"Bu, kayaknya aku harus segera pergi dari sini," ujar Bulan. "Tadi sewaktu jatuh, ibu dari anak yang kutolong sadar kalau aku sedang hamil."
Dia kini sudah pulang dari klinik bersama Seruni dan tengah duduk di ruang tamu. Beruntung kandungannya tidak bermasalah. Kram dan kaku yang dia rasakan juga sudah menghilang. Meski begitu, dokter tetap meresepkan penguat kandungan untuk Bulan.
"Kamu yakin?" tanya Seruni.
"Yakin, Bu. Aku juga nggak bisa menyembunyikan perutku terus-terusan dari Timur dan Yasmin. Cepat atau lambat mereka akan tahu kalau aku terus berada di sini."
Seruni menghela napas. Dia sebetulnya tidak rela Bulan pergi. Apalagi di kota ini dia hanya seorang diri dan hanya memiliki Bulan. Akan tetapi, dia tidak bisa juga mengatur hidup anaknya. Sejak bercerai dengan ayah Bulan, dia bertekad untuk membebaskan anaknya membuat pilihan asal itu bukan pilihan yang buruk. Dia akan menghargai pemilihan keputusan Bulan. Makanya saat Bulan memutuskan untuk pergi ke ayahnya yang ada di kota lain, dia tidak melarang dan hanya memberikan beberapa sudut pandangnya saja. Meski begitu, putrinya itu sudah bertekad bulat sehingga dia tidak bisa membuat alasan lain agar Bulan tinggal.
"Ibu sudah cerita soal kondisimu ke ayahmu," ujarnya kemudian.
Mata Bulan terbelalak. Padahal dia berniat akan bercerita pada ayahnya sendiri saat sampai di sana nanti. Dia tidak mau sang ayah mengatai ibunya sebagai ibu yang gagal akibat kesalahannya itu.
"Kenapa Ibu nggak bilang ke aku? Harusnya aku sendiri yang cerita soal kondisiku ke Ayah," protesnya.
"Ibu bertanggung jawab atas itu, Lan. Kamu anak Ibu dan Ayah," sahut Seruni.
"Lalu bagaimana tanggapan Ayah, Bu?" tanya Bulan akhirnya. Dia pasrah karena nasi sudah menjadi bubur. Kini dia tengah memikirkan bagaimana menghadapi ayahnya saat sampai nanti.
"Dia menangis," jawab Seruni.
"Menangis? Ayah tidak marah?" tanya Bulan heran.
"Bagaimana dia bisa marah kalau dia saja ingat bahwa kamu sempat membencinya karena kamu menyaksikan perselingkuhannya dulu?" sahut Seruni. "Kamu tidak perlu khawatir. Ayahmu tidak akan marah. Dia malah senang karena kamu mau tinggal dengannya."
Mendengar itu Bulan mengembuskan napas panjang. Dia tidak tahu harus senang atau sedih atas informasi tersebut. Namun satu hal yang pasti, yaitu rencananya berjalan lancar. Sayang ayah menerimanya, dan dia tidak perlu mencari tempat persembunyian lain.
"Kamu mau berangkat kapan?" tanya Seruni. Dia sebetulnya berat menanyakan itu. Akan tetapi, dia tidak bisa juga menunda kepergian putrinya. Seperti yang Bulan keluhkan sebelumnya bahwa kandungannya cepat atau lambat akan diketahui Timur kalau putrinya itu masih tinggal di sini.
"Secepatnya. Malam ini kalau bisa," jawab Bulan. "Ada tiket ke Malang untuk perjalanan malam."
Seruni tersentak pelan. "Secepat itu?" tanyanya.
"Iya," jawab Bulan. "Aku nggak akan bawa banyak barang, Bu, karena aku mungkin hanya sementara juga di sana."
"Tapi kamu kan habis jatuh. Apa tidak sebaiknya kamu berangkat dua hari lagi saja?" tawar Seruni.
Bulan menggelengkan kepala. "Semakin cepat, semakin baik, Bu," ujarnya.
Lagi-lagi Seruni akhrinya hanya bisa mengehela napas panjang. Dia menganggukkan kepala, lalu berdiri dari duduknya. Kamu nggak usah ikut beresin barang, biar Ibu saja. Kamu berbaring di tempat tidur sambil Ibu masukin keperluanmu di tas."
Jelas ada perasaan bersalah di dada Bulan tentang dirinya yang akan pergi meninggalkan Seruni seorang diri di kota ini. Dia tahu kalau kepergiannya akan membuat ibunya kesepian. Akan tetapi keputusan yang dia buat ini sudah bulat. Dia tidak bisa menundanya dengan risiko membuat Timur atau Yasmin tahu akan kehamilannya.
"Nggak usah merasa bersalah begitu," ujar Seruni. "Ibu nggak apa-apa." Dia mengulas senyum dan mengusap-usap pelan bahu sang putri. "Ayo berdiri! Kamu harus istirahat sebentar sebelum menempuh perjalanan panjang."
Bulan akhirnya ikut berdiri. Dia mengikuti sang ibu yang berjalan menuju kamar. Sesampainya di sana, dia segera merebahkan dirinya. Jujur, tubuhnya memang mulai merasakan sakit akibat jatuh keras siang tadi, tapi dia tak ingin membuat ibunya khawatir andai dia mengeluh.
Sementara itu, Seruni mulai memasukkan beberapa pakaian Bulan ke dalam koper berukuran sedang.
"Pakai tas punggung saja, Bu. Aku tidak mau bawa banyak barang," ujar Bulan.
"Pakai koper aja biar kamu lebih mudah bawahnya. Kondisimu itu tidak memungkinkan kamu untuk jinjing-jinjing tas berat," sahut Seruni tanpa menoleh. Namun, gerakannya terhenti saat dia tiba-tiba mendengar suara pintu yang diketuk. Dia mengernyit sambil menatap Bulan yang juga tengah menoleh ke arahnya, sebelum akhirnya menghela napas panjang saat mendengar suara siapa yang meneriakkan nama sang putri.
"Ibu! Bulan? Yuhu!"
"Kamu ngasih tahu Yasmin?" tanya Seruni yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Bulan.
Seruni mengehela napas panjang. "Kayaknya kamu memang harus kasih tahu teman-temanmu kalau kamu mau pindah sementara," sarannya. "Mereka bisa marah kalau kamu tiba-tiba sudah pergi begitu saja."
"Ta-tapi, aku harus beralasan apa, Bu?" tanya Bulan khawatir. Apalagi setelah itu dia mendengar suara pintu depan yang dibuka. Yasmin pasti langsung masuk saat tahu pagar dan pintu depan tidak terkunci. Lalu, langkah sahabatnya itu terdengar mendekat.
"Bilang aja kamu mau jenguk nenek yang tiba-tiba minta kamu jenguk," jawab Seruni.
Bulan akhirnya mengangguk karena tidak punya alasan lain. Dia bersyukur sang ibu membantunya berpikir untuk tujuan mereka yang sebenarnya bertentangan. Dia kemudian turun dari tempat tidur, dan membantu ibunya memberesi pakaian. Tentunya dia tidak mau terlihat tidak sehat di depan Yasmin. Sahabatnya itu sepertinya datang untuk memeriksa keadaannya setelah kejadian siang tadi.
"Lan?" panggil Yasmin lagi. Dia kemudian masuk ke kamar Bulan, dan menemukan ibu dan anak itu sedang duduk di lantai melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. "Hei, Ibu sama Bulan mau ke mana?" tanyanya dengan ekspresi terkejut yang keluar begitu saja.
"Oh, ini. Tadi siang neneknya Bulan telepon. Dia katanya kangen karena Bulan udah lama nggak main ke sana," jawab Seruni.
"Ke Malang? Tiba-tiba seperti ini?" tanya Yasmin heran.
"Iya," jawab Bulan. "Tau nih Nenek tiba-tiba pengen banget ketemu aku," kekehnya kemudian.
Yasmin mengehela napas panjang dengan raut wajah cemberut. "Berangkat kapan?" tanyanya dengan nada kesal.
"Malam ini," jawab Bulan.
"Kerjaanmu bagaimana?" tanya Yasmin lagi, masih dengan nada kesal yang begitu kental. Dia datang untuk memeriksa keadaan Bulan sekaligus mau menginap, tapi dia malah disuguhi kejutan yang tidak terduga seperti sekarang.
"Besok kalau sudah sampai aku kirim surat cuti lewat email," dusta Bulan. Padahal rencananya, dia hendak mengajukan surat pengunduran diri dari tempatnya bekerja sekarang karena dia tidak akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat.
Yasmin menghela napas kesal lagi. Dia kemudian ikut duduk di lantai. "Untung aku ke sini naik mobil," dumelnya. "Nanti biar aku yang antar ke stasiun."
Bulan tersenyum mendengar ucapan Yasmin. Dia tadi memang terkejut sahabatnya itu tiba-tiba datang. Namun kini dia meyakini kalau Tuhan menginginkannya berpamitan pada sahabatnya yang satu itu.
***
"Kamu nggak mau ngundurin rencanamu pergi ini, Lan?" tanya Yasmin ketus. Wajah cemberutnya sejak tadi tidak mengendur sama sekali.
Bulan melirik sang ibu yang berdiri di sebelahnya, lalu menggelengkan kepala. "Udah beli tiket ini aku, Yas," jawabnya sambil menggoyang-goyangkan tiket di tangan yang tadi dibelikan oleh Yasmin di loket.
Yasmin mendengkus. Dia kemudian ikut mengantar Bulan ke peron, karena sebentar lagi kereta api datang. Walau merasa kesal, dia tidak bisa juga menghalang-halangi temannya yang hendak pergi menemui sanak saudara yang lain. Bagaimanapun Bulan memang perlu ke Malang, karena sahabatnya itu sudah bertahun-tahun tidak datang ke sana karena tidak mau bertemu dengan sang ayah.
"Jangan kasih tahu Timur dulu, ya," pinta Bulan.
"Telat!" Tiba-tiba ada suara lelaki dari balik punggung Bulan.
Bulan sendiri yang hapal itu suara siapa seketika membalikkan badan. Matanya melebar kala menemukan Timur sudah berdiri di belakangnya dengan tas punggung.
"Sorry, Lan. Aku mau balas dendam, makanya aku kasih tahu Timur kalau kamu mau pergi diam-diam," kekeh Yasmin penuh kemenangan.