Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 25 - Pertemuan Tak Terduga

Chapter 25 - Pertemuan Tak Terduga

"Eh, kamu sudah bangun?" tanya Misha terkejut ketika menemukan Bulan berdiri di ambang dapur. Putri suaminya itu tampak segar dengan rambut setengah basahnya, berikut aroma sabun yang tercium samar-samar.

"Sudah, Tante," jawab Bulan yang masih canggung. Meski begitu dia berjalan mendekat ke arah ibu tirinya itu dan mencoba melihat apa yang dilakukan oleh perempuan itu.

Di meja ada potongan wortel, buncis, ayam, dan juga kubis. Selain itu ada bumbu halus yang sudah ditumis di dalam mangkuk kecil. Dia lantas menebak kalau Misha hendak membuat sop ayam sebagai menu sarapan pagi ini.

"Tante mau buat sop ayam?" tanyanya untuk memastikan.

Misha mengiyakan sambil tersenyum. Namun, beberapa detik kemudian senyumnya hilang karena dia mengingat sesuatu.

"Eh, kamu masih mual muntah?" tanyanya. Walau canggung dan sedikit tidak nyaman dengan keberadaan Bulan di rumahnya, dia juga tidak bisa menahan kekhawatirannya. Bagaimanapun dia juga seorang ibu meski tak pernah punya anak perempuan sebelumnya. "Makan sop ayam bisa?" tanyanya lagi. "Beberapa perempuan hamil muda biasanya sensitif dengan aroma bawang putih."

Mendengar kekhawatiran ibu tirinya membuat Bulan tersenyum. Dia paham kalau perempuan itu berusaha membuka diri untuknya. Sebab itu, dia juga merasa harus memaafkan kesalahan masa lalu dan menerima perempuan yang jadi pilihan ayahnya itu. Ya, walaupun dia tidak akan pernah mau memanggil perempuan itu dengan panggilan ibu atau sejenisnya.

"Sekarang sudah baik-baik saja, Tante. Nafsu makanku juga baik," jawabnya.

Misha menghela napas lega begitu mendengar jawaban Bulan. Dia kemudian beranjak menuju lemari penyimpanan bahan makanan kemasan, lalu mengeluarkan sekotak susu khusus ibu hamil.

"Tante beli ini kemarin, karena Tante pikir kamu pasti nggak bawa susu dari Jakarta," ujarnya sembari kembali ke posisinya semula. "Kamu bisa minum rasa strawberry? Apa mau Tante belikan yang cokelat?"

Bulan menggelengkan kepala. "Aku juga suka yang rasa strawberry," jawabnya. "Makasih, Tante."

Misha benar-benar merasa lega mendengar Bulan yang menjawabnya dengan ramah. Sebelumnya di khawatir kalau Bulan masih membencinya seperti dulu sebelum sidang perceraian Ardi dan Seruni. Namun setelah bertemu, dia tahu kalau Bulan sudah jadi lebih dewasa selain dari yang terlihat dari penampilannya. Apalagi Bulan dalam beberapa bulan ke depan akan jadi seorang ibu.

"Tante memang biasa masak jam segini?" tanya Bulan sambil menoleh sekilas ke arah jam dinding yang ada di dapur. Jarum jam masih menunjukkan angka lima, dan langit di luar pun belum benar-benar terang.

"Iya," jawab Misha. "Tante sama ayahmu harus berangkat pagi juga ke kedai untuk masak sotonya. Makanya kami biasanya sarapan jam enam, lalu berangkat ke kedai."

"Kalau begitu biar aku bantu," ujar Bulan sabil menggulung lengan pakaiannya. Dia tidak mungkin berdiam diri saja melihat orang lain bekerja menyiapkan makan pagi untuk dirinya. Lagi pula dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dikerjakan … atau mungkin nanti dia akan melakukan pekerjaan rumah saat ayahnya dan Misha pergi untuk bekerja.

"Eh, nggak usah. Kamu istirahat saja," tolak Misha sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu pasti masih capek setelah perjalanan panjang ke sini, kan?"

Bulan membalas dengan gelengan kepala juga. "Aku sudah cukup istirahat di rumah Nenek," jawabnya.

Misha akhirnya mengulas senyum dan menggeser posisinya agar Bulan bisa ikut membantu dirinya. "Kalau begitu Tante minta tolong kamu buat halusin kentang gorengnya?"

"Mau dibuat perkedel?" tanya Bulan.

"Iya. Suka?" tanya Misha. "Kalau nggak suka, di kulkas masih ada bahan lain yang bisa diolah jadi lauk."

"Suka, kok, Tante," jawab Bulan.

Keduanya kemudian bekerja bersama menyiapkan sarapan. Tidak ada lagi yang berbicara, karena masing-masing sebetulnya masih merasa canggung dan tidak punya topik lain untuk dibicarakan. Makanya tangan mereka berusaha sibuk dengan tugas masing-masing, sebelum akhirnya dua menu yang mereka buat terhidang di meja makan.

"Bulan," panggil Misha usai meletakkan tiga buah piring bersih di atas meja makan.

"Iya?" jawab Bulan yang baru keluar dari dapur sambil membawa setoples kerupuk udang yang tadi digoreng oleh Misha.

"Tante minta maaf atas kejadian yang dulu, atas luka yang Tante buat di hati kamu dan ibumu," ujar Misha lirih. Sejak dulu dia sebetulnya ingin mengatakan itu langsung ke Bulan. Akan tetapi kekhawatiran bahwa Bulan tidak akan mau menemuinya membuat ia terus menunda. Hingga hari ini ketika dia merasa Bulan sudah lebih dewasa untuk mengobrol ringan dengannya bahkan membantu di dapur, membuatnya memberanikan diri.

Bulan sendiri tidak menyangka akan mendapat permintaan maaf dari perempuan yang sempat dia salahkan atas hancurnya rumah tangga orang tuanya. Dia lantas terdiam, sebelum akhirnya meletakkan toples kerupuk di atas meja, lalu mengulurkan tangan ke depan perempuan yang sudah jadi istri ayahnya itu.

Misha mengernyit tidak paham, tapi dia kemudian memutuskan menyambut uluran tangan Bulan.

Usai Misha menyambut uluran tangannya, tanpa kata Bulan mencium punggung tangan perempuan itu dengan hormat hingga membuat napas Misha tercekat.

***

Sore ini Ardi memutuskan untuk pulang lebih awal dari kedai. Dia ingin menghabiskan waktu dengan Bulan yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya. Maka dari itu dia mengajak putrinya itu ke alun-alun kota. Dulu sewaktu kecil, Bulan suka sekali melihat air mancur di tengah alun-alun. Bahkan putrnya itu pernah meminta untuk berenang di kolam alun-alun.

"Sekarang banyak burung merpatinya, ya, Yah," ujar Bulan. Meski merasa kaku berduaan dengan ayahnya, Bulan merasa kalau dia harus mulai membiasakan diri. Apalagi mereka akan tinggal bersama dalam waktu yang mungkin akan lama sebelum dia memutuskan tempat lain mana yang akan dia tinggali selanjutnya.

"Iya. Kalau sore begini pada suka main di bawah," jawab Ardi sambil menunjuk beberapa merpati yang tengah diberi makan oleh petugas yang bekerja menjaga kebersihan alun-alun kota.

"Mereka banyak sekali, seperti satu keluarga besar," komentar Bulan.

Ardi tersenyum mendengar itu. Dia kemudian teringat tentang alasan Bulan datang ke Malang dan memilih untuk tinggal bersamanya.

"Boleh Ayah tanya soal kehamilan kamu?" tanyanya setelah maju-mundur ragu untuk memulai topik sensitif itu.

Bulan menoleh ke arah Ardi. Dia mentap langsung mata ayahnya itu dua detik sebelum mengangguk. "Boleh."

"Kamu … diperkosa?" tanya Ardi hati-hati, bahkan dia menanyakannya dengan suara yang begitu pelan padahal angin tengah bertiup cukup kencang.

Pertanyaan Ardi membuat kedua alis Bulan terangkat. Namun, dia kemudian menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala.

"Lalu apa yang terjadi? Ibumu tidak bercerita secara jelas," tanya Ardi lagi.

Bulan terdiam beberapa detik dengan mata lurus menatap para merpati yang tengah makan, sebelum akhirnya dia menjawab, "Ini semua terjadi karena kecerobohanku, Yah. Aku tidak bisa menahan diri lebih baik sehingga hal yang seharusnya tidak terjadi itu akhirnya terjadi."

Ardi menahan rasa marah yang muncul di dadanya. Tidak, dia tidak menyalahkan Bulan. Sebagai lelaki juga, dia ingin sekali menghajar lelaki yang sudah menghamili putrinya itu. Namun dia sadar diri posisinya sebagai ayah yang sudah berbuat dosa besar pada putrinya sendiri.

"Lalu siapa laki-laki itu? Apa dia tidak mau bertanggung jawab, makanya kamu memilih untuk pergi?" tanyanya.

Kali ini Bulan menghela napas panjang sambil mendongakkan kepala. Dia menikmati sejenak langit senja yang begitu cantik dan cerah sambil membayangkan wajah Timur.

"Dia tidak tahu, Yah," jawabnya kemudian. "Aku sengaja tidak memberitahunya karena ini semua keteledoranku," lanjutnya sebelum sang ayah memotong ucapannya. "Jadi aku harap Ayah tidak lagi bertanya soal 'dia'. Aku datang ke sini demi kebaikan kami berdua dan ingin menjalani hidup baru, sekaligus berdamai dengan masa laluku."

Selesai. Bulan tidak memberi Ardi ruang untuk bertanya lebih jauh tentang lelaki yang sudah menghamili putrinya itu. Hingga Ardi akhirnya hanya bisa menghela napas panjang dan berat, lalu menelan segala emosi kemarahan dan kesedihannya dalam-dalam. Kalau keputusan putrinya demikian, dia tidak boleh ikut campur atau bahkan menyalahkan.

"Kamu haus?" tanyanya merubah topik sambil menepuk-nepuk lututnya pelan.

"Iya," jawab Bulan seraya tersenyum tipis. Dia bersyukur ayahnya tidak mencecarnya. Dia jadi semakin yakin kalau ayahnya memang benar-benar merasa bersalah seperti apa yang diceritakan sang nenek sebelumnya.

"Kalau begitu ayah pergi dulu beli minum. Kamu tunggu di sini, ya," ucap Ardi sambil berdiri. Lalul ketika Bulan mengangguk, dia berjalan cepat menuju stan yang menjual minuman di bagian selatan alun-alun.

Bulan kini duduk sendirian. Dia akhirnya memutuskan berdiri dan menatap air mancur yang selalu menjadi pertunjukan menyenangkan sejak dulu. Tangannya otomatis mengelus perutnya yang sudah membuncit. Apalagi kali ini dia memakai pakaian yang pas di badan, dan lupa membawa jaket.

"Kita mulai hidup baru di sini, ya, Nak," gumam Bulan dengan tangan yang tidak berhenti mengelus perutnya sendiri.

"Bulan?"

Tiba-tiba sapaan seseorang membuat Bulan menoleh cepat ke arah sumber suara. Seketika matanya melebar kala melihat Candra tengah berdiri sambil menggendong Bhumi. Dia langsung memeluk perutnya ketika mata Candra akhirnya tertuju ke sana.