Chereads / Suami Manis Dan Buasku / Chapter 3 - Bertukar Posisi

Chapter 3 - Bertukar Posisi

Dia menaikkan tubuh Eliza di atas tubuhnya, menggendong dengan wajah yang saling menatap. 

"Aku sudah bilang berapa kali padamu, untuk tak berlarian seperti itu?" 

Eliza mengernyitkan keningnya seolah berpikir. Bibirnya yang berkerut membuatnya tampak lebih menggemaskan. 

"Entahlah," ucapnya dengan manja. "Tapi selamat datang." Eliza memeluk kepalanya, membuat mata yang tadi menatapnya berada di atas dadanya yang berisi. Eliza tertawa kecil. 

Orang akan berpikir seperti apa yang dia lihat. 

Orang-orang tahu bahwa Eliza adalah istri dari Arash. Mereka pasangan tanpa konflik, pasangan penuh cinta yang bergairah. 

Tapi mereka semua tidak mengetahui, bahwa Eliza menyimpan rahasia dalam pernikahannya. 

"Aku cemburu jika kau begitu padanya." Arash mengambil tangan Eliza, mengecupnya sekali lalu memandang Eliza yang sekarang lebih tinggi darinya. 

"Kau tidak perlu cemburu padaku, aku tak bertemu dengan Eliza selama dua hari. Dan selama itu juga kau memonopolinya," ucapnya dingin. Arash menyeringai, tentu saja dia melakukannya. Dia menikmati Eliza sendirian, waktu mereka berdua sangatlah lama. 

Eliza meronta, dia meminta turun dari pria yang menggendongnya tadi. Setelah turun, Eliza berjalan perlahan ke arah kamarnya yang luas. 

Keduanya mengikuti Eliza, memandang Eliza dengan penuh cinta, saat Eliza duduk di atas kasur, keduanya mendekat. Arash menciumi tangan Eliza, seorang lagi mengambil madu dari mulut Eliza. 

"Aku kangen sekali padamu, Aresh."

Mata mereka bertiga memandang penuh gairah. 

Rahasia yang tak diketahui semua orang adalah, Eliza menikahi dua orang pria, dan keduanya adalah saudara kembar. 

Mereka menjalani hari-hari pernikahan mereka secara bersama, bercinta, dan melakukan apa pun hampir selalu bersama. 

"Eliza, aku hampir mati di sana karena sangat rindu padamu." Aresh menjatuhkan tubuh Eliza di atas kasur. Keduanya saling tatap, pria di depan Eliza mempunyai sorot mata yang tajam, seakan dia siap menerkam Eliza. 

Melihat Eliza yang terbaring dengan pasrah, dia melanjutkan kegiatannya tadi, menciumi leher Eliza berulang-ulang. Jika bagian atasnya diserang oleh Aresh, Arash sedang sibuk di bagian bawah. 

Kaki mulus Eliza diciumi oleh Arash dengan lembut. Dari jempol kaki, dan perlahan naik. Eliza tak kuasa menahan dua permainan dari dua suaminya. 

"Ah ...." Dia mendesah sekali. Aresh tentu saja mendengarnya. Jempolnya yang besar dia gunakan untuk membuka mulut Eliza, memainkannya berulang kali. 

Arash tak mau kalah, pada bagian bawah yang sangat sensitif, dia mengusapnya berulang kali. Tak butuh waktu lama bagi mereka bermain bersama, di tengah keheningan malam, deru napas dan suara desahan mereka terdengar. 

**

Dia melihat saudara kembarnya yang sedang memangku Eliza, berapa menit sebelumnya, mereka memperebutkan Eliza agar duduk di pangkuan mereka. Tapi Eliza lebih memilih untuk duduk di pangkuan Aresh. 

"Arash, kemarin aku selalu bersamamu, jadi biarkan Aresh yang bersamaku," rayu Eliza dengan lembut, dia mencium bibir Arash. Seketika Arash melemah, dia mengangguk begitu saja karena sebuah ciuman Eliza yang membuat otaknya membeku. 

Setelah sadar, dia merasa iri. Tapi wajahnya selalu tersenyum pada Eliza. 

Untung sekali ini adalah weekend, mereka bertiga bisa menghabiskan waktu bersama dengan begitu lama. 

"Eliza, ayo, kita kencan," ajaknya saat Eliza menyuapkan sesuap cake pada Aresh. 

"Boleh saja, Aresh. Ada cafe baru yang ingin kukunjungi." Dia tersenyum, setelah menjawab pertanyaan Aresh, Eliza melirik Arash yang masih tersenyum memandangnya. 

"Arash, hari ini gantian dengan Aresh. Seperti biasa, ya  sayang." Dia turun dari pangkuan Aresh, berjalan pada Arash yang telah menunggunya dengan tatapan sehangat matahari pagi. 

Bagi mereka berdua, bergantian berjalan dengan Eliza di publik secara bergantian adalah hal yang biasa. Semua orang hanya mengetahui Arash, mereka tak tahu Arash punya saudara kembar, dan Arash tak pernah mengatakannya. Mereka berdua menyembunyikan fakta itu.

Arash dan Aresh, saat mereka berjalan bersama di publik, mereka dikenal sebagai Arash. 

Sifat mereka yang berbeda, membuat orang terkadang bingung dengan Arash. Jika Arash berjalan bersama Eliza, dia akan sering tersenyum, sedangkan Aresh, dia mempunyai tatapan yang dingin pada siapapun. 

"Baiklah, jangan tinggalkan aku terlalu lama, Eliza." Dia menyentuhkan keningnya ke kening Eliza, bermanja dengan itu. 

Eliza tersenyum, "Iya, Sayang."

Aresh memandangi mereka, dingin dan tak sabar. 

"Kau harus menjaga Eliza dengan baik. Jika tidak, kau akan tahu akibatnya."

Mendengar peringatan Arash,  Aresh menyeringai. Dia berdiri dari kursinya  mendatangi mereka. 

"Kau tahu siapa aku."

Arash diam, dia tak menanggapi Aresh karena tahu siapa Aresh-lah dia merasa khawatir. 

**

Eliza memakan es krim nya dengan tenang. Orang-orang yang tahu tentangnya memperhatikan dari kejauhan, sedangkan Aresh, dia memandang Eliza dengan lekat. Orang-orang mungkin akan mengira bahwa dia sedang marah pada Eliza, karena tatapan matanya itu terkesan dingin. Tapi itu adalah tatapan miliknya yang menginginkan Eliza. 

"Kau begitu manis," ucap Aresh dengan tatapan siap menerkam, menggerakkan jempolnya mengusap bibir Eliza yang terkena es krim. Kemudian menjilatnya dengan seksi. 

Eliza terdiam memperhatikan itu, dia mengakui bahwa dirinya sekarang masih sangat rindu dengan Aresh, perpisahan selama dua hari itu sangatlah berat. 

Dia menggerakkan tangannya, memegang tangan Aresh yang ada di atas meja. "Kau begitu ingin bersamaku?" Aresh menyeringai. 

Eliza sedikit mengerutkan bibirnya dengan imut. Itu memang benar, dia memang tak bisa berpisah dari Aresh, maupun Arash. 

"Aresh, kali ini kau akan lama 'kan di rumah?"

Aresh mengangguk, bukan keinginannya juga yang sering meninggalkan Eliza. Sesuai dengan apa yang mereka diskusikan, bahwa mereka tak bisa mundur, dan mengacaukan segalanya. 

Mereka harus menangkap ekor yang selama ini mereka kejar. Arash dan Aresh selama ini berusaha keras, bahkan mereka sengaja menyembunyikan tentang Aresh, orang yang dinyatakan meninggal 17 tahun yang lalu. 

Aresh bagaikan orang tanpa identitas, keberadaannya di bumi sudah dianggap tak ada. Itu adalah kerugian Aresh, tapi juga sebuah keberuntungan baginya. Dia mampu bergerak sesukanya. 

Untuk menghabiskan waktu bersama Eliza, dia akan bertukar dengan Arash. 

"Kau tidak perlu khawatir, Sayang. Kami berdua sangatlah hebat. Kau hanya perlu memikirkan dirimu sendiri."

Aresh menyuapkan es krim ke mulut Eliza, membuat wanita itu sibuk dengan hal lainnya. 

"Bukankah itu Eliza?" Suara seorang pria mengganggu mereka, Aresh benci jika sudah seperti ini. Apalagi yang mendatangi mereka adalah seorang pria. 

Bugh! 

Pria tersebut tersandung karena terlalu bersemangat untuk mendatangi Eliza. Tubuhnya terjatuh dan tanpa sengaja membuat kotor baju Eliza dengan es krimnya yang tumpah. 

"Ma-maafkan aku, Eliza. Aku tak bermaksud berbuat seperti ini. Apa kau terluka?" tanyanya dengan panik, dia mengambil tisu dengan panik, dan mengelap paha Eliza yang terkena tumpahan es krim. 

Aresh meradang, dia berdiri dari tempat duduknya, membuat pria tersebut menyingkir dari Eliza. 

"Pergilah. Kau tak seharusnya berbuat seperti itu." Tatapan mata Aresh sama sekali tak bersahabat. 

Pria tersebut menelan salivanya dengan takut, yang ada di depannya sekarang adalah suami Eliza dan dia melakukan kesalahan. 

"Aku sungguh minta maaf," ucapnya dengan menundukkan, sekarang dia gagal untuk meminta foto bersama Eliza dan suami Eliza memandangnya dengan tajam. 

"Tidak apa. Kau boleh pergi dari sini." Eliza tersenyum sangat ramah, dia memegang tangan Aresh yang mengeras. 

Eliza memperhatikan pria tersebut, yang perlahan tak terlihat. 

"Jangan lakukan apa pun, Aresh," ucapnya sedikit memohon pada Aresh. Mata Aresh masih terlihat dingin tanpa ekspresi. 

Tanpa jawaban dan anggukan, Aresh mengabaikan permohonan Eliza. 

"Aku akan membersihkan tanganku di toilet." Aresh menunjukkan bekas es krim di tangannya. 

Eliza tak bisa berbuat banyak, dia mengangguk, memperhatikan suaminya yang perlahan menghilang untuk ke toilet. Eliza menghela napas pelan. keningnya seketika berkerut, dia tak bisa melarang Arash dan Aresh. 

Termasuk saat Aresh akan memberikan balasan pada pria yang menumpahkan es krim dan menyentuhnya tadi. 

**

Aresh menatapnya dengan tajam. Dia tak suka miliknya dipegang oleh orang lain. 

Saat orang lain menatap Eliza dengan mata penuh hasrat ingin memiliki, Aresh ingin sekali mencungkil mata mereka, agar tak bisa memandang Eliza. 

Darahnya terasa mendidih karena ulah pria tadi, dia menunggu dengan tenang, di sudut yang tak terlihat, di antara gang sempit, Aresh menarik tubuh pria tersebut, menutup matanya, dan mematahkan tangannya. 

Hanya butuh waktu sebentar untuk semua itu. 

Karena Aresh sangat berpengalaman.