap harinya."