"Tuan Muda Aresh, Tuan Muda Arash baru saja sampai."
Walaupun mereka berdua telah cukup tua untuk di panggil tuan muda, Nuza tdka bisa melepaskan panggilan itu. Keduanya pun tak mempermasalahkan panggilan dari Nuza.
Aresh melirik ke arah kanannya memperhatikan Arash yang muncul di sambut oleh Eliza yang berlari ke pelukkannya.
"Arash, kau pasti lelah karena baru pulang." Suara Eliza terdengar sangat merdu di telinga Arash.
"Mendengar suaramu saja, rasa lelah ku langsung menghilang," ucapnya dengan manis. Dia mengecup bibir merah Eliza.
Eliza tersenyum.
"Arash, ayo kita berlatih," ajak Aresh.
Arash mengangguk. Tapi Eliza tampaknya tidak telah Arash langsung menyibukkan dirinya.
"Tapi dia masih lelah, Aresh."
"Eliza sayang, itu tak masalah. Aku akan berlatih menembak sekarang bersama Aresh. Kau paling tahu tentang kami, kan?" rayu Arash, dia mengangkat tubuh Eliza sekali, menciumnya di udara dengan cukup lama.
"Kau bisa melihat kami. Bukankah katamu, kami sangat seksi saat menembak?"
Eliza mengangguk. Setiap kali kedua saudara kembar itu menembak, Eliza mengagumi mereka, merasa bahagia karena kedua pria tampan tersebut adalah miliknya. Senyum semeringah sering kali muncul di wajahnya kalau dia memperhatikan keduanya dengan bangga.
Berulang kali suara tembakan terdengar, keduanya cukup hebat dalam kegiatan ini. Aresh mengoreksi Arash jika dia melakukan kesalahan. Saudara memang harus saling membantu, kan?
"Bagaimana tentang itu?" tanya Arash sebelum melepaskan tembakan di papan sasaran yang bergerak menyamping.
"Seperti dugaan kita, orang berpengaruh."
"Tentu saja. Itu sangat pasti. Karena itulah kita kesulitan menangkapnya."
Tembakan beruntung mereka lepaskan secara bersamaan.
"Bisnismu?"
"Berjalan lancar karena kau selalu membantuku dari belakang." Arash melirik Aresh sayang sedang membidik sasaran dengan fokus.
Seperti dugaan Arash, tembakan yang dilakukan Aresh mengenai bull eyes. Dia memang paling jago bermain dengan senjata api.
Karena kelihaian Aresh lah dia berhasil menjadi pemimpin mafia yang di segani, di umurnya yang masih muda, Aresh telah menjadi salah yang paling ditakuti. Bahkan mereka sering kali mengirim mata-mata untuk membongkar rahasia tentang siapa dibalik topeng itu, tapi mereka semua lenyap.
Bahkan yang mengirimnya sering kali juga menghilang karena Aresh.
"Mereka lebih sulit daripada yang kita duga. Tapi kita ada di jalur yang benar." Arash mengisi magezine, bersiap menembak kembali.
"Kekuasaan selalu dekat dengan uang, dan uang mereka didapat seperti kita."
Aresh mengangguk mendengar penjelasan saudaranya. Dalam dunia manusia uang adalah kekuasaan, tapi jika dia orang yang tak punya kekuatan, uang hanya sekedar kertas biasa.
"Arash, Aresh, istirahat!" teriak Eliza dari belakang mereka. Tiga buah minuman berwarna merah muda yang tambak dingin telah tersusun di atas meja. Keduanya sudah tahu minuman apa itu, sebuah milkshake stroberi kesukaan Eliza, yang sebenarnya mereka kurang sukai.
Mereka meminumnya karena Eliza yang memberinya.
"Sepertinya kita harus sudahi hari ini." Arash meletakkan senjata apinya lebih dulu, di susul oleh Aresh, dan keduanya berjalan bersamaan ke tempat Eliza.
Eliza menyukai penampakan yang ada di depannya, saat keduanya berjalan bersama, keindahan akan meningkat berkali-kali lipat. Dalam hati Eliza, dia ingin sekali memamerkan pada semua orang bahwa dia mempunyai hal paling indah sedunia.
"Duduk di sini," ajak Eliza lembut.
Keduanya duduk di samping Eliza, Eliza tampak sangat kecil diapit oleh dua pria bertubuh besar.
"Kalian pasti lelah." Eliza menyeka keringat Arash terlebih dahulu, setelah yakin keringat Arash sudah tak ada dia menyeka keringat Aresh.
"Kalian membicarakan apa tadi?" tanya Eliza penasaran. Keduanya suaminya mempunyai aura intimidasi yang berbeda, bahkan jika mereka berdua berkonflik dengan berdiam diri, dominasi mereka berdua begitu terasa.
Mereka sedang tidak berkonflik lagi, kan?
Aresh menyedot minumannya.
"Tentang para sialan yang kami kejar," jelas Arash yang menyadarkan kepalanya di pundak Eliza, Eliza mengusap kepala Arash dengan lembut. Mendapatkan usapan lembut dari Eliza, Arash semakin memanjakan dirinya pada Eliza.
Mata Eliza menajam. Membicarakan para sialan itu, tentu saja memancing emosi di hati mereka. Walaupun baik Arash dan Aresh tampak tenang, Eliza sangat tahu betapa sakitnya mereka. Karena ulah para sialan itulah, Arash dan Aresh menjadi begini.
Semakin cepat mereka tertangkap, semakin bagus nantinya.
"Eliza, keningmu jangan berkerut seperti itu. Biar kami yang memikirkan masalah ini." Arash mengusap wajah Eliza, membuat wajah Eliza melembut.
"Kau hanya perlu memikirkan kami," ingat Aresh. Dia tak suka Eliza memikirkan masalah ini, dia hanya ingin Eliza bahagia, menikmati hidupnya.
Setelah mengucapkan itu, Arash dan Aresh masing-masing mengecup punggung tangan Eliza.
Eliza tersenyum manis. Pemandangan yang tampaknya bisa membuat iri para wanita lain.
"Ehm." Nuza batuk, "Kalian harus memikirkan orang tua ini," ucap Nuza dengan malu-malu. Sejak tadi dia memperhatikan mereka bertiga yang terlihat sangat manis.
"Kapan kalian akan memberikan orang tua ini cucu?"
"Jika Eliza mau, kami akan memberikan cucu untukmu, Nuza," ucap Arash dengan senyuman khasnya.
Nuza mengangguk. Kedua tuan mudanya sangat memprioritaskan Eliza, masalah anak, tentu saja mereka akan memikirkan keinginan Eliza terlebih dahulu.
Karena itu adalah tubuh Eliza, dan Eliza yang menanggung sakitnya.
"Ah, akan lebih tenang jika setelah sekian urusan ini selesai, baru kita mempunyai anak."
Eliza telah memikirkannya, sebagai orang tua yang baik, dia harus memikirkan tentang anaknya. Dalam situasi seperti ini, mereka bisa membahayakan anak mereka.
**
"Tuan Dragon, anda telah datang," sambut seseorang saat Aresh yang menggunakan topeng muncul di depannya. Dia sedikit menunduk, menghormati Aresh yang beraura kuat, seorang pemimpin mereka.
"Apa kalian telah menyelesaikan apa yang kuminta?" tanyanya dengan tatapan dingin. Sangat dingin hingga bisa membekukan tulang mereka.
Dia tersenyum, wajahnya tampak tenang, dengan alus yang terbelah di bagian kanan, seorang yang lebih tua dari pada Aresh
"Tentu saja sudah selesai. Mereka ada di ruang bawah tanah sekarang."
Aresh tidak mengatakan apa pun lagi, dia berjalan menuju ruang bawa tanah.
"Sky, apa kau sudah membersihkan lokasi dengan baik?"
"Sudah. Aku sudah yakin, Tuan Dragon."
Karena mendengar jawaban yang sangat meyakinkan dari orang kepercayaannya, Aresh tak memikirkan hal itu lagi.
Orang yang ingin mengungkap tentangnya, akan Aresh hilangkan. Dia ingin identitasnya tak di ketahui, dan bodohnya mereka, mereka bahkan ingin menghilangkan nyawa Aresh. Jika saja Sky orang kepercayaan yang diperintahkan Aresh tak membuntutinya malam itu, mereka mungkin masih bisa meloloskan diri.
"Kalian harus bersyukur masih hidup sampai sekarang." Aresh memperhatikan tiga orang yang dikurung di ruang bawah tanah, tubuh mereka berwarna merah karena cairan kental yang mereka keluarkan.
"Sky, kau ternyata terlalu baik pada mereka. Lihatlah tatapan mereka." Aresh menunjuk ke dalam jeruji besi, tatapan yang tak bersahabat yang mereka berikan membuat Aresh kesal.
"Kurasa seperti itu, Tuan dragon." Sky langsung menekan luka mereka, membuat mereka berteriak dengan sangat kuat. Memecahkan keheningan ruang bawah tanah.
"Siapa yang menyuruh kalian?"
Seorang dari mereka membalas tatapan dingin Aresh. Dia menyeringai sekarang.
"Tampaknya, kita apunya anjing setia di sini, Sky."
Sky mengangguk, dia tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Membuat anjing setia itu lebih menderita dibandingkan yang lainnya.