Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 24 - Kerinduan dan Penerimaan

Chapter 24 - Kerinduan dan Penerimaan

Gara-gara Timur ikut ke Malang, Bulan akhirnya benar-benar datang ke rumah neneknya meski tak sesuai rencana. Dia tidak bisa membiarkan lelaki itu tahu di mana rumah ayahnya agar Timur maupun Yasmin tidak tiba-tiba datang nantinya. Apalagi Yasmin, dia kenal betul perempuan yang suka berpetualang itu. Kalau dia tidak cepat pulang ke Jakarta dalam waktu dekat, Yasmin pasti akan mendatanginya ke Malang sambil muncak ke beberapa gunung di Jawa Timur.

Ini sudah hari kedua Bulan berada di rumah neneknya. Timur yang semula ikut menginap sudah pulang kemarin malam. Seharusnya dengan itu dia sudah bisa berangkat ke rumah ayahnya. Namun entah kenapa rasa tidak siap itu kini malah melanda dirinya. Lagi-lagi dia merasa enggan bertemu apalagi tinggal bersama ayah yang dulu sempat dia benci.

"Kamu jadi kapan ke rumah ayahmu?" tanya Sumi—nenek Bulan dari pihak ayahnya.

"Kalau aku tinggal di sini semetara waktu bagaimana, Nek?" Bulan malah balik bertanya.

Selain enggan bertemu ayah yang sudah bertahun-tahun tak ditemui, dia juga takut canggung dengan ibu tirinya. Misha—ibu tiri Bulan—sebetulnya bukan perempuan yang jahat. Dia tahu itu karena Misha selalu berusaha ramah jika bertemu dengannya. Selain itu, ayahnya juga sudah jujur menceritakan hubungannya dengan Misha yang begitu erat hingga membuatnya tega berselingkuh dulu saat masih menjadi suami Seruni. Dari segi cerita, Bulan menerima. Akan tetapi sebagai seorang anak, dia masih punya sakit hati, terlebih ketika mengingat sang ibu.

"Nenek sebetulnya nggak keberatan," jawab Sumi jujur, sebab dia memang selama ini memilih untuk tinggal sendiri dibanding ikut dengan anak-anaknya. Lagi pula fisiknya pun masih sehat, sehingga dia bisa melakukan banyak hal sendiri tanpa bantuan anak-anaknya yang sudah punya kehidupan masing-masing.

"Terus?" tanya Bulan yang menanti lanjutan kalimat sang nenek.

"Tapi kamu harus memperbaiki hubunganmu dengan Ardi. Kalian sudah terlalu lama jauh, sementara bagaimanapun kamu adalah putrinya, dan dia adalah ayah kandungmu," jawab Sumi.

Bulan menundukkan kepala sembari menghela napas panjang. Dia menoleh ke arah perutnya yang sudah menonjol itu dan lagi-lagi merasakan perasaan bersalah. Meski ibunya bilang kalau sudah menceritakan kondisinya pada sang ayah, tetap saja dia takut kalau nanti saat bertemu ayahnya akan mengkritik ibunya.

"Kamu takut dimarahi ayahmu?" tanya Sumi yang juga sudah tahu kondisi Bulan dari putranya.

"I-iya," jawab Bulan. "Aku takut Ayah mengatakan hal yang tidak ingin aku dengar."

"Kamu takut ibumu dikritik?" tanya Sumi tepat sasaran.

"Iya, Nek," jawab Bulan lirih.

Sumi tersenyum mendengar ucapan Bulan. Dia kemudian mengulurkan tangan dan mengusap surai hitam cucunya itu. "Kamu nggak usah khawatir," ujarnya. "Kamu tahu? Saat Ayahmu menceritakan tentang kondisimu yang dikabarkan Seruni ke Nenek, dia menangis."

"Ayah, Nek? Menangis?" tanya Bulan tak percaya, sampai dia mendongakkan kepala menatap neneknya.

Sumi mengangguk mantap. "Iya. Ayahmu menangis. Dia tidak menyalahkan ibumu, tapi dia menyalahkan dirinya sendiri yang tidak ada di saat-saat terberatmu. Dia juga marah dan ingin memberi pelajaran pada lelaki yang sudah menghamilimu. Tapi, dia sadar kalau dia tidak bisa terlalu ikut campur karena takut kamu nggak nyaman," jawabnya. Dia mengehela napas berat begitu mengingat hari-hari buruk sebelum perceraian putra sulungnya dengan ibu Bulan dulu. "Sampai sekarang ayahmu itu masih merasa bersalah sama kamu, Lan. Dia tahu kalau dia sudah menyakiti masa kecilmu dengan kejam. Makanya dia berjanji pada Nenek kalau dia tidak akan menuntut penjelasan apa pun dari kamu, dan akan merawat kamu dan juga anak dalam kandunganmu sepenuh hati. Jadi, tolong kamu kasih ayahmu itu kesempatan."

Sumi menghentikan celotehan panjangnya saat melihat mata Bulan berkaca-kaca. Cucunya itu juga pasti merasa sedih saat ini, dan itu membuatnya ingin menahan Bulan di rumah ini. Sayangnya, kalau dia melakukan itu, hubungan Bulan dan ayahnya tidak akan kunjung membaik. Makanya kondisi itu harus dipaksakan. Bulan harus dipaksa untuk menerima luka masa lalunya, dan Ardi harus menebus kesalahannya pada Bulan yang sudah dilukainya sejak masih remaja awal.

"Bagaimana, Nduk?" tanya Sumi lagi ketika Bulan tak kunjung membuka suara. Tangannya masih setia mengusap rambut Bulan dengan lembut.

"Baiklah," jawab Bulan. "Tujuanku ikut dengan Ayah juga karena mau hubungan kami membaik," akunya.

Mendengar jawaban Bulan, Sumi tersenyum. Dia kemudian membawa cucunya itu ke dalam pelukan.

"Ta-tapi Tante Misha bagaimana, Nek?" tanya Bulan usai pelukannya terlepas. "Apa dia bisa menerimaku tinggal di sana?"

Sumi menganggukkan kepala. Dia sudah membahas hal ini dengan Ardi maupun Misha. Kedua orang itu sudah sepakat. Apalagi keduanya memang hanya tinggal berdua karena anak Misha ikut bersama ayah kandungnya di luar negeri.

"Dia tidak akan keberatan."

Bulan akhirnya menghela napas panjang. Dia sudah memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya petang ini. Mau bagaimanapun, dia sebelumnya sudah memutuskan untuk tinggal bersama lelaki yang membuatnya hadir ke dunia ini. Makanya dia harus berpegang pada keputusan yang sudah dia buat.

***

Bulan pergi ke rumah ayahnya menggunakan ojek. Dia memang sengaja tidak mau dijemput, apalagi karena dia tahu ayahnya cukup sibuk dengan kedai sotonya yang cukup ramai sejak dulu itu.

Ketika akhirnya ojek berhenti di depan sebuah rumah yang alamatnya dia dapat dari sang ibu sebelum berangkat, kakinya tiba-tiba terasa kaku. Dia ragu-ragu melangkah ke teras karena banyak hal yang bercokol dalam pikirannya. Dia terus seperti itu hingga sekitar lima menit kemudian, pintu depan rumah ayahnya terbuka. Di sana berdiri seorang perempuan paruh baya yang tampak begitu cantik dan anggun, tapi ekspresinya menunjukkan keterkejutan hingga dia menutup mulut dengan telapak tangan.

"Selamat malam," sapa Bulan pada ibu tirinya itu, meski langit belum benar-benar gelap. Semburat oranye yang tebal menyebar di kaki langit, bersiap memudar bersamaan dengan datangnya rembulan.

Perempuan yang ada di depan pintu itu terpaku sejenak, sebelum akhirnya dia berjalan mendekati Bulan dengan tergesa. Dia ambil koper dari tangan putri suaminya itu dengan cepat.

"Kamu sudah dari tadi?" tanyanya dengan nada panik.

Bulan menggelengkan kepala. Dia hendak mengambil kembali kopernya, tapi Misha menggelengkan kepala.

"Aku dengan kamu lagi hamil. Nggak baik bawa-bawa barang berat kalau lagi hamil," ujar Misha. Dia berusaha tersenyum untuk mencairkan suasan yang terasa begitu canggung di antara mereka. Bagaimanapun dia masih ingat betul dulu bagaimana ekspresi Bulan saat memergokinya bermesraan dengan ayah perempuan itu.

"Terima kasih, Tante," ujar Bulan. Dia pun sama, memaksakan sebuah senyum agar perlahan bisa menerima kondisi sekarang.

"Ayo masuk. Ayahmu pasti senang tahu kamu sudah datang. Dari tadi dia resah karena kamu nggak datang-datang, apalagi nggak mau dijemput," ujar Misha. Dia kali ini juga sengaja berbicara panjang untuk membuat Bulan lebih rileks dengan keberadaannya.

"I-iya," jawab Bulan sambil mengikuti langkah Misha menuju rumah yang belum pernah dia datangi itu. Sejak bercerai dengan ibunya, ayahnya itu memang memutuskan menjual rumah yang dulu sempat mereka tempati bersama dan membeli rumah baru untuk memulai kehidupan yang baru pula. Makanya dia masih merasa asing ketika masuk ke dalam ruang tamu dan menemukan beberapa foto ayahnya dengan sang ibu tiri terpajang di dinding. Namun, langkahnya terhenti saat dia melihat foto dirinya yang tengah digendong oleh sang ayah saat mendatangi kebun binatang semasa kecil.

Misha menyadari Bulan tak lagi mengikutinya. Dia lantas menoleh ke belakang dan melihat perempuan itu sedang menatap salah satu foto yang terpasang di dinding. Melihat itu dia tersenyum.

"Ayahmu setiap hari lihat foto itu sebelum berangkat kerja," ujar Misha.

Bulan menoleh, tapi dia tak mengatakan apa pun.

"Dia rindu sekali sama kamu, tapi terlalu merasa bersalah untuk mendatangimu ke Jakarta ataupun sekadar berbicara denganmu di telepon. Makanya dia hanya bisa tanya kabarmu ke Mbak Seruni," jelas Misha tanpa diminta.

Bulan masih tidak mengatakan apa pun karena dia dulu memang menutup akses komunikasi dengan ayahnya secara langsung.

"Makanya waktu Mbak Seruni bilang kamu memutuskan untuk tinggal di sini, dia senang sekali. Dia bahkan membelikan tempat tidur baru, lemari baru, dan barang-barang lain yang mungkin kamu butuhkan selama tinggal di sini," lanjut Misha.

Mendengar itu membuat Bulan akhirnya tersenyum tipis. Namun, senyumnya hilang begitu matanya menangkap satu sosok berjalan keluar dari bagian dalam rumah. Senyum itu berganti jadi rasa panas di matanya.

"Bulan," panggil Ardi dengan mata yang juga tengah berkaca-kaca. Dia melanjutkan langkah mendekati sang putri yang dia kira belum tiba.

Masih tidak ada kata yang keluar dari mulut Bulan. Namun yang pasti harus dia akui kalau dia merindukan lelaki paruh baya yang sudah semakin menua dibanding ingatannya saat terakhir bertemu dengan ayahnya itu. Dan air mata yang tadi tertahan akhirnya menetes di pipi saat dia tiba-tiba dipeluk oleh sang ayah dengan begitu erat.