Chereads / ZOMBIE : To The Shelter / Chapter 28 - Pembalut

Chapter 28 - Pembalut

"... dia butuh darah," tutur Iko yang ikut masuk ke dalam kamar.

Indro menatapnya, ingin tahu lebih lanjut.

"Dia mengeluarkan banyak darah kemarin, jadi menurutku kita harus mencarikannya darah," lanjutnya.

"Apa golongan darahnya?" tanya Jefri.

"AB-," jawab Indro sedih, golongan darah Anya dan dia berbeda, anaknya itu sama dengan sang ibu.

Jefri pun terbelalak. "Aku O-, ambil saja darahku!" Jefri mengajukan diri dengan cepat tanpa ragu padahal dia sangat takut jarum suntik.

Indro seakan melihat malaikat. Dia menatap lekat pada Jefri, lantas menggenggam tangan pria yang sangat  berurat itu. "Terima kasih Jef," lirihnya dengan berkaca-kaca.

Jefri terenyuh, dia bisa melihat begitu dalamnya rasa sayang yang ada di diri Indro untuk Anya.

"Tidak perlu berterima kasih Om, ini sudah tugas kita sebagai rekan seperjalanan," sahut Jefri diplomatis, namun alasan yang paling kuat adalah karena dia tak mau Anya menderita dan berakhir buruk.

Indro menitikkan air mata, dia merasa mendapat harapan lagi setelah di bawah jembatan tadi merasa sangat ketakutan akan kehilangan Anya.

"Kalau begitu, kita harus menyiapkan peralatan. Apa ada Puskesmas di desa ini?" tanya Iko.

"Ada," jawab Jefri cepat.

"Baiklah, ayo kita pergi," ajak Iko dengan memegang tombaknya kembali.

"Aku akan menjaga di sini," sahut Indro.

Jefri dan Iko mengangguk. Mereka ke ruang tamu dan berpamitan dengan yang lainnya.

"Bon," panggil Jefri.

Boni yang sedang berbaring di sofanya bangun dengan panik.

"Ada apa?" tanyanya seraya berdiri dan hendak mengambil parang.

"Tenanggg, kami hanya berpamitan," sergah Jefri.

"Pamit? Mau ke mana Mas?" tanya Sinta dengan cemas.

"Kami harus mengambil peralatan di Puskesmas Mbak. Mbak di sini saja dengan Alyssa, beristirahatlah di kamar yang kosong, jangan di sini," sarannya, setelah melihat raut kedua wanita itu nampak begitu lelah dan takut.

"Bon, tugasmu cari makanan. Sepertinya tas kita tertinggal di warung tadi," titah Jefri.

"Maaf Mas, itu salahku," sahut Sinta dengan perasaan bersalah.

"Tidak apa-apa Mbak, itu wajar," sanggahnya dengan menepuk bahu Sinta. "Kami pamit dulu."

Ketika hendak membuka pintu, Iko berpesan pada Boni. "Jangan lupa bawakan telur dan makanan bergizi lainnya."

Setelah itu keduanya pergi.

Boni hanya menanggapi dengan bingung. "Makanan bergizi? Emang apa makanan bergizi? Daging? Mana ada daging di sini," gumamnya.

Dia kemudian mencari tas untuk pergi dan sebelum itu ia memeriksa lemari dapur. Lemari itu sangat terisi penuh dengan jaring laba-laba.

"Benar juga, nggak ada makanan," gumamnya.

Wajar saja tak ada makanan, karena Boni sering menumpang makan di rumah Jefri dan hanya meninggalkan bungkusan plastik bekas jajannya yang belum dibuang.

"Payah kau Bon," ejeknya sendiri sembari menggelengkan kepala.

Dia lalu berpamitan dengan Sinta.

"Mbak, mau nitip apa?" tanya Boni dengan canggung.

Sinta mengambil tangannya yang menjadi bantalan kepala Alyssa. Dia lantas menggantinya dengan bantal, kemudian mengajak bicara Boni di depan kamar.

"Tolong, bawakan boneka kecil kalau ada Mas. Biar Alyssa merasa punya teman," pinta Sinta dengan berbisik.

"Iya Mbak, kalau ada ya," ulang Boni dengan tak yakin.

Sinta mengangguk. Boni hendak pamit dengan Indro, namun ditahan oleh Sinta.

"Mas," panggilnya.

Boni berbalik lagi.

"Bawakan obat untuk Om Indro kalau ada, pereda nyeri atau sejenisnya. Aku lihat bahu sebelah kirinya ditahan terus menerus," terang Sinta.

"Iya Mbak, kalau ada ya," ulang Boni kembali, dia merasa ada obat di sana namun dia tak tahu, apa ada obat pereda nyeri di toko kelontong yang akan ia tuju.

Dia hendak pergi lagi.

"Tunggu mas," sergah Sinta.

Boni terhenti lagi sembari menghembuskan napas pelan, lalu berbalik dengan senyum yang dipaksakan.

"Ada lagi Mbak?" tanyanya dengan sesabar mungkin.

Sinta melambaikan tangannya, tanda Boni harus mendekat. Setelah Boni terasa begitu dekat, dia membisikkan sesuatu.

Seketika Boni terkejut, sang pembisik menunduk malu.

"Ba-ba-baik Mbak," sahutnya dengan kaku. "Aku pergi dulu," pamitnya lagi.

Sinta mengangguk, setelah Boni pamit ke Indro, ia mengantar pria tambun itu ke pintu.

"Hati-hati ya Mas, cepat kembali," pesannya.

"Iya Mbak," sahut Boni

Setelah Boni pergi, ia merasa menjadi  orang yang paling tak berguna dalam timnya. Karena itu, dia memutar otak untuk menyiapkan apa saja yang ada disekitar. Mulai dari menanak nasi, dari beras yang punya banyak kutu. Awalnya dia terkejut dengan kutu itu, akan tetapi Sinta memberanikan diri untuk memilah agar mampu menyiapkan makanan untuk teman seperjalanannya.

Semua gelas dan piring  yang ada ia cuci secara perlahan, agar tak begitu menimbulkan suara. Ia melanjutkan dengan membersihkan ruang tamu dan ruang tv memakai alat seadanya, serta menyiapkan tikar untuk tempat beristirahat temannya nanti jika berhasil pulang.

Indro yang melihatnya tak berhenti bergerak, menegurnya, "Mbak, tidur saja. Kita tak akan lama di sini."

"Ya saya tahu Pak, tapi lebih baik kalau kita bisa beristirahat di tempat yang bersih, agar tenaga kita bisa terkumpul kembali. Saya juga ...." Ucapannya terjeda, dia lalu melanjutkan dengan menundukkan kepala. "Saya juga ingin berguna untuk yang lain."

Indro terkejut, dia tahu kenapa Sinta melakukan itu. "Terima kasih untuk jasamu Mbak, kamu sangat berguna di tim kami. Kalau tidak ada Mbak, mungkin Alyssa akan menangis sepanjang jalan dan memancing lebih banyak zombi," tutur Indro dengan penuh syukur.

Sinta mengangguk tanpa menatap ke Indro.

"Kalau sudah selesai, kembalilah ke kamar. Biar saya yang berjaga di pintu," lanjut Indro.

"Bagaimana keadaan Mbak Anya, Pak?" tanya Sinta dengan cemas.

"Dia ...," jeda Indro, tatap matanya terarah ke lantai rumah Boni yang sudah terlihat bersih. "Berharap saja kalau Jefri dan Iko berhasil," lanjutnya dengan tatap yang terlihat sama sekali tak tegar. Rona kesedihan sangat nampak di wajah pria paruh baya itu. Setitik air turun dan membuat Indro langsung beralih ke sofa dekat pintu.

Perasaan sedih itu menjalar ke Sinta. Dia juga tak menyangka akan semua kejadian ini. Terlebih saat ia tahu seluruh anggota keluarganya sudah berubah menjadi zombi, ketika ia pulang dan ingin mengadukan kebejatan sang pemilik toko padanya, yang sudah berkerja selama satu tahun di sana.

Sinta menjenguk Anya yang terbaring di atas kasur. Wajah wanita cantik itu, nampak kian pucat dibandingkan tadi. Dia meremas tangan Anya. "Bertahanlah Mbak, kami semua menunggumu," ujarnya lirih.

Jika bukan karena Anya, ia tak akan ikut dengan tim ini. Setelah Anya memberikan makanan dan mengajaknya ikut bergabung, ada keyakinan bahwa para pria yang bersama Anya tak akan pernah menyakiti dirinya. Trauma akan pelecehan yang ia dapatkan, membuat Sinta tak percaya lagi kepada pria.

Setelah menatap sejenak wajah tirus bak bidadari itu, ia kembali ke kamar dan menjaga Alyssa.

Di sisi lain, ada yang sedang mengendap-endap di sebuah pekarangan rumah. Orang itu yang ternyata adalah Boni, sedang berjingkat menuju sebuah toko kelontong setelah melempar umpan batu pada zombi yang berada di sana.

Para zombi yang terpancing, berlari ke arah batu yang jatuh. Kesempatan Boni pun datang, ia masuk ke dalam toko yang sudah porak poranda itu. Sang pemilik yang adalah seorang wanita, sudah menjadi zombi dan berlari mengejar batu tadi.

Boni mulai mengumpulkan makanan apapun yang ia lihat, sembari mengingat-ingat apa saja yang dipesankan untuknya.

"Oh ya telur," gumamnya setelah teringat. "Telur, mana kau telurrr."

Dia mendapati telur yang sudah pecah tak berbentuk. "Yahhh," keluhnya tanpa suara.

Dia mulai mencari lagi, di antara banyaknya tumpukan yang berserakan. Di sebuah sudut ruangan, Boni menemukan beberapa buah krat telur yang setengahnya sudah pecah. Dengan inisiatif, dia mengganti telur yang pecah itu menjadi telur yang baru.

Boni kemudian mengingat kembali apa yang dipesankan padanya. "Obat," gumamnya dengan menjentikkan jari.

Kakinya bergerak ke arah rak obat, banyak sekali obat yang berceceran di lantai. Karena tak ada waktu, ia mengambil semua saja tanpa pertimbangan.

"Selanjutnya, boneka," gumamnya ingat pesanan Sinta.

Sayangnya memang tak ada boneka di toko itu. Dia langsung ke titipan 

Sinta berikutnya yang dibisikkan tepat di liang telinganya tadi. Jujur saja, dia kaget ketika mendengar titipan dari Sinta. Jika ini adalah keadaan normal, ia tak akan pernah mau membelikan pembalut, meski dikasih uang.

"Pilih yang mana ya?"