Jefri memekik di udara. Tubuhnya yang terpelanting tinggi, membuatnya dapat melihat pemandangan yang begitu memilukan. Ledakan itu membuat semua kendaraan kian berserakan. Sang kakek yang hampir lolos, tertindih mobil kembali.
Kobaran api muncul, melahap mobil di sekitarnya, termasuk kakek tua yang sedang mengulurkan tangan meminta tolong ke Jefri dengan tatapan penuh takut. Jefri mengulurkan tangannya, namun ia hanya mampu meraih udara kosong dan terjatuh di atas mobil dengan keras.
"BRUAK!!!"
Samar merajai kesadarannya. Sebelum pingsan, ia masih bisa melihat kobaran api yang menyala begitu terang. Setelah itu hanya ada kegelapan.
Entah berapa lama ia jatuh pingsan, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara samar.
"Jef bangun Jef!"
Kata-kata itu terulang terus menerus. Perlahan, kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit dengan pandangan yang kabur. Dalam pandangan itu, ia melihat begitu banyak bayangan yang mendekat dari jauh.
Ia yang masih belum sepenuhnya sadar, merasa sedang ditarik menjauh oleh seseorang. Kemudian, di jarak pandangnya, ia melihat seseorang yang familiar yaitu Indro. Pria tinggi besar itu sedang membopong seseorang.
Meski penglihatannya belum jelas, ia langsung tahu dan tersadar saat itu juga, kala melihat seorang wanita terkapar penuh darah di area kepala dengan tangan yang terkulai lemas. Sontak, ia bangun dan berlari menuju Indro.
"Anya! Anya!" serunya panik.
Anya terdiam pucat, dengan darah yang mengalir deras di dahi. Tiba-tiba ada yang menarik kaosnya.
"Lari!!!!" seru seseorang yang ternyata Iko.
Dia kebingungan, ada suara yang menggema di telinga Jefri selain suara Iko.
"Harghhhh!!! Harrghhhhh!! Huarghhhh!!!"
Suara itu samar, namun dia tahu pasti siapa yang sedang mendekat meski tertutup banyaknya asap.
"Masuk sini!" seru Iko yang sudah berada di atas bak truk, ia lantas membuka penutup belakang truk tronton yang sangat tinggi.
"BRANG!!"
Ketika penutup itu dibuka, terlihat tumpukan karung tepung berlogo segitiga yang begitu tinggi. Iko langsung mendorong semua karung tepung yang berada di pinggir, hingga membuat Indro dan Jefri menyingkir. Jefri lantas naik ke sisi yang lain dan membantu Iko. Setelah cukup ruang, mereka mengangkat Anya naik secara bersamaan dan membantu Indro untuk masuk ke dalam truk.
"Ayo kita tutup!" ajak Iko dengan menatap Jefri.
Jefri langsung mengangguk dan ikut turun bersama Iko. Sayangnya, pintu sangat berat, mereka kesusahan.
"EHHHHH!! EHHHH!!"
Pintu hanya bisa naik sedikit.
"Tunggu!" Indro berseru.
Seketika, Jefri dan Iko berhenti.
"Biarkan aku turun dulu," pinta Indro.
Mereka langsung menurunkan kembali pintu itu dan membiarkan Indro turun.
"Ayo! 1 2 3!" seru Indro setelah bersiap di posisi, ikut membantu.
Seluruh tenaga dikerahkan, hingga wajah mereka menjadi merah dan urat-urat di tangan ikut timbul karena saking beratnya pintu itu. Akhirnya setelah berjuang, pintu itu mampu naik dengan cepat.
Iko langsung memanjat badan truk dengan lincah, lantas membantu dari atas, mengunci kedua sisi pintu.
"HUARGGGGHH!!!!!"
Beberapa zombi sudah siap menerkam Indro dan Jefri yang jaraknya sudah sangat dekat. Karena tak membawa tombak dan tak tahu tombak mereka ada di mana, alhasil mereka berdua hanya bisa menghindar, mengitari truk.
Jefri memanjat badan truk layaknya kera, begitu lincah dan cepat. Indro yang masih setengah jalan, tertangkap kakinya oleh salah satu zombi. Dengan susah payah, ia berusaha melepaskan diri.
Jefri membantunya dengan menjatuhkan karung tepung berulang kali, hingga kaki Indro bisa lepas dari tangan zombi itu. Indro lantas bergegas naik dengan bantuan Iko.
"HAHHH HAHHH HAHHHH!"
Mereka bertiga kelelahan. Dengan wajah yang berantakan akibat terkena ledakan, mereka duduk lemas di atas karung tepung.
"Kita harus sembunyi," ujar Iko, setelah deru napasnya mengalun lebih teratur.
Sebagai seorang tentara, hidup dalam keadaan darurat adalah makanannya setiap hari. Maka dari itu, ia bergegas mengamati area sekitar dan membuat pertahanan diri setelah berkoordinasi dengan kedua rekannya.
Bak truk yang penuh dengan berkarung-karung tepung itu, disulap menjadi bak kolam renang tanpa air. Anya ditempatkan di tengah-tengah kolam, luka di dahinya terus saja mengucur hingga membuat karung tepung menjadi merah.
Napas mereka tersengal, kelelahan terlihat jelas di wajah ketiganya yang sedari tadi bergerak tanpa henti. Akan tetapi, mereka tak bisa beristirahat, karena Anya butuh pertolongan.
Indro mulai memeriksa keadaan sang anak. Ia merasa sedikit lega kala mengetahui hanya ada satu luka di tubuh Anya. Hanya saja, luka yang di derita Anya cukup parah, jika tak segera ditangani, ia bisa kehilangan nyawa anaknya itu.
"WRECKKK!!"
Indro merobek kaos pemberian dari Iko, untuk menahan pendarahan di dahi Anya. Perutnya yang buncit, menjadi sedikit terlihat.
"Apa tas kita tertinggal di mobil?" tanyanya dengan nada suara yang begitu cemas.
"Tidak, tas itu dibawa Mbak Sinta," jawab Jefri cepat, dia sama khawatirnya dengan Indro.
Melihat wajah Anya yang terdiam seperti itu, membuat dirinya lemah. Dia rela menggantikan Anya terluka jika bisa.
"Di mana Sinta?" Indro bertanya sembari mengintip ke sekitar dari balik tumpukan tepung.
Jefri juga melakukan hal yang sama. Sedangkan Iko, langsung menggantikan tugas Indro menahan pendarahan Anya.
Begitu banyak zombi yang berdatangan tanpa henti dari empat penjuru persimpangan. Bahkan ada yang datang dari area persawahan dengan membawa caping atau topi sawah yang terbuat dari bambu. Mereka merasa, bahwa zombi sudah menguasai semua daerah di kota tempat tinggal mereka berdua itu.
Ketika sedang mengintip, ada seseorang yang melambaikan tangan di dalam rimbunnya sebuah pohon. Tangan itu terasa begitu familiar. Dan tangan itu menunjuk sesuatu di jalan. Jefri melihat arah tangan itu.
"Om, Om!" panggil Jefri semangat dengan menepuk pundak Indro. "Di sana!" Jefri menunjuk sebuah tas yang berada di samping mobil berwarna putih.
Indro merasa sedikit lega, namun ada begitu banyak zombi yang menghadang, dia tak akan mampu mengambilnya. Dengan mengolah otak cerdas yang ia punya, Indro kembali terduduk di dalam kolam buatan. Tercetuslah sebuah ide yang sangat ekstrim dan ia tak yakin bisa melakukan.
Keraguannya berbuah keyakinan, ketika melihat kain kaos yang dijadikan sebagai penahan, sudah basah kuyup oleh darah Anya. Dengan cepat, ia membuka sisa kaosnya dan mengikatkan di kepala sang anak. Ia tak mau Anya mati.
Indro tertunduk sejenak di samping anak semata wayangnya itu. Ia lantas kembali menatap Anya dengan perasaan campur aduk. Selaput kaca yang ringkih, sudah nampak di bola mata Indro. Kaca itu akan pecah berkeping-keping jika wanita cantik yang ditatapnya saat ini meninggal dunia, mengikuti jiwa sang ibu yang sudah berada di surga.
Apa kamu bisa menjahit lukanya?" tanyanya ke Iko dengan tatap penuh harap.
Iko mengangguk. Indro merasa benar-benar harus mencoba idenya. Tak ada waktu lagi untuk ragu.
"Aku harus melakukan sesuatu!"