"Tuan Muda ... anda harus segera ke rumah sakit."
Gerakannya ragu-ragu, apa yang ada di depan mereka bukanlah pemandangan biasa. Bahkan jika ini di medan perang sekali pun. Dia takut melukai sosok di depannya.
Tubuh kecilnya yang duduk di atas tanah dengan lemah, sangat memilukan dirinya. Wajahnya perlahan melihat pelayanan setianya, cairan berwarna merah kental mengalir dari kepalanya. Hingga mengenai matanya yang bengkak karena terluka.
Sangat pilu, itulah yang dia rasakan.
"Tuan Muda, maafkan saya! Ayo kita ke rumah sakit!" Dia berteriak, menangis, dan memeluk tubuh yang dia panggil tuan muda. Tubuhnya gemetar, tapi anak bertubuh kecil itu terlalu tenang dalam situasi seperti ini. Dia tak menangis, tak bergetar, tak berteriak, hanya hampa.
Dua jam yang lalu semuanya tampak baik-baik saja. Berjalan seperti biasa, tanpa ada firasat bahwa hal buruk seperti ini akan terjadi.
Mereka masih tertawa di meja makan.
"Ayah, lihatlah ini, brokolinya terlihat seperti gunung." Dia tertawa dengan cerah, menunjukkan brokoli yang ada di atas sendoknya.
"Jika sudah waktunya makan, ayo, makan saja," ucap Ibunya dengan tenang.
"Ibu, Ibu ...," ucapnya ragu, dia memang sedikit pemalu, "Lihat bentuk yang ini," dia menunjuk daging steak yang ada di piringnya, "Ini sangat bulat dan berwarna coklat yang sangat bagus."
Ibunya tertawa kecil, anak itu memang selalu ingin diperhatikan. Walaupun dia malu, dia tak mau kalah. Sekarang wajahnya memerah karena malu pada keluarganya yang sedang tertawa kecil karena apa yang dia ucapkan.
"Tak apa, sayang. Ibu juga suka warna steakmu. Koki kita pasti memasaknya dengan sangat baik."
Ibunya menenangkannya, memeluk tubuh kecil, dari dada ibunya yang mendekapnya, dia melihat ayahnya tersenyum. Sebuah brokoli yang tadi ada di atas piring ayahnya.
"Ayah mau steak-ku?" tawarya dengan malu-malu.
"Jadi, kau mau steak Ayah? Kemarilah," ajak ayahnya. Dia menurut dengan membawa piring hati-hati. Setelah sampai di depan ayahnya, dia meletakkan steaknya di atas piring ayahnya. Dengan brokoli di samping daging steak itu, semuanya tampak sempurna.
"Terima kasih, Sayang," ucap ayahnya lembut. Sekarang dia bersembunyi dibalik ayahnya, menyembunyikan wajah malunya.
"Ini steak untukmu. Punya ayah." Dia meletakkan steaknya, mengisi kembali piring anaknya.
"Te-terima kasih, Ayah."
"Sekarang, duduklah. Kita akan makan malam bersama. Kita butuh makanan agar tubuh bisa bertumbuh dengan baik." Dia tersenyum, dia duduk kembali di kursinya.
Mereka menyantap makanan dengan tenang, tak berselang lama keributan terjadi.
Dor! Dor!
Mata mereka membulat, tentu apa yang mereka dengar suara tembakan. Itu bukan hanya sekali, tapi berulang-ulang. Ketakutan merayap dari punggung mereka, mencekik kerongkongan mereka, hingga kesulitan bernapas.
Nuza kembali setelah mengecek apa yang terjadi, wajahnya tegang, dia tampak sangat panik.
"Tuan, segerombolan orang bersenjata api menerobos rumah!" ucapnya dengan panik. "Tuan, ayo ikuti saya, kita harus melarikan diri sekarang!" teriaknya memecahkan lamunan tuannya.
Dia sedang kebingungan sekarang, ada nyawa orang-orang yang dia sayangi, harus dilindungi. Dan suara tembakan itu semakin mendekat.
"Baiklah, ayo, kita pergi!"
Dia menarik anaknya, istrinya berlari di dekatnya. Suara jantung mereka tak karuan karena suara tembakan dan teriakkan ada di mana-mana. Kekhawatiran dan rasa panik itu semakin menjadi, karena anaknya menangis karena ketakutan.
"Te-tenanglah, Sayang. Kalian akan selamat dari sini. Ayah akan memastikannya."
Dor!
Sebuah tembakan menembus tulang betisnya, dia berteriak sangat kencang karena rasa sakit yang luar biasa. Dipastikan tulang keringnya hancur.
"Ayah!" teriaknya ketakutan, air mata membanjiri pipi mereka.
"Kau sudah ditakdirkan mati sekarang," ucap seseorang dengan langkah kaki yang mendekat.
Dia gemetar, memperhatikan orang-orang yang dia cintai. Dia melirik istrinya yang menangis walaupun berusaha bersikap kuat.
Dari kedua mata mereka, mereka berbicara agar bisa mendapatkan hasil terbaik dari kejadian ini, istrinya menggeleng. Dia tak mau meninggalkan suaminya sendirian.
Sang suami mencoba berdiri, dan orang di depannya menyeringai, meremehkannya. Senjata api yang sudah ditodongkan ke arahnya dari jauh, tak membuatnya gentar.
"Larilah!" teriakannya membuat sang istri berlari bersama anaknya.
Saat proses pelarian itu, orang yang mengincar mereka tak tinggal diam, dia berapa kali menembakkan senjata dan dengan tubuhnya, dia melindungi keluarganya.
Air mata mengalir dengan deras, dengan tembakan sebanyak itu, sudah dipastikan suaminya tak akan selamat.
Nuza pelayan setia mereka berhasil melarikan diri terlebih dahulu, mencoba membuat situasi yang bisa menyelamatkan mereka semua. Sekarang dia harus bertahan, agar anaknya yang pemalu ini mampu bertahan hidup.
"Ah, kau mau kabur ke mana?"
Tubuhnya ditendang dengan cukup kuat, membuatnya terjatuh.
"Ibu!" teriaknya langsung memeluk ibunya. Dia menatap dengan takut kepada orang-orang yang menendang ibunya.
"Hei, dia sangat cantik. Sayang sekali jika kita menghilangkannya sekarang."
"Jangan berulah. Selesaikan ini dengan cepat. Apa kau mau membuatnya marah?"
Dia menyeringai, "Tentu saja tidak."
"Tu-tuan, apa anda menginginkan uang? Aku bisa memberikannya berlipat-lipat, asal kalian melepaskanku dan anakku ...." Dia memohon sambil memegangi kaki mereka. Dia ingin anaknya selamat, bahkan jika dia tak selamat.
"Uang? Aku lebih takut dengannya. Selamat tinggal."
Sebuah tembakan tepat melubangi kepalanya. Mata anaknya bergetar, dia menangis sejadi-jadinya, memeluk tubuh ibunya yang bersimbah cairan kental berwarna merah pekat.
"Bagaimana dengan anak ini? Kita lenyapkan juga?"
Salah satu dari mereka mengerutkan keningnya karena berpikir.
"Kita jual di pasar organ saja. Anak kecil seperti ini memiliki harga yang mahal."
"Baiklah kalau begitu."
Bugh!
Dia memukul tengkuk anak itu hingga pingsan.
**
Dia sudah bergerak cepat.
Tapi dia sangat meragukan bahwa tuan dan nyonyanya selamat. Satu-satunya yang berhasil dia bawa adalah anak mereka yang sedang dia bawa.
"I-ibu ...." Air matanya terus mengalir, membuat Nuza merasakan perih di hatinya.
"Itu mereka!" teriak seseorang dari kejauhan, Nuza berpikir cepat, untuk menyelamatkan tuan mudanya, dia terpaksa melemparkan tubuh tuan mudanya ke arah jendela.
"Anda harus hidup, Tuan Muda!" bisiknya.
Bugh!
Tubuhnya terasa sangat sakit, dari dalam rumahnya, dia melihat kilatan api yang bersamaan dengan suara tembakan. Air matanya mengalir, apa yang terjadi di depannya sangat mengerikan.
Dia tahu bahwa Nuza masih mencoba bertahan, dia melakukan perlawanan, tapi dia tak tahu apa Nuza berhasil selamat dari itu.
Di mengingat ucapan Nuza, di harus bertahan dari ini. Harus, agar dia bisa menghancurkan mereka.
Dengan kesulitan, dia merangkak, berusaha menyelamatkan dirinya dengan tubuh tak mau merespons perintahnya.
Duar!
Ledakan besar terjadi, api melahap rumahnya. Dia memandang api besar itu dengan tatapan kosong karena terlalu syok, rasa panas dari api yang sangat besar tak membuat tubuhnya terasa panas. Tubuhnya merasa tak sakit lagi, dia hanya memandangi rumahnya, rumah yang dulu berisi tawa dan kehangatan dari keluarganya. Sekarang hilang dilahap api yang sangat besar.
Semuanya hilang hanya dalam waktu sebentar. Air matanya mengalir, dia mengingat wajah keluarganya, waktu yang mereka lalui untuk terakhir kali tadi.
"Tuan Muda, syukurlah anda selamat." Nuza mendatanginya, tubuhnya penuh luka, tapi yang paling dia khawatirkan adalah tuan muda yang dia layani.
Dia berjalan perlahan, mendekati tuan mudanya.
"Tuan Muda ... Anda harus segera ke rumah sakit."
Saat mata mereka saling melihat, dia tahu betapa hancur tuan muda yang di layani.