Jefri juga mengangkat tangannya. Indro nampak ragu namun tetap mengiyakan.
"Baik, semua sudah terbagi. Sisanya mari kita buat pertahanan untuk malam ini!" pungkasnya dengan semangat, agar ia mampu menyembunyikan rasa sakit di bahunya, akibat terpelanting jauh dalam insiden ledakan di persimpangan jalan tadi.
Semua bekerja dengan cepat. Bau mie menguar, kala gelembung muncul disela-sela gulungan mie yang mengembang sempurna. Ditambah temuan mereka yaitu telur ayam yang tersembunyi di dalam lemari, menambah indahnya pesona mie berkuah kuning itu.
Hidung para penunggu hidangan mengendus di udara dengan alaminya, menghisap semua aroma yang melintasi sinus tanpa tersisa. Boni berdiri dengan menggigiti gelas kaca, air liurnya akan membanjiri lantai yang masih beralaskan tanah jika Jefri tak menepuk kepalanya.
"Sadar! Airmu udah mateng!" serunya pelan, dengan menunjuk dandang air yang sedang meletupkan gelembung kemarahan.
"O-o-o-o!" Sontak, Boni langsung menghabisi nyala api, agar air itu tak makin marah padanya.
Lalu, ia mulai menghitung semua orang yang ada di dalam warung.
"1 2 3." Hitungannya terhenti di Alyssa. " Alyssa mau kopi?" tanya Boni dengan lembut.
Alyssa juga masih merasa takut dengan Boni. Kulit Boni yang sudah gelap, ditambah efek bekas ledakan tadi siang, membuat wajahnya terlihat mengerikan di mata anak-anak. Dia lantas bercermin karena merasa ada yang salah dengan wajahnya. Dan betul saja, dia langsung terhenyak di depan cermin kecil. Bagian dahi hingga matanya, nampak gelap sempurna.
"Jangan menjerit!" sergah Jefri yang tahu tabiat temannya itu.
Mulutnya yang sudah siap meneriakkan ketidakadilan karena wajah eksotisnya ternoda, menutup kembali. Dia hanya mampu bergumam, "Wajah eksotiskuuuu!" serunya pelan, dengan suara tangisan yang dibuat-buat, sembari berlari mencari air di belakang.
Jefri menggelengkan kepala, dia merasa bersyukur karena Boni masih sama seperti biasa, yaitu suka melebihkan segala sesuatu atau bahasa gaulnya adalah lebay. Jefri akan hilang akal, jika Boni sudah mulai diam dan tak berbicara, seperti saat kehilangan sang orang tua.
Dia menggantikan pekerjaan Boni membuat minuman dan membuatkan dua gelas susu untuk Anya dan Alyssa. Bau harum dari kopi dan susu pun bercampur, membuat semua orang makin tak sabar untuk mulai makan.
Akhirnya mie pun dibagikan. Satu persatu mengantri layaknya antrian sembako. Semua mendapat jatah masing-masing. Hanya Boni yang meminta jatah lagi, karena sudah menghabiskan jatahnya dengan cepat.
"Udah nggak ada! Ini bagianku!" sergah Jefri dengan melotot.
Mata Boni yang sudah bersih dari noda hitam, menatap Jefri dengan tatapan penuh memohon. Namun, bukan Jefri namanya kalau tak tahu kelakuan licik temannya itu. Dia lantas mendekatkan bibirnya ke telinga Boni. "NGGAK ADA!" semprotnya.
Boni hampir terjungkal karena kaget. "Ngagetin aja kau Jep!" omelnya.
Jefri melihat bagaimana rekan-rekan seperjalanannya itu makan dengan lahap, hampir semua sudah menghabiskan mie masing-masing. Jefri memutar otak lagi, dia merasa ingin memasak sesuatu untuk para rekannya.
Dengan keahlian yang dimiliki, ia memakai bahan yang ada untuk membuat sajian istimewa. Semua merasa bingung, kenapa Jefri tak berhenti memasak.
"Biarin, dia lagi kerasukan," sela Boni ringan.
"Kerasukan?" tanya Indro.
"Iya, kerasukan hantu masak," canda Boni. "Haha haha." Tawanya terhenti ketika Indro menatapnya dengan tajam.
Setelah berkutat cukup lama, Jefri mengeluarkan satu panci sop telur ayam, sambal kecap dan nasi dengan bantuan Sinta.
"Wah, siapa ini yang masak?" tanya Iko.
Sinta menunjuk Jefri yang terlihat tersenyum senang. Karena lapar, mereka tak mempermasalahkan bagaimana rasanya.
"Nyam nyam nyam."
Namun ternyata, semua makan dengan lahap dan sangat menikmati.
"Kukira kamu hanya asal bisa masak, eh ternyata bisa beneran," puji Indro.
Jefri tersenyum malu.
"Kalau aku paling mentok bikin mie sama goreng telur, udah itu aja," timpal Iko, lantas mengunyah makanannya kembali dengan menaikkan satu kaki.
Mereka semua sedang makan bersama di atas karpet.
"Kamu suka?" tanyanya penuh perhatian ke Anya. "Aku bisa buatin bubur besok," lanjutnya, ia sangat khawatir dengan kondisi Anya yang masih pucat.
Anya tersenyum tipis. "Nggak usah, ini udah cukup kok," jawabnya.
Jefri senang, semua makan dengan nikmat termasuk Alyssa. Mulut kecilnya selalu terbuka dengan semangat, ketika sendok berisi nasi dan sayur sop datang mengunjungi. Sinta sangat telaten dalam menyuapi Alyssa.
Selesai makan, mereka bergantian tugas, ada yang mencuci piring dan membersihkan tempat. Setelah selesai, mereka berkumpul kembali, menyandarkan lelah pada dinding bambu yang tak kokoh. Indro memulai diskusi.
"Baiklah, karena misi kita kemari adalah mencari ibunya Jefri, maka kita fokuskan semua, ke hal itu saja," tuturnya sembari menatap semua rekannya.
"Terakhir, ibu Jefri berada di plafon SD. Aku tak yakin dia masih ada di sana karena plafon itu sangat ringkih. Bisa saja plafon itu jatuh dan membuat ibu Jefri berlari untuk sembunyi. Jadi, kita bagi dua tim."
Tim pertama, Jefri dan Boni pergi ke SD. Tim kedua ke rumah Jefri dan sekitarnya. Kita bertemu di perempatan ini." Indro menggambarkan sebuah peta dan melingkari titik temu. "Ketemu atau tidak ibunya Jefri, kita tetep bertemu di sini dan langsung pergi ke Semarang. Apa kamu setuju Jef?" tanyanya.
Semua mata tertuju ke Jefri, ia terdiam sejenak, kemudian dengan mantap menganggukkan kepala.
"Baiklah, karena semua sudah setuju. Lebih baik sekarang kita beristirahat. Dan gantian jaga selama satu jam," lanjut Indeo. "Yang pertama jaga adalah aku selama 2 jam, untuk menggantikan Anya."
Anya tak terima, ia mau melakukan tugasnya sendiri. Akan tetapi Indro bersikeras dan Anya pun mengalah.
"Aku minta tolong padamu," pintanya ke Iko. "Periksa semua yang ada di sini, pengetahuan medismu pasti lebih bagus dari kami, jadi tolong periksa mereka. Jika perlu obat, besok kita cari," ujarnya.
Iko mengangguk dan mulai memeriksa. Boni dengan cepat memdaftarkan diri dengan menyodorkan tangannya. Sedangkan Jefri berbicara dengan Anya.
"Bersihkan dirimu di belakang, setelah itu tidurlah. Kamu perlu istirahat," tuturnya lembut.
Anya mengangguk dia pergi ke belakang dengan perlahan. Iko hendak memeriksa Alyssa, akan tetapi gadis kecil itu takut padanya.
"Nggak apa-apa, Om ini baik," ujar Sinta menenangkan.
Dengan ragu, Alyssa mengulurkan tangan. Iko tersenyum lembut, dia mulai memeriksa Alyssa.
"Ada yang sakit?" tanyanya.
Alyssa mengangguk, jemarinya yang mungil memperlihatkan lebam yang tertutup oleh kaos. Anya yang sudah kembali dari belakang dan rekannya yang lain, terkejut bukan main, ketika lebam itu tak berhenti di lengan. Namun juga di punggung dan di kakinya yang kurus.
Sontak Sinta menutup mulut, ia menangis tanpa suara dan membiarkan air matanya terus mengalir.
"Apa ... kamu dipukul oleh ayahmu?"