Tujuh belas tahun kemudian.
Orang akan mengucapkan atau memikirkan apa yang mereka lihat.
Begitulah manusia berlaku.
Begitulah manusia bekerja, mereka mempunyai otak untuk berpikir yang diatur oleh hati yang seringkali menyesatkan.
Dia menggerakkan tubuhnya entah berapa kali, berpose dengan indah di tengah suara shutter dan kilatan lampu. Mata orang-orang mengagumi kehebatannya, tak ada ucapan buruk atau meremehkan untuknya. Dia seakan dilahirkan untuk pekerjaan ini, karena dia melakukannya dengan sempurna.
Orang-orang setuju, menyebutnya sebagai dewi. Kakinya yang jenjang nan mulus berpose dengan indah di kala wajahnya dibuat dengan ekspresi penuh menggoda. Secara alami, mereka melupakan cara bernapas.
"Eliza, kau sungguh seorang dewi!" Seorang fotografer berteriak memujinya, saat dia telah menyelesaikan pemotretan. Selama karirnya menjadi fotografer, baru kali ini dia menemukan model yang sangat hebat dalam segalanya, berpose, berekspresi, dan mengendalikan gerakannya dengan cepat. Tak ada yang terlihat kacau, atau membosankan.
Dia tersenyum, "Anda terlalu memuji, Arya. Pemotretan ini berjalan lancar tentu saja karena kehebatan anda." Eliza mengingat siapa nama fotografer yang bekerja bersamanya hari ini. Dia sudah terbiasa melakukan hal tersebut, dengan mengingat nama mereka, artinya dia menghormati mereka.
Senyum manisnya itu selalu mampu membuat hati orang-orang terenyuh, dan jatuh cinta padanya.
Wajah fotografer tersebut memerah, dia mengakuinya sekarang, model ternama seperti Eliza mempunyai hati yang sangat rendah hati, dia perwujudan dari dewi yang turun ke bumi. Semua pujian untuknya bukanlah omong kosong.
Dia menyukai bekerja bersama Eliza.
"Terima kasih atas kerja keras kalian semua." Eliza mengucapkan Terima kasih pada mereka semua. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Elisa bersiap pulang. Dia memegang pundaknya yang terasa lelah.
"Haa ...." Dia menghela napas.
"Eliza, kau sudah selesai?" Seorang pria mendekatinya, dia berjalan dengan sangat berkarisma. Senyumannya yang manis membuat orang-orang terpukau.
Dia telah ada di samping Eliza, tersenyum lebih cerah dibandingkan tadi. Keduanya sangat tampak serasi, dengan senyuman yang tak hentinya mereka tunjukan.
Pria tersebut memegang tangan Eliza dengan lembut, menggandengnya saat berjalan bersama.
"Yura, kau bisa pulang. Eliza akan pulang bersamaku," ujarnya pada Yura yang mengikuti mereka. Yura mengangguk, dia tak ingin melewati batas.
Semua orang tahu siapa pria yang menggandeng tangan Eliza, dia adalah Arash Gahendra—suami Eliza. Seorang yang sangat terkenal, dia adalah CEO dari perusahaan besar, dalam beberapa tahun saja, perusahaan diriannya berhasil menjadi sangat besar dan sukses. Sama seperti Eliza, Arash disebut sebagai dewa yang turun ke bumi.
Dia mempunyai wajah sangat tampan, seperti patung yang dipahat dan pantas untuk mendapatkan nilai tertinggi. Lalu, dia juga sangat ramah. Sama halnya dengan Eliza, kemurahan senyum Arash, adalah daya tariknya.
"Baiklah, Arash. Eliza, jangan lupa istirahat dan minum vitaminmu." Dia mengingatkan sekali lagi, tak ingin Eliza yang lelah bekerja mengalami sakit karena hal itu. Jadwal yang dia atur bisa kacau karena itu.
"Tentu saja, Yura. Hati-hati saat pulang." Eliza melambaikan tangannya, tak hanya pada Yura, tapi pada semua orang yang ada di sana.
Setelah itu, dia melenggok bersama Arash, dengan tubuhnya yang sangat indah, keduanya menjadi pusat perhatian.
Arash memperlakukan Eliza dengan sangat baik, dia membukakan pintu untuk Eliza masuk, dan dia selalu berucap lembut pada Eliza.
Tidak hanya Arash, Eliza juga melakukan hal yang sama pada Arash. Bagaimanapun keadaan, jika Arash membutuhkannya, dia akan siap sedia untuk Arash.
"Kau pasti sangat lelah, Sayang. Tidurlah selama perjalanan, nanti akan aku bangunkan," ucap Arash khawatir, dia memasangkan sabuk pengaman pada Eliza. Saat mereka saling tatap, Eliza mengusap pipi Arash, memandangi matanya dengan sangat lama. Kemudian ciuman mendarat di bibirnya.
Cukup lama, bahkan terjadi pergulatan di mulut mereka.
Setelah bibir mereka berpisah, Eliza mengusap bibirnya dengan ibu jari. Dia tersenyum manis pada Arash.
"Kau selalu melakukan itu, Arash. Kemudian kau akan melihatku dengan mata yang kasihan, karena kelelahan oleh ulahmu sendiri." Senyum manis dari Elisa membuatnya sedikit menyengir. Itu memang benar, istrinya selalu mampu menggodanya.
"Kau memang pintar sekali, Eliza. Salahmu yang selalu menggoda." Arash menjauhkan tubuhnya, dia telah meletakkan salah satu tangannya di setir, "Ayo kita pulang."
Tak menunggu lama, mobil mereka melaju di jalanan penuh kendaraan, di malam hari yang penuh dengan cahaya.
**
Tubuhnya terasa bergoyang, walaupun tak begitu keras, tapi dia merasakannya. Kehangatan sedang memeluk dirinya, kakinya yang masih menggunakan heels, rasanya melayang. Dengan samar, dia mengintip apa yang sedang terjadi, dia melihat wajah Arash. Wajah itu tampak sangat tenang walaupun sedang mengangkat tubuhnya yang tak begitu ringan.
"Arash, kenapa kau tidak membangunkanku?" Eliza berusaha menggapai wajah Arash, agar tak membuat Eliza bergerak lebih banyak dari ini, Arash memiringkan kepalanya untuk lebih mendekat ke telapak Eliza.
Eliza mengusap wajah Arash dengan lembut.
"Aku tak tega membangunkanmu. Tidurlah lagi," ucapnya lembut. Dia memandangi netra Eliza yang penuh dengan kasih sayang.
Eliza melingkari tangannya di leher Arash, "Aku tak bisa tidur lagi." Eliza sangat bersikap manja pada Arash. Arash tak pernah mempermasalahkannya, baginya, sifat manja Eliza adalah sebuah berkah untuknya.
"Kalau begitu, aku akan melakukan sesuatu untuk membuatmu tidur."
Eliza meminta turun dari gendongan Arash, dengan wajahnya yang gembira, dia melepas heels berwarna hitamnya. Meletakkannya di lantai, dekat dengan sepasang sepatu pria berwarna hitam.
"Kau suka sekali bertelanjang kaki. Bagaimana jika orang-orang tahu, bahwa dewi mereka bertingkah seperti ini?"
Eliza menjinjitkan kakinya, dia bertingkah menggemaskan pada Arash. Tapi Arash tak mau kalah, kali ini dia memeluk pinggang Eliza, menariknya ke dalam pelukan hangatnya.
Eliza terkekeh karena geli yang diakibatkan tangan besar Arash.
"Arash geli," katanya sambil menahan tawa. Sedikit air muncul dari sudut matanya.
Arash tak melepaskan Eliza dengan mudah, dia masih memeluk Eliza kemudian menciumi tengkuknya. Tubuh Eliza semakin bergelinjang.
"Kau menyerah, Sayang?" tanyanya manis, dia ingin melihat Eliza menyerah padanya. Tapi Eliza yang manis itu tak mau menyerah, dia membuka pelukan Arash saat dia lengah.
Kemudian berlari kecil dengan berjinjit kembali, menatap Arash dengan wajah menggodanya.
"Kenapa kau suka sekali bermain kucing dan tikus, sih, Eliza?" Arash melepaskan sepatunya, dia kembali mengejar Eliza.
Dikejar dengan tak serius oleh Arash, malah membuat Eliza tertawa dan semakin menjadi.
Langkahnya yang tak begitu besar membawa Eliza ke lantai dua, dia berlarian kecil di sana sambil melihat Arash yang tepat di belakangnya.
"Eliza awas!" teriakan Arash membuat Eliza langsung melihat ke depan, sebuah meja dengan sudut menajam ada di depannya, siap membuat pahanya membiru.
Bugh!
Tubuh Eliza ditangkap, pahanya aman dari rasa sakit yang akan diberikan oleh meja di depannya. Tangan seseorang menutupi meja tersebut dengan cepat sebelum Eliza menabraknya.
"Kau ini masih saja seperti anak kecil," ucapnya dingin sambil membelai wajah Eliza yang sekarang tersenyum.