Fahrizul maupun Fahmi saling menatap sejenak, lalu melempar pandangan mereka pada Arya yang tak menyapa mereka sama sekali sambil mengeutkan alis. Tanpa basa-basi mereka langsung menepuk pundak Arya, membuat lamunan temannya buyar seketika. Bukan marah atau merasa kesal, Arya justru tak menanggapi mereka sama sekali. 'Orang ini idiot!' Fahrizul dan Fahmi menggumamkan ungkapan yang sama.
"Yak, kau kenapa?" tanya Fahrizul memulai pembicaraan.
"Lagi mikir."
"Setiap hari kerjaannya mikir melulu, masalahmu banyak amat."
"Berati bagus kalau aku masih bisa berpikir. Enggak kayak kalian, otak hanya pajangan, dipake juga enggak pernah."
Mendengar ucapan Arya membuat kedua temannya itu memegang dadanya. Rasanya sangat menusuk seakan ditikam dengan pedang dari belakang. Walau mereka setiap harinya selalu bercanda dan menghina satu sama lain, namun memulai pagi yang cerah ini dengan hal semacam itu, mereka nampaknya belum siap menerima celaannya.
Fahmi tanpa berpikir panjang berniat memukul Arya walau niatnya bercanda, tetapi tak semua orang pikirannya sama dengan Fahmi. Hingga akhirnya fahrizul terpaksa menahan tangan yang mengayun tepat di belakang kepala Arya. Spontan Fahmi terkesiap, mengetahui tangannya ditahan dan dicengkeram sangat keras. Begitu juga dengan Arya yang duduk di depan mereka, kepala dan tubuhnya berputar 180 derajat.
"Kenapa kau pegang-pegan tanganku! Aku bukan penyuka sesama jenis!" Fahmi teriak sangat keras sampai suaranya menggema di sudut kelas.
"Bukan begitu! Kau tak seharusnya memukul kepala Arya di sini, tapi di bagian sini," kata Fahrizul menjelaskan sambil memperagakan jika memukul kepala yang tepat menurut dirinya adalah tepat di bagian ubun-ubun, bukan di bagian belakang.
"Kau menghentikannya karena pukulannya salah? Bukan takut aku nantinya gagar otak?" Arya bertanya, suaranya begitu menggelegar sampai mahasiswa lain yang lewat di depan kelas mereka langsung menoleh.
"Hehehe, mungkin kurang lebih seperti itu." Tanpa rasa bersalah telah memberikan tutorial memukul kepala orang dengan benar pada teman kosnya, Fahrizul terkekeh sembari menggaruk kepala bagian belakang. (NOTE: Tidak untuk ditiru!)
Sialan, memang tak bisa diprediksi setiap perbuan yang mereka lakukan. Namun mau bagaimana lagi, hanya mereka yang selama ini di sisi Arya.
"Kau sendiri kenapa, dari tadi dia terus. Mikirin apa kalau kami boleh tahu."
"Nah, itu alasan kenapa aku tak mau cerita pada kalian."
"Hmmm?"
"Karena otak kalian lebih kecil dibandingkan otak udang!"
"Memang udang punya otak? Badannya aja kecil begitu. Sedangkan bintang laut yang besar aja tak punya otak," sahut Fahmi tak mau berhenti."
"Nah, berarti kalian kolaborasi antara bintang laut dengan udang."
"Anj*ng kau, ya!" teriak Fahrizul dan Fahmi serempak.
Sedangkan Arya terkekeh pelan melihat reaksi mereka sembari memukul meja yang menyambung di kursi kuliah berulang kali. Namun mereka sendiri pasti sudah tahu jika masalah Arya sudah pasti tak jauh dari basket, basket, dan basket. Sejauh mereka bertiga menjadi teman dekat, Arya selalu mengeluhkan sesuatu yang berkaitan tentang basket. Namun semakin mengeluh semakin dalam cintanya pada bola basket… walau sekarang Arya seperti kehilangan tujuan.
Di lain sisi Arya juga tak mau memberitahu mereka sebab ada kaitannya dengan dirinya yang sudah berpacaran dengan Amelia beberapa hari lalu. Walau mereka teman dekat, Arya merasa belum waktu yang tepat menceritakan hal itu sekarang. Lagi pula teman SMA-nya juga baru tahu jika Arya sudah bertemu dengan Amelia semenjak perkuliahan semester pertama. Tak ingin ada kesalahpahaman lagi, mungkin menyembunyikan dari mereka merupakan pilihan terbaik menurut Arya.
Ketika Arya sedang tersenyum bagaimana mereka sedikit kecewa tak bisa mengetahui apa yang ia pikirkan, di waktu yang sama pula Fahrizul dan Fahmi menggaruk kepala mereka, nampak kebingunga. Kini giliran Arya bertanya meski tak terlalu penasaran.
"Kalian kenapa kelihatan seperti orang kebingungan? Ada masalah juga?"
Fahmi maupun Fahrizul mengatakan sesuatu yang sama untuk kesekian kalinya. "Kau memang bodoh, ya?"
"Ini sudah 5 menit lebih dari jam perkuliahan, tapi kenapa tak ada satupun teman kita yang masuk? Apa mereka serempak tak masuk kuliah bersama tanpa memberitahu kita sama sekali?" Fahmi membentangkan kedua tangannya seakan berada di ujung tebing dengan pemandangan ombak menerjang di bawahnya.
Apa yang Fahmi katakan benar adanya. Bahkan Arya sendiri baru sadar jika teman-temannya memang tak ada satupun nampak selain mereka berdua "Kenapa pada tak masuk kuliah begini, ya? Memang minggu lalu dosen ada bilang kalau kuliah hari ini diliburkan."
"Entahlah. Kemarin aku tak mendengarkan sebab tertidur di kelas setelah begadang malamnya."
"Aku juga tak tahu. Minggu lalu aku terlalu fokus main handphone sampai tak ada satupun suara masuk ke telingaku."
Arya mengangguk mengerti. Sekarang ia tahu di mana letak kebodohan mereka sampai keduanya sama-sama tak mendengarkan. Yah, Arya juga tak bisa menyalahkan mereka berdua pula sebab ia terlalu sibuk melatih Aliyah dan Tia latihan basket sampai meninggalkan banyak perkuliahan. Kalau saja mereka ingat alasan Arya juga lupa dengan apa yang terjadi minggu lalu, mungkin hujatan terus berlangsung sampai mereka melupakan kesalahan masing-masing.
"Terus sekarang kita harus apa? Pulang ke rumah masing-masing? Kalian tahu kita hari ini hanya kuliah sekali saja, kan?" tanya Fahrizul meminta jawaban pada mereka.
"Aku sudah terlalu banyak bolos. Sebelum aku juga pulang ke rumah, ada baiknya aku memastikan terlebih dulu."
"Salahmu sendiri terlalu sering bolos. Mana alasannya tak masuk akal."
"Hahaha, kau benar. Demi melatih Aliyah dan Tia kau sampai rela bolos kuliah. Memang bukan Arya kalau tak bolos satu mata kuliah sekali pun. Semester kemarin pun juga sama."
'Sialan! Mereka akhirnya sadar kalau kemarin aku juga tak masuk kuliah. Tapi masih lebih baik karena mereka tak sampai menghujatku!" Arya teriak dalam hatinya sambil mengepalkan kedua tangannya sangat keras, seperti merayakan kemenangan dan ketenangan. Fahrizul sejak tadi mengamatinya mendadak merinding, temannya terlihat seperti gangguan jiwa.
Di dalam keheningan itu, mereka mendengar langkah yang cukup cepat dari luar keras. Lorong demi lorong orang itu lewati demi mencari mereka yang sudah pasti berada di kelas, menunggu kedatangan teman-temannya. Wajahnya terlihat sangat emosional dan memerah seperti tomat segar. Orang-orang di sekitarnya sejenak memandang raut wajahnya yang sangat mengerikan, hingga akhirnya mereka memilih mengalihkan pandangan seakan tak melihat apapun sebelumnya.
Begitu orang tersebut memasuki kelas wajahnya yang semakin memerah memandang mereka bertiga. Napasnya sangat berat, urat di pelipisnya tertutup rambut panjangnya, serta hidungnya mengembang mengempis layaknya paru-paru. Arya bisa melihat giginya terus menggertak menghasilkan suara yang begitu menusuk telinganya.
"Kalian lupa ya! Jika hari ini kita ada praktik di lapangan voli!" Ya, orang itu tak lain adalah Aliyah.