Jefri dan Iko tak mengerti akan ucapan Indro.
Indro lantas menatap Jefri. "Ambil tas itu setelah semua zombi pergi," titahnya.
"Aku minta tolong padamu, jahit lukanya dan pastikan dia hidup," pintanya dengan menggenggam tangan Iko.
Keduanya bingung.
"Aku akan turun dan membuat pengalihan. Kalian lakukan tugas kalian dengan benar!" pesan Indro sembari bersiap untuk turun.
"Apa maksud Om?" sergah Jefri, ia mencekal tangan Indro, mencegahnya turun.
"Aku harus membuat pengalihan, cuma itu satu-satunya cara. Jika tidak, kalian akan terjebak di sini dan Anya ...." Dia menatap anaknya yang terkulai lemas dengan sedih.
"Tetapi itu bahaya Om!" Jefri tak rela Indro melakukan ide segila itu. Pasalnya, tak hanya 1 atau 2 zombi yang ada di sekitar mereka, namun puluhan bahkan ratusan.
Indro menggenggam tangan Jefri yang menahannya. Dia tersenyum tabah. "Om rela mati demi Anya," ujarnya, ia lantas melepaskan tangan Jefri.
Jefri menatap bingung pada punggung Indro. Jelas sekali terlihat bahwa ia tak siap dalam kondisi seperti itu, di mana seseorang harus mengorbankan diri untuk yang lain. Ia merasa masih ada cara lain untuk menyelamatkan Anya tanpa harus membahayakan nyawa.
Belum selesai ia berpikir tentang mencari cara lain, Indro sudah turun lewat samping badan truk yang tak berzombi. Iko tak bisa mencegah Indro, karena dia tahu, hanya itu satu-satunya cara untuk lolos dari zombi. Ia yang sudah terbiasa dalam kondisi sulit, harus membiarkan yang lain untuk berkorban dan berharap ada sebuah keajaiban.
"Woiiii!!!! SINIIIIIII!!! KALIANNNNN ZOMBIII BRENGSEKKKKKKK!!!!! pekik Indro.
Suara pekikan Indro begitu jelas terdengar, satu persatu zombi mulai teralihkan ke padanya. Indro langsung berlari seraya memekik agar diikuti.
Jefri menatap pemandangan itu dengan ngeri, ia ingin turun dan membantu Indro, sayangnya Iko tak mengizinkan.
"Jangan!" sergah Iko.
Jefri tak peduli, ia berontak dari cekalan tangan Iko.
"Kalau kamu ikut turun, maka usahanya akan sia-sia, kalian hanya akan mati bersama dan Anya akan mati perlahan. Kamu mau itu terjadi?!" seru Iko pelan seraya menatap Jefri dengan tajam. Ia tak berani berbicara lantang agar pengalihan yang dilakukan Indro berhasil.
"Tetapi mas--"
"Ikuti saja permintaannya, keselamatan Anya lebih penting untuk Om Indro. Kita harus mewujudkan itu!" sela Iko dengan mencoba menangkap mata Jefri yang tak tenang.
Jefri bingung.
"Sadarkan dirimu. Lihat Anya!" Iko mengguncang tubuh Jefri dan mendorongnya untuk melihat Anya.
Sontak Jefri terhenyak, dia melihat Anya kian pucat.
"Kau lihat kan? Kenapa Om Indro mau mempertaruhkan nyawanya?!" pungkas Iko.
Jefri tersadar sekarang, yang terpenting adalah keselamatan Anya. Seandainya Anya tak selamat, maka dia pun akan merasa hampa sama seperti Indro. Meski mereka berdua tak punya hubungan apa-apa.
"Lakukan tugasmu dengan cepat! Agar Anya bisa selamat dan kita bisa menyelamatkan Om Indro!" titah Iko dengan meremas bahu Jefri.
Jefri mengangguk mantap. Dia melihat Indro masih berlari tanpa memakai kaos. "Tunggu kami Om," batinnya.
Setelah semua zombi itu pergi mengejar Indro. Jefri bergegas turun, dia yang sudah terbiasa berlari sejak kecil, mampu melewati halang rintang dengan cepat. Tas warna hitam itu ia sambar. Anehnya, tas itu tak mau bergerak. Jefri kira tas itu tersangkut, setelah ditarik berulang kali, tas itupun masih tak mau bergerak seakan ada yang menarik dari bawah mobil.
Jefri langsung takut, ia pikir yang menarik tas itu adalah zombi. Karena itulah, ia menarik tas itu sekuat tenaga hingga terdengar jeritan dari bawah mobil.
"Aaaaa!!"
Jefri terkesiap, baru pertama kali ia mendengar jeritan zombi.
"Itu Sinta!" seru seseorang.
Jefri mencari arah suara. Pemilik suara itu adalah Boni yang sedang berusaha turun dari pohon besar dengan susah payah. Bentuknya seperti cicak besar yang menempel di pohon.
Sebuah tangan keluar perlahan dari bawah mobil. Jefri menunggu dengan penasaran sembari waspada. Ketika wajah Sinta muncul dari bawah mobil dengan beberapa luka gores, seketika itu juga Jefri langsung membantunya.
"Maaf Mbak, saya tidak tahu kalau itu Mbak," ujar Jefri merasa bersalah.
Setelah tubuh Sinta keluar sepenuhnya, ia bertanya, "Apa tangan Mbak sakit?" Sembari memeriksa tubuh Sinta.
Sinta meringis sakit, roknya robek dan lututnya mengucurkan begitu banyak darah.
"Kakimu Mbak," seru Jefri terkejut
Sinta makin meringis, tubuh kurusnya terlihat begitu kesakitan.
"Ayo ke truk," ajak Jefri.
Mereka berjalan dengan perlahan, karena ingin mempercepat waktu, Jefri meminta Sinta untuk naik ke punggungnya.
"Cepat Mbak! Kita harus menyelamatkan Om Indro," ujarnya dengan tergesa.
Sinta yang awalnya ragu, setelah mendengar ucapan Jefri, ia langsung bergegas naik. Dalam keadaan darurat seperti ini, ia mentolerir apapun dan membiarkan tubuh kecilnya di gendong oleh Jefri.
Dengan mengabaikan tubuhnya sendiri yang baru terasa sakit, Jefri menggendong Sinta hingga berada di atas truk. Iko menyambut tas yang ia tunggu-tunggu dari Jefri, bergegas ia mulai melakukan tugasnya.
"Hah hah hah!"
Jefri kian lelah, ia terduduk dengan deru napas yang sudah tak karuan. Ratusan peluh menetes, membanjiri tubuhnya yang kotor.
"Bruk!"
Suara seseorang jatuh, membuatnya bangun dan melihat area pohon tempat Boni berada.
"Bon! Bon!!" panggil Jefri ke Boni yang terlentang di bawah pohon.
Tak ada jawaban. Hening.
"Bon! Bon!" panggilnya lagi dengan cemas.
Karena tak ada jawaban, Jefri hendak turun untuk membantu temannya itu. Akan tetapi, Boni tiba-tiba menyahut dengan mengangkat jempolnya, "Aku baik-baik aja!"
"Hahhh!!"
Jefri mendengus lega, ia tadi sudah begitu khawatir akan terjadi apa-apa dengan Boni. Ia tak mau Boni juga terluka seperti Anya.
Saat Iko sedang berusaha menyelamatkan Anya dan mengobati Sinta. Ia mulai memutar otaknya yang tak terlalu pintar itu dengan masuk ke dalam area sopir. Tak ada waktu istirahat, meski ia ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya yang terasa begitu nyeri di segala sisi.
Boni yang kesakitan setelah jatuh dari pohon, berjalan tertatih menghampiri Jefri. Ia duduk di area kenek. "Mau apa kau?" tanya Boni penasaran.
Jefri mencari kunci cadangan yang tersembunyi di bawah kursi sopir. Ia lantas mencoba menghidupkan mesin truk tronton itu, dan berhasil.
Iko yang berada di dalam bak terkejut kala merasakan getaran begitu kencang. Ia mencari tahu apa penyebabnya, dan melihat kedua rekannya ada di tempat sopir dan kenek.
"Mereka pasti punya rencana," batinnya.
Iko mempercayakan sepenuhnya ke Jefri, ia lantas kembali melanjutkan kegiatannya yaitu menolong dua wanita yang sedang terluka. Untung dia sudah terbiasa akan hal darurat seperti itu, jadi dia bisa tetap tenang dan melakukan tugasnya dengan baik meski begitu banyak goncangan serta gangguan.
Jefri memundurkan truk yang rodanya berjumlah 6 buah itu dengan perlahan, agar tak mengganggu tugas Iko. Setelah menemukan area yang cukup luas dan dengan bantuan Boni yang bertugas sebagai pengarah jalan, ia mampu bermanuver melewati banyaknya kendaraan yang berserakan.
Keahliannya sebagai sopir truk tak diragukan lagi meski ia belum pernah mengendarai truk sebesar itu sebelumnya.
Setelah truk berada dalam jalur yang tepat, Jefri langsung menabrak semua mobil yang menghadangnya dengan keras. Untung Iko sudah menyelesaikan tugasnya.
Truk semakin melaju kencang, menyusul Indro yang sudah tak terlihat. Hanya ada bayangan para zombi yang kian terlihat jelas, hal itu membuat Jefri kian bersemangat. Dia menambah laju kecepatan.
"Jep!! Nggak usah kenceng-kenceng. Nanti truk ini bisa terbalik!" tegur Boni dengan raut cemas.
"Nggak akan! Tenang aja!" sahut Jefri dengan percaya diri.
"Bon? Siap dengan kejutan?" tanya Jefri seraya menyunggingkan seringaiannya.
"Hah? Kejutan apa?" sahut Boni.
"TELOLET! TELOLET!! TELOLET OMMM!!!"