Bulan, Candra, Bhumi, dan Ardi kini sedang duduk mengelilingi satu meja. Kecanggungan jelas melanda tiga orang dewasa yang ada di sana, sementara si kecil Bhumi malah bersenang-senang dengan mi gorengnya sampai beberapa potong mi yang terputus berhamburan di atas meja.
Tadi saat Candra baru menyapa Bulan, Ardi kembali dari kepergiannya membeli kopi. Lantas begitu tahu bahwa Candra adalah kenalan Bulan, dia malah menawarkan lelaki beranak satu itu untuk makan bersama mereka di rumah makan terdekat. Sekarang yang terjadi malah kekakuan karena Bulan yang tidak banyak bicara, sementara Candra yang terlihat seperti tersesat.
"Ayo dimakan," ujar Ardi lagi untuk yang kesekian kali karena Candra hanya berkutat dengan satu menu, padahal banyak makanan yang sudah dipesankan oleh ayah Bulan itu.
"Iya, Om," jawab Candra sambil berusaha mengulas senyum.
"Itu udangnya dimakan juga. Nggak alergi, kan?" Ardi terus mengajukan pertanyaan untuk mencairkan suasana. Dia bahkan melirik Bulan beberapa kali yang tampak melamun. Dalam keadaan yang tidak nyaman itu dia jadi menduga-duga apakah kediaman Bulan ada hubungannya dengan identitas Candra yang sebenarnya, dan apakah Candra ada hubungannya dengan kehamilan sang putri. Akan tetapi tebakannya itu selalu tersangkal dengan kehadiran Bhumi. Andai benar Candra yang menghamili Bulan, tentu Bulan tidak akan kesulitan melarikan diri karena jelas Candra butuh sosok ibu untuk putranya. Namun, ini yang terjadi justru sebaliknya. Bulan tampak canggung sekali dan mencoba menghindari tatapan Candra. Setidaknya itu yang dia tangkap.
"Tidak, kok, Om," jawab Candra ramah. "Om juga silakan makan. Dari tadi Om sibuk mengurusi saya sama Bhumi. Kan saya jadi tidak enak." Dia terkekeh setelah mencoba melemparkan lelucon. Rasa-rasanya baru kali ini dia jadi mati kutu di hadapan orang yang lebih tua hanya karena rasa syoknya. Jelas dia tidak buta saat melihat apa yang dilakukan Bulan di depan air mancur alun-alun tadi.
"Iya juga, ya," kekeh Ardi. Dia lantas kembali mengisi ulang piringnya. Dia juga memindahkan beberapa potong ikan gurame asam manis ke piring Bulan. "Makan yang banyak," ujarnya sambil tersenyum.
Bulan memang balas tersenyum, tapi setelah itu dia kembali sibuk menunduk tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Ardi menghela napas. Dia akhirnya memutuskan untuk berdiri dan menyingkir sejenak. Dia menduga kalau Bulan dan Candra butuh berbicara berdua.
"Lan, Ayah ke toilet dulu, ya," pamitnya pada Bulan. Dia kemudian menunduk dan tersenyum pada Candra yang ikut menatap dirinya karena tiba-tiba berdiri dari kursi. "Saya ke toilet dulu, ya. Kalian silakan makan yang banyak," ujarnya lagi sebelum benar-benar menyingkir menuju toilet.
Sementara itu karena situasi sudah memungkinkan, Candra akhirnya menatap Bulan. Dia merasa harus menanyakan apa yang dia lihat di air mancur tadi, supaya dia bisa memahami keadaan dan tidak salah melangkah.
"Bulan, kamu …."
"Iya, Mas," potong Bulan cepat. Dia tidak membiarkan Candra melanjutkan kalimatnya, dan membiarkan dirinya sendiri yang menuntaskan tanya lelaki itu. "Aku memang hamil."
Meski sudah menduga, tetap saja mendengar langsung dari Bulan membuat Candra terkejut. Matanya melebar, dan ketika sadar akan reaksinya sendiri dia cepat-cepat berdeham dan berusaha menatap Bulan dengan tatapan biasa saja. Dia tidak mau Bulan merasa dihakimi atau merasa dihina hanya karena keterkejutannya.
"Hal itu yang bikin kamu tiba-tiba ada di sini?" tanyanya kemudian.
Bulan menganggukkan kepala. Dia mendongak dan menatap langsung pada mata Candra.
"Apa Yasmin tahu?" tanya Candra lagi.
Untuk pertanyaan kali ini, Bulan menjawab dengan gelengan kepala. Dia kemudian kembali menundukkan kepala karena menatap mata Candra membuatnya kian merasa malu. Padahal dia tadi sengaja mencoba menatap mata lelaki itu untuk menunjukkan bahwa dia sosok yang kuat dan tidak perlu diremehkan. Namun semuanya buyar ketika aksi itu dia lakukan.
Bertemu dan berbagi rahasia dengan Candra tanpa sengaja seperti ini membuatnya seolah mengkhianati Yasmin yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya. Perempuan itu saja tidak tahu kondisinya saat ini, tapi kakak dari sahabatnya itu malah lebih dulu tahu walau tidak sengaja.
"Apa yang terjadi, Bulan?" tanya Candra setelah kediaman Bulan yang cukup lama. Dia sempat melirik ke arah toilet pria untuk memastikan ayah Bulan belum kembali. Meski dia asumsikan Ardi tahu tentang kondisi Bulan, tapi rasanya tidak tepat dia yang orang asing malah membahas hal tersebut di meja makan ini.
"Keteledoran, Mas," jawab Bulan, masih dengan posisi kepala menunduk.
Mendengar itu Candra mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Kalau bercermin, mungkin dia sudah melihat ekspresinya sendiri jadi pias. Walau tak begitu mengenal Bulan, tapi kedekatan perempuan itu dengan Yasmin membuatnya merasa Bulan seperti adiknya sendiri. Jadi dadanya cukup terasa sesak ketika mendengar jawaban Bulan barusan karena malah membayangkan Yasmin ada di posisi Bulan.
"Melihat kamu yang ada di sini, aku tebak lagi kamu nggak cerita ke siapa-siapa termasuk 'orang itu'?" tanyanya.
Bulan jadi tidak nyaman mendengar pertanyaan Candra. Dia merasa diwawancarai mengenai kehidupan pribadinya oleh orang yang tidak dia kenal.
Sementara itu Candra yang menangkap gelagat Bulan akhirnya memutuskan berhenti. Dia baru sadar kalau tadi terlalu ikut campur hingga berani-beraninya menanyakan privasi Bulan.
"Maaf bikin kamu nggak nyaman. Pertanyaanku tadi tidak usah dijawab," ujarnya. Dia kemudian menoleh ke arah Bhumi yang duduk di sebelahnya dan mulai membereskan makanan sang putra yang berantakan.
"Mas …."
"Loh, kok masih banyak makanannya?"
Panggilan lirih Bulan terputus oleh kembalinya Ardi dari toilet. Dia langsung meneguk air dalam gelas, sementara matanya bertemu pandang dengan Candra. Dia menduga lelaki itu mendengar panggilannya tadi.
***
Setelah semalaman suntuk tak bisa tidur, Bulan akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantor penerbitan milik Candra yang ada di Malang. Sepulang dari makan malam canggung kemarin, dia merasa bodoh sendiri karena lupa bahwa kakak tertua Yasmin itu memang tinggal di kota yang sama dengan tempat tinggal ayahnya. Makanya tidak heran kalau sewaktu-waktu dia bisa bertemu dengan Candra dan Bhumi, bahkan Yasmin kalau sahabatnya itu tiba-tiba saja meluangkan waktu untuk main ke Malang. Dan atas pemikiran itu, dia jadi kalut. Dia takut Candra akan memberitahukan kondisinya saat ini pada Yasmin. Makanya dia mendatangi kantor lelaki itu berbekal alamat yang dia dapat di aplikasi pencarian daring.
"Saya mau bertemu Pak Candra. Apa beliau ada di tempat?" tanya Bulan pada petugas resepsionis.
Namun sebelum perempuan yang ada di balik meja resepsionis itu menjawab, tiba-tiba saja dari arah belakang ada yang memanggil namanya.
"Eh, Mas Candra?" Bulan seketika membalik badan dan menghampiri kakak tertua sahabatnya itu.
"Ada apa, Lan? Kamu cari aku?" tanya Candra sambil mengernyitkan dahinya.
Bulan mengangguk. Dia tidak boleh ragu meminta hal yang diperlukan pada Candra.
"Ada apa?" tanya Candra lagi.
Bulan meremas kedua tangannya di depan badan, sehingga Candra akhirnya bisa menangkap kalau apa yang hendak perempuan itu katakan. Dia akhirnya mengajak Bulan untuk ke ruang kerjanya.
Ketika akhirnya keduanya sudah duduk di ruang kerja Candra, Bulan mulai membuka permbicaraan.
"Mas," panggilnya.
"Iya?" tanya Candra. "Kamu mau membahas soal kemarin?" Dia sudah menduga apa yang sekiranya hendak dibahas perempuan di depannya itu.
Bulan mengangguk. "Aku mohon sama Mas untuk tidak membocorkan soal kondisiku ke Yasmin," ucapnya langsung tanpa basa-basi.
Candra mengernyit. Dia memang sudah tahu kalau Bulan merahasiakan kehamilan itu dari teman-temannya. Namun, dia tidak mengerti mau sampai kapan Bulan akan merahasiakannya, sementara Yasmin itu adalah sahabat Bulan.
"Tapi …."
"Aku akan ceritakan sama Mas apa yang terjadi. Tapi, Mas Candra harus janji untuk merahasiakan apa yang akan aku ceritakan. Sebagai balasannya, aku juga akan menjaga Bhumi kalau Mas sedang bekerja," ujar Bulan nekat.
Seketika ruang kerja yang sejuk itu berubah jadi sunyi.